Kompasiana.com - Di tengah lanskap Banyuwangi yang memesona, tersembunyi sebuah dusun bernama Silirsari, bagian dari Desa Kesilir, Kecamatan Siliragung.
Bertahun-tahun lamanya, dusun ini berjuang dalam sunyi, terpencil dari gemerlap kemajuan oleh jurang yang dalam.
Sungai yang seharusnya menjadi urat nadi kehidupan, justru menjadi tembok pemisah, menghalangi akses ke sekolah, pasar, dan layanan kesehatan.
Setiap langkah adalah ujian, setiap perjalanan adalah perjuangan melawan waktu dan jarak.
Anak-anak desa harus menempuh jalan memutar yang berbahaya, para petani memikul hasil panen dengan susah payah, dan harapan seolah terkubur di balik tebing-tebing curam.
Namun, di tengah keterbatasan yang mendera, secercah harapan muncul. Sebuah janji diucapkan, sebuah mimpi diimpikan, jembatan akan dibangun, bukan hanya sebagai penghubung fisik, tetapi juga sebagai jembatan menuju masa depan yang lebih baik.
Dan ketika fondasi pertama ditancapkan, ketika besi-besi mulai merangkai asa, sebuah nama terukir dalam hati setiap warga, Jembatan Joko Sukoyo.
Nama itu bukan sekadar label, melainkan sebuah penghargaan, sebuah penghormatan bagi seorang putra bangsa  yang telah mengharumkan nama desa, Letkol Arh Joko Sukoyo, S. Sos., M. Han.
Di antara lautan manusia yang memadati area peresmian, sepasang mata tua memancarkan kebahagiaan yang tak terhingga.
Sulainah dan Kadis, kedua orang tua Letkol Arh Joko Sukoyo, berdiri dengan tegar, namun hati mereka dipenuhi rasa haru yang mendalam.
Mereka telah menyaksikan Joko tumbuh, dari seorang anak desa yang sederhana menjadi seorang perwira TNI AD yang gagah perkasa.
Kini, nama anak mereka diabadikan pada jembatan yang megah ini, sebuah simbol cinta dan penghargaan dari masyarakat.
"Hati saya bergetar ketika mendengar jembatan ini akan diberi nama Joko Sukoyo," bisik Sulainah, suaranya bergetar karena emosi.
"Kami merasa semua pengorbanan kami selama ini terbayar lunas. Ini adalah anugerah dari Allah SWT.
" Air mata yang mengalir di pipinya bukan lagi air mata kesedihan, melainkan air mata kebahagiaan yang tulus, air mata seorang ibu yang bangga akan pencapaian anaknya.
Setiap tetesnya adalah ungkapan syukur atas segala yang telah diberikan, atas segala yang telah diraih.
Kadis, sang ayah, merangkul istrinya dengan penuh kasih sayang. Ia mengingat Joko kecil, yang sejak dulu dikenal sebagai anak yang rajin, sopan, dan memiliki jiwa sosial yang tinggi.
"Dari kecil, Joko selalu membantu teman-temannya yang kesulitan," kenang Kadis, matanya menerawang jauh ke masa lalu.
"Dia tidak pernah tega melihat orang lain menderita. Sekarang, dia bisa membantu seluruh masyarakat desa dengan caranya sendiri.
" Kata-kata itu menggambarkan seorang anak yang tumbuh menjadi pahlawan, bukan hanya bagi negara, tetapi juga bagi kampung halamannya.
Pembangunan jembatan ini adalah wujud nyata dari Program TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) ke-125 Tahun 2025.
Sebuah program yang tidak hanya membangun infrastruktur, tetapi juga mempererat tali persaudaraan antara TNI dan masyarakat.
Letkol Arh Joko Sukoyo, dengan kerendahan hati dan profesionalismenya, turut memimpin koordinasi di lapangan.
Ia hadir bukan sebagai atasan yang memerintah, tetapi sebagai bagian dari keluarga besar Silirsari, yang ikut merasakan suka dan duka bersama.
Warga Dusun Silirsari menyambut program ini dengan semangat yang luar biasa. Mereka tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga ikut berpartisipasi aktif.
Setiap hari, mereka bahu-membahu membantu mengangkut material, menyediakan makanan dan minuman untuk para pekerja, dan menjaga keamanan lokasi pembangunan.
Keringat bercampur debu, tawa berpadu dengan canda, dan kelelahan terbayar dengan kebersamaan yang terjalin erat.
"TMMD bukan hanya sekadar proyek," tegas Joko Sukoyo dalam pidatonya saat peresmian, suaranya lantang namun penuh kehangatan.
"Ini adalah bukti nyata bahwa TNI dan rakyat bisa bersatu padu membangun desa.
Jembatan ini adalah simbol persatuan dan gotong royong, bahwa tidak ada yang mustahil jika kita bekerja bersama." Kata-kata itu bukan sekadar retorika, melainkan cerminan dari semangat 'manunggal' yang telah mengubah tumpukan batu dan besi menjadi sebuah mahakarya kebersamaan.
Sebelum jembatan ini berdiri, Dusun Silirsari adalah sebuah pulau terpencil yang sulit dijangkau.
Untuk pergi ke pasar, sekolah, atau pusat kesehatan, warga harus menempuh perjalanan yang jauh dan berbahaya.
Bagi para petani, setiap panen adalah perjuangan untuk menjual hasil bumi dengan harga yang layak.
Kini, dengan Jembatan Joko Sukