Mohon tunggu...
Aji Latuconsina
Aji Latuconsina Mohon Tunggu... -

|Bukan Penganut Ajaran Agama Spilis (Sekulerisme - Pluralisme - Liberalisme) •Provokata @kutikata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pribumi Mendadak Sirna di Kompasiana, Kata Pribumi Tanpa Bumi

23 Oktober 2017   21:56 Diperbarui: 23 Oktober 2017   22:28 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setelah lima hari meninggalkan profile dan melupakan tulisan yang tidak disunting, malam ini saya kembali menikmati hiruk pikuk lalulintas tipe-model pemikiran banyak orang di protokol jalanan Kompasiana.

Saya telusuri setiap ruas jalanannya dengan mobile compass mechine dimulai dari beranda saya. Aktivitas yang saya dapati selama 2 hari ini berlalu, sangat mencengangkan. Hampir tak dapat dipercaya, tak ada satupun pribumi yang saya temui di depan beranda Kompasina.

Keragu-raguan saya tak dapat diterima, Saya masih menyangsikannya. Saya pun beranjak melintas di jalan-jalan protokol Kompasiana. Semuanya berawal dari 31 jam sebelumnya, dimulai dari jalan yang dibanggakan yaitu Jalan Terpopuler penulis-penulis yang tulisannya dianggap populer oleh editor. Kemudian menuju Jalan Terbaru setelah melalui Jalan Pilihan Editor yang jalanannya terbuat dari bahan sentimen 'kelompok aspal'.

Tak puas dengan hasil pencarian di kedua jalan, saya pun meneruskan perjalanan ke jalan protokol yang namanya adalah Jalan Kategori yang menjurus ke jalan-jalan artreri lainnya. Namun tiada jua asa bertemu rasa dimaksud mata.

Di ruas Jalan Kategori menuju arteri, saya berharap banyak agar dapat ketemu dengan pribumi Kompasiana, karena arterinya begitu banyak dan menggoda. Potensi tidak ekonomisnya waktu pencarian semakin besar dan tak efektif. Tetapi searching harus tetap dilakukan demi mendapatkan petualangan pikiran-pikiran sesat dan hiburan melucu dari perilaku aneh Pribumi Kasipenisnya.

Kata-kata seperti disepak kaki-kaki cadas, tulisan pun menggelinding di arteri Jalan Bola, tak satu pun didapati pribumi di jalan lapang berkarang tersebut. Jempol kembali pada tempatnya tuk menyisir Jalan Ekonomi, nampak terlalu mahal harga yang harus dibayar, pribumi pun tak tampak batang hidungnya di pasar yang berlapak konglomerasi tersebut.

Satu lagi jalan yang harus saya tempuh dengan memutar balik melawan arah dengan mengikuti imaji, yaitu di jalan yang terkadang absurd. Dimana di jalan ini seringkali fakta menjadi fiksi dan maya menjadi nyata atau sebaliknya. Yah, itulah angan yang khayal berlalulalang di jalan bernama tanpa papan nama, yakni Jalan Fiksiana.

Setelah berlama-lama mengawang tanah dan mengangkasa ranah di Fiksiana, pribumi tak berbekas sidik jari disana. Perjalanan harus ditapaki lagi menuju Jalan Gaya Hidup dan Jalan Hiburan. Di jalanan ini tampak banyak siluet yang glamour dan penuh humor juga horor. Pribumi yang saya cari tak ada di sini. Begitu juga di Jalan Hijau, Muda, Olahraga, Kesehatan, Wisata, Tekno, Otomotif dan Energi, tak jua terlihat pribumi yang dimaksud.

Masih ada jalan-jalan Kategori lainnya, inilah kesempatan 1 jam terakhir pencarian saya di 30 jam berlalu. Jalan Media, Jalan Humaniora, Jalan Kotak Suara, Jalan Politik, Jalan Regional. Bahkan di Jalan Jakarta, nyaris tak dapat saya jumpai satu pun pribumi beranjangsana dalam kata. Sungguh pribumi sangat disayangkan pada makna. Dan perjalanan ini sudah pantas cukup ditata sampai di sini saja.  

Apakah gerangan? Mengapa hal ini bisa tarjadi sedemikian? Dimanakah kata pribumi selama sehari ini di Kompasiana tak menapak di bumi? Adakah perihal yang menyebabkan kata pribumi tak membumi kekata di kepala berita? Kenapa kata pribumi mendadak sirna di Kompasiana? Apakah kata pribumi akan kembali mengakar-membumi lagi sesuai fenom dan sikon?

Pertanyaan sederhana yang mungkin saja jawabannya harus memanipulasi keadaan sukar yang ada. Jawabanya hanya ada pada orang-orang pribumi tanpa bumi. Mereka mengaku pribumi namun tak membumi karena satu, dua, tiga, empat atau mungkin ribuan alasan hingga menyalahkan dan mengkriminalkan kata pribumi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun