Bicara soal etika sebenarnya lebih kompleks dari sekadar konsep suka atau tidak suka. Pernah kan ya, saat melihat perilaku orang lain di transportasi umum, kita merasa kesal lalu ngomel. Kadang bahkan sampai curhat di medsos biar ramai, jadi pelajaran bagi orang lain, atau sekadar memvalidasi apa yang kita rasakan. Tindakan ini berangkat dari ketidaksukaan, dan yang jelas didorong oleh standard yang kita pegang. Biasanya dimulai dengan, "Menurut aku sih.." atau "Harusnya kan..".
Menurut KBBI, etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Sejumlah filsuf ternama dari masa lampau telah menguraikan makna etika dengan komprehensif. Sebut saja Aristoteles yang dikenal dengan konsep Etika Keutamaan. Namun, untuk penerapannya secara praktis sehari-hari, rasanya kita tidak perlu sejauh itu mendalaminya. Simpelnya, setiap orang yang berkeinginan bisa memahami apa itu etika dan juga melakukan tindakan beretika.
Hal yang menjadi pertanyaan adalah: mengapa masih ada orang yang mengabaikan etika, khususnya saat berada di ruang publik, dan lebih khusus lagi saat menggunakan transportasi umum?
Para ahli yang berkecimpung atau mengajar ilmu etika tentu bisa memaparkan jawaban atas pertanyaan ini secara panjang lebar. Kita juga pasti penasaran, sebenarnya apa sih alasan di balik sikap tidak peduli yang lazim terjadi di transportasi umum? Sebagai awam, saya coba mencari tahu dengan meriset sejumlah literatur. Dari pencarian tersebut, ada sejumlah poin yang menjadi insight baru bagi saya.
Adanya Value-Action Gap
Value-Action Gap, juga dikenal sebagai Attitude-Behavior Gap, adalah kesenjangan antara nilai atau sikap yang dipegang seseorang dengan perilaku nyata yang ia lakukan.
Seseorang tahu bahwa membuang sampah sembarangan di dalam transportasi umum itu adalah sikap yang salah, tapi tetap dilakukan. Value yang diketahui bertentangan dengan Action yang dilakukan. Bisa dikatakan begini, sebagian orang yang melanggar etika di transportasi umum sebenarnya tahu dan sadar bahwa apa yang dilakukannya itu salah. Setuju?
Ternyata, ada beberapa penyebab terjadinya Value-Action Gap ini. Pertama, kurangnya motivasi dari diri orang tersebut. Jadi, nilai-nilai yang benar itu hanya dipahami secara intelektual. Sayangnya, ia tidak terdorong secara emosional atau tidak memiliki kepedulian pribadi yang cukup kuat untuk mewujudkannya.Â
Penyebab terjadinya Value-Action Gap juga bisa disebabkan oleh kebiasaan. Â Seseorang menyadari bahwa mendengarkan musik keras-keras di transportasi umum itu adalah hal yang tidak tepat secara etika dan mengganggu orang lain. Namun, karena sulitnya mengubah kebiasaan lama (yang salah) itu membuatnya tetap melakukannya. Mengubah kebiasaan yang telah dilakukan bertahun-tahun dalam sekejap itu bisa dibilang tidak mungkin.
Selain faktor internal, ada pula faktor eksternal. Misalnya, tekanan kelompok atau norma lingkungan yang berbeda. Contoh, seseorang tahu bahwa ia seharusnya memberi tempat duduk untuk lansia atau ibu hamil. Namun, ketika melihat semua orang diam saja dan pura-pura tidak melihat, bahkan duduk di kursi prioritas dengan tenang, ia pun tidak melakukan apa-apa. Jika melakukan hal yang berbeda, ia takut dianggap aneh oleh kelompok tersebut.
Lalu, bagaimana kita bersikap ketika melihat sendiri peristiwa yang tidak etis, entah memengaruhi kita secara langsung atau tidak? Hal pertama yang perlu dilakukan adalah memulai dari diri sendiri. Jika orang lain bersikap tidak etis di transportasi umum, jangan sampai menirunya. Kedua, mengingatkan dengan bahasa yang sopan. Kita perlu menyadari bahwa orang yang berada di hadapan kita ini mungkin saja sedang mengalami Value-Action Gap, alias tahu itu salah. Hanya saja, ia tidak terdorong secara emosional atau bahkan "tidak mampu" mengubah kebiasaan buruk tersebut.Â