Mohon tunggu...
Lendy Indrawan
Lendy Indrawan Mohon Tunggu... Mahasiswa

Belajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bela Hakim untuk Keadilan

1 Oktober 2024   00:25 Diperbarui: 18 Agustus 2025   14:15 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang hakim bertanggungjawab dalam menciptakan keadilan namun bukan keadilan hukum, tetapi keadilan sosial sesuai sila ke-5 Pancasila. Jika keadilan hanya dilihat berdasarkan kepastian hukum maka ini merupakan permulaan supremasi hukum untuk menghancurkan rasa keadilan masyarakat. 

Dalam narasi yang lebih memprihatinkan, saat hukum berkuasa maka apa yang dikatannya, adalah adil dan tepat biarpun dalam kenyataanya menurut rasa keadilan masyarakat jelas-jelas merupakan suatu ketidakadilan. 

Struktur peradilan yang formalistis belum bisa memberikan keadilan bagi rakyat kecil, penegakan hukum tidak dapat berjalan sesuai dengan ukuran-ukuran dan pertimbangan-pertimbangan yang baik bagi masyarakat secara keseluruhan.

Hakim di Indonesia memiliki hak prerogratif untuk menjatuhkan putusan lebih rendah, sama, atau lebih tinggi daripada tuntutan, berbeda dengan negara yang menganut sistem hukum common law seperti Amerika Serikat. Standarisasi berat atau ringannya putusan hakim di Indonesia tidak diatur secara tegas dalam undang-undang. Hal ini mendorong hakim untuk menjadi absolut dalam membuat suatu putusan. 

Sehingga proses penjatuhan pidana tidak bisa hanya melibatkan pemikiran dan penalaran ilmiah, tetapi juga memerlukan sentuhan perasaan dan hati nurani melalui proses perenungan, terutama dalam menentukan keyakinan dan menentukan tingkat pemidanaan sehubungan dengan perbuatan terdakwa. Hati nurani akan menjadi kriteria berat ringannya hukuman.

Penilaian terhadap suatu perkara sangatlah abstrak dan krusial, setiap perkara pasti memiliki kondisi, keadaan, atau tujuan yang berbeda dengan jenis perkara yang sama lainnya. Penilaian tersebut sangat ditentukan oleh kondisi hati nurani, serta keberanian untuk menyurakannya karena terkadang ada kesalahan yang tidak bisa dilihat oleh mata, tapi bisa ditangkap oleh nalar, kesalahan yang ada didalam diri orang itu sendiri. 

Misalnya seorang hakim yang sedang menangani kasus KDRT yang dilakukan oleh seorang istri, hakim tidak boleh hanya melihat penderitaan fisik yang dialami oleh korban atau suami pelaku, tetapi juga harus melihat penderitaan perasaan yang dialami oleh pelaku atau istri korban. 

Oleh karena itu, hakim yang benar tidak akan menghakimi dan mengadili sekilas pandang saja atau menjatuhkan keputusan menurut kata orang, akan tetapi akan mengadili dan menjatuhkan keputusan terhadap setiap orang tanpa membedakannya dengan keadilan, kejujuran sesuai hati nurani dan undang-undang yang berlaku. Bahkan seorang hakim harus bisa membuat putusan yang dapat melampaui undang undang dengan mempertimbangkan dinamika masyarakat sosial.

Suatu putusan hakim yang telah memenuhi kepastian hukum dan keadilan sesuai hati nurani hakim, terkadang saja masih memunculkan perdebatan, walaupun pertimbangan hukum dalam putusan telah diambil secara parsial dengan fakta-fakta dalam perkara. Mereka yang tidak merasa puas dengan putusan tersebut akhirnya meluapkan kekecewaannya dengan melakukan PMKH (Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim), khususnya hakim yang mengadili perkara.

 Pada akhirnya, hakim pun dapat diperiksa oleh petugas Badan Pengawasan Mahkamah Agung atau oleh pengawas eksternal Komisi Yudisial untuk dimintai klarifikasi, karena dianggap telah melakukan unprofessional conduct. Hal seperti inilah yang membuat hakim menjadi ragu untuk memutus suatu perkara berdasarkan hati nurani, akhirnya putusan yang dihasilkan lebih condong kepada kepastian hukum bukan keadilan. 

Jadi ada suatu masalah dalam upaya menegakkan keadilan itu sendiri. Bahwa putusan kendati adil tapi tidak sesuai dengan harapan individu atau kelompok masyarakat dapat menghasilkan suatu kekacauan. Putusan yang basisnya adalah argumen argumen yang koheren, walau dipakai secara tepat namun diganggu oleh variabel eksternal seperti PMKH, maka hati nurani seorang hakim jelas akan terganggu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun