Mohon tunggu...
Leita Anggraeni
Leita Anggraeni Mohon Tunggu... -

dalam kesendirianku..kuhabiskan waktuku dalam kepalaku..

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kara, Bahagia yang Hilang

4 Januari 2017   16:55 Diperbarui: 4 Januari 2017   17:05 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

ADNAN IBRAHIM KARRA, SEBUAH NAMA DENGAN SEJUTA KISAH.

Aku disini Kara, menembus hujan dan dinginnya. Menggigil. Berkelebat terus bayang mu. Bayang perih kepergianmu.  Disini Kara, kau tinggal aku sendiri hanya karena aku telah memilih. Memilih dia yang telah aku yakini sepenuh hati. 

Aku melihatmu datang di pesta ramai pernikahan ku. Kau memakai kemeja biru favorit ku. Celana jeans dan sepatu hitam yang dulu pernah ku beri. “Kara, ini malam dan hujan tapi kau memakai kacamata hitam . Ada apa ?”. “kesedihan ku lahir dari air sungai di pipi. Basah. Membasahi hati. Aku luka. Dan kau tetap tertawa bahagia di atas sana”.

Tak bisa kah kau bilang dari awal Kara, atas cinta yang hadir di dalam hatimu. Tidak bisakah kau bicara Kara bahwa cinta itu aku. Di ujung waktu, di sisa air hujan yang turun aku mengharuskan melihat air sungai kecil di pipimu. Aku tertegun Kara. Aku sakit hati. Aku merasa telah mengkhianati apa- apa yang pernah ada di antara kita. Lantas kau pergi begitu saja. Meninggalkan pelukan hangat mu tergantikan dengan dingin nya malam itu. Kara seandainya kau bicara. Kara seandainya aku bisa memilih kembali harusnya tak mungkin kau meluka sebegini dalam. Karra maaf.

Kini, aku kembali ke tempat di malam itu. dengan hujan dari langit hati. Aku membawa hati penuh luka. Hati yang dulu kau rawat sedemikian baiknya. Kini hancur Kara. Karena sebuah ikat dan akad pernikahan. Aku pikir aku pemilih yang tepat. Aku pikir aku pemilih yang hebat. Ternyata tidak Kara. Aku tersakiti hari demi hari. Aku terluka hari demi hari. Orang tua, keluarga, semuanya Kara.

Kara kali ini aku berdiri di tepi jurang kebodohan yang aku buat. Aku jatuh cinta. Jatuh cinta dengan begitu dalam. Berharap mencintai karena kuasa illahi. Tapi tidak Kara. Aku salah. Benar – benar salah. Aku ternyata bukan memilih yang tepat. Aku ternyata bukan pemilih yang handal. Aku tidak menjadi pribadi yang lebih baik setelah ini. Kara dimana ?? dimana tawa yang kau bilang ketika hari pernikahan ku itu ? dimana bahagia yang katanya akan datang ketika pernikahan itu terlaksana. Kara haruskah aku bilang bahwa aku tak bahagia. Pernikahan ku ini melelahkan Kara. Aku tak bisa tersenyum kembali. Aku tak bisa tertawa kembali. Tapi aku pun juga tak bisa melangkah mundur Kara. Kara dimana ??

Kara rindu hujan tidak ? rindu pelangi tidak ? rindu debur ombak tidak ?

“aku merindukan setiap desah nafasmu disini. Di jurang perpisahan yang kau beri untuk ku ini. tak ada pilihan yang salah kau tau. Tak ada cinta yang salah. Bahkan sampai detik ini aku pun masih mencintaimu dengan hati yang sungguh. Cintailah apa yang kau pilih. Hargai apa yang kau pilih. Seperti aku mencintai dan menghargai segala yang ada padamu.”

“kara kau datang ? kau ada kara ? disini ?”

“aku selalu disini. Setiap hujan turun. Dan setiap rindu menggenapi. Aku melihatmu merintih perih. Entah apa yang sedang terjadi. Ada kalut di mata itu. aku melihatnya. Tak perlu kau bicara. Aku melihat ada luka dalam yang tersisa di rintik terakhir air mata itu.”

Kara.. entah bagaimana semua terjadi. Aku menemukan ada disini adalah satu hal yang mampu membuatku tenang. Lebih tenang dari apapun. Pelukan yang lahir dari tatapan mata itu mampu menghangatkan segala dingin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun