Mohon tunggu...
Raka Zulfikar
Raka Zulfikar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang MM, Masters of Moron-ness..

Life can be full of surprises~

Selanjutnya

Tutup

Humor

Pedagogi Dosa #8: Belajar Mengenal Anekdot "Tidak Bermakna" yang Dihasilkan oleh Imaji-imaji Liar

6 Maret 2023   16:57 Diperbarui: 6 Maret 2023   17:14 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humor. Sumber ilustrasi: PEXELS/Gratisography

Foto: Google

[Apa yang terjadi jika Indonesia tidak pernah dijajah? Beberapa tahun yang lalu diriku membaca artikel yang membahas pertanyaan ini. Salah satu tesis di dalamnya menjawab kemungkinan Indonesia tidak akan ada. Setiap pulau yang sekarang tergabung menjadi bagian negara ini akan menjadi negara sendiri-sendiri. Setiap kerajaan akan menciptakan negaranya sendiri. Dan mungkin tidak akan ada bahasa Indonesia, karena setiap kerajaan memiliki bahasanya masing-masing. Contoh, kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan akan menggunakan bahasa Bugis-Makassar, kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tenggara akan menggunakan bahasa Buton, Tolaki, dan Muna, kerajaan-kerajaan di Kalimantan akan menggunakan bahasa Dayak dan Melayu, serta pada kerajaan-kerajaan lainnya. Sejalan dengan judul tulisan ini, pertanyaan di atas adalah salah satu dari banyaknya imaji-imaji liar yang berkembang di luar sana, menunggu seseorang untuk menyadarinya dan mempertanyakannya.

Seperti imaji-imaji yang ditawarkan oleh salah satu sutradara favoritku, Quentin Tarantino, dalam karya-karyanya yang mengimajinasikan bagaimana jika seandainya Adolf Hitler mati di dalam gedung bioskop? Atau bagaimana jika ada orang kulit hitam yang menjadi sosok pahlawan dimasa-masanya yang paling kelam? Atau bagaimana suasana Hollywood di akhir tahun 60an terlepas dari apapun sejarah yang membentuknya? Imaji-imaji liar tersebut ku rasa dapat menjadi diskursus yang menyenangkan ditengah gempuran pertunjukan teater modern yang melulu mempertunjukkan sesuatu yang memang sudah seperti itu adanya, penuh pesan-pesan kebaikan dan keniscayaan, dan penggambaran kebaikan yang klise, fana, dan cenderung berulang terus-menerus. Karena hal-hal seperti ini lah ku rasa dunia perfilman saat ini akan tetap membutuhkan orang-orang yang memiliki paradigma seperti Quentin Tarantino.

Tulisan ini ku bagi menjadi enam bab anekdot, yakni:

Bab I               : Reservoir Dogs (1992) dan Sudut Pandang “Tidak Bermakna”

Bab II              : Nada-Nada dari Pertengahan Abad ke 20

Bab III             : Kaki Perempuan dan Kulit Hitam

Bab IV             : Domergue’s Got a Secret

Bab V              : Gerakan yang Memecah Keheningan

Bab VI             : Setuju Untuk Tidak Setuju Vol. 1

Membuatnya menjadi seri Pedagogi Dosa terpanjang yang pernah ku tulis sejauh ini.]

Bab I 

Reservoir Dogs (1992) dan Sudut Pandang “Tidak Bermakna”

Foto: Google

Fiksi. Fiksi yang benar seharusnya tidak relate dengan kenyataan. Kalimat pertama yang muncul di dalam kepala ku ketika menyelesaikan Reservoir Dogs (1992). Film ini adalah film pertama Quentin Tarantino. Film yang aneh, bercerita tentang beberapa orang yang merencanakan dan melakukan perampokan berlian dan di akhiri dengan *tiiiiittt. Terbagi dalam beberapa bagian yang menyatu di akhir. Tidak ada contoh dan teladan yang dapat ditiru dalam film ini. Minim makna dan sangat tidak mungkin skenario film ini terjadi di dunia nyata. Tentu saja ada kemungkinan skenario itu terjadi di dunia nyata, namun ku rasa peluang terjadinya hanya sepersekian persen. Adegan penyiksaannya lebih menjurus ke thriller dari sekadar drama/kejahatan. Keseluruhan film di dominasi dengan dialog ketimbang aksi nya. Diriku berani bertaruh orang biasa tidak akan betah duduk berlama-lama menonton film ini.

