Clara menangis. Tangis yang selama ini ia tahan di balik citra kuat. Ia menceritakan semuanya---korupsi, manipulasi, kehilangan. Stella mendengarkan tanpa menghakimi.
Setelah Clara terdiam, Stella menatapnya dengan tenang.
"Kamu udah melakukan versi terbaiknya kamu pada saat itu, sebelum kita ketemu lagi. Itu udah cukup, Clar."
Ia menggenggam tangan Clara lebih erat.
"Kadang kita terlalu keras sama diri sendiri. Tapi kamu di sini sekarang. Ada aku. Kamu nggak sendirian."
Clara terisak, lalu tersenyum kecil.
"Terima kasih... aku nggak pernah dengar itu dari siapa pun."
Stella mengangguk pelan.
"Dan kamu masih punya ruang untuk pulih. Kita pelan-pelan, bareng-bareng."
Hari-hari berikutnya, Clara membantu Stella di taman kecilnya, memasak makanan sederhana, dan mengenang masa kecil mereka. Suatu sore, mereka duduk di teras, ditemani teh hangat dan angin yang membawa aroma tanah basah.
Clara menatap langit yang mulai memerah.
"Kamu ingat nggak, Stell... waktu kita sekolah dulu? Kamu selalu juara satu. Semua guru suka kamu. Dan kamu... cantik banget. Aku iri, tahu."
Stella tertawa lepas, suara tawanya memenuhi udara sore.
"Ah, kamu lucu. Menurutku, kamu lah yang paling cantik waktu itu. Bukan aku."
Clara terdiam, matanya berkaca.
"Serius? Kamu bilang gitu... ah, itu bikin hariku cerah."
Ia memeluk Stella erat, seperti ingin menebus tahun-tahun persaingan yang tak pernah diucapkan.
Stella membalas pelukan itu dengan hangat.
"Kita semua punya luka dan cara bertahan masing-masing. Tapi persahabatan kita... selalu jadi ruang untuk pulang."
Beberapa hari kemudian, Stella menerima pesan dari salah satu kliennya: undangan untuk mengunjungi komunitas baru di sebuah desa kecil yang sedang membangun program pemberdayaan perempuan. Ia mengajak Clara ikut.
"Mungkin ini bisa membantumu melihat dunia dari sudut yang berbeda."
Sebelum berangkat, Stella menyiapkan pakaian sederhana untuk Clara: beberapa kaus putih, celana jeans biru, dan sepatu olahraga. Mereka terbang dengan kelas ekonomi, tanpa fasilitas mewah. Sesampainya di bandara kecil, mereka dijemput oleh sebuah pick-up tua. Sopirnya tampak kelelahan. Tanpa ragu, Stella menawarkan diri untuk menyetir agar sang sopir bisa beristirahat.