Sialnya, Reservoir Dogs (1992) benar-benar tidak menghasilkan kesimpulan yang memiliki bobot untukku, tapi entah mengapa diriku sangat menikmati jalannya film yang berdurasi satu setengah jam tersebut. Beberapa waktu lalu, sempat ku terkagum-kagum dengan Game of Thrones (2011) dan House of The Dragon (2022). Kedua series drama politik itu memberikan ku kesimpulan seperti yang telah ku bahas pada beberapa tulisan sebelumnya. Fight Club (1999) karya David Fincher memberikanku gambaran perjuangan seseorang melawan kebosanan. Interstellar (2014) karya Christopher Nolan menggambarkan penyesalan yang perlu dan harus diambil untuk kebaikan bersama. Semua film yang kusebutkan barusan memiliki pesan moral yang dalam dan penting untuk disampaikan kepada orang-orang. Reservoir Dogs (1992)? Tidak ada kesimpulan yang bisa dihasilkan dari film ini. Menjadikannya sebagai film tanpa makna yang bangsatnya berakhir spektakuler!

Yang menarik perhatianku dalam film ini adalah sepertinya film ini menjelaskan secara lugas tentang bagaimana orang dapat menikmati Reservoir Dogs (1992) dan karya-karya Tarantino ke depannya, yaitu dengan memperhatikan ‘detail’. Ada dialog yang berkata begini: “Hal-hal yang harus kau ingat adalah detailnya. Detail yang akan menjual ceritamu”. Tidak disebutkan detail apa yang dimaksud. Namun yang pasti, bagi mereka yang ‘khatam’ dengan film-film yang dibuat oleh Tarantino secara terperinci pasti tau kalo doi selalu memainkan dialog yang panjang, dan entah kenapa diriku merasa detail yang dimaksud oleh Reservoir Dogs (1992) adalah ‘detail’ percakapan dari dialog yang panjang-panjang tersebut. Seakan-akan Tarantino membuat Reservoir Dogs (1992) sebagai ‘buku panduan’ untuk bagaimana penonton memahami film-filmnya. Astaga!!

Reservoir Dogs (1992) keluar dengan mendapat sambutan yang sangat baik dari kritikus. Majalah film asal Inggris, Empire, bahkan menyebutnya sebagai “Film Independen Terbaik Sepanjang Masa”. Menjadikan Tarantino sebagai sutradara yang sangat cepat bersinar pada era 90an dan membuktikan kalo cerita-cerita fiksi, tidak linear, minim pesan moral dan filosofi dapat disukai oleh orang banyak. Tarantino menjual imajinasi liar pada suatu momen kehidupan yang acak dan membuat sesuatu yang ‘omong kosong’ menjadi spektakuler.

Bab II

Nada-Nada dari Pertengahan Abad 20


Sebagai sutradara yang hidup di era modern, Tarantino ternyata cukup eksentrik dengan menggunakan lagu-lagu yang berumur nyaris sama dengannya. Di saat sutradara lain gencar menggunakan nada-nada klasik terbarukan dan lagu-lagu yang se-era, doi berani mengambil risiko menggunakan genre yang hampir tidak terdengar oleh telinga-telinga orang masa kini. Bayangkan, kira-kira berapa banyak anak muda yang tau imagine dari John Lennon daripada anak muda yang tau Ghost dari Justin Bieber? Maksudku, risiko ini nyata karena soundtrack merupakan salah satu unsur daya tarik suatu suatu film. Kecocokan lagu pada suatu scene akan menyentuh ‘rasa’ seseorang yang menontonnya. Hal ini akan melepaskan sisi emosional penonton sehingga penonton menjadi lebih bersimpati pada suatu karakter dalm film. Untukku pribadi, lagu atau nada-nada pada film adalah unsur penting yang mengantarkan plot pada penekanan-penekanan yang kurang kuat diperlihatkan oleh adegan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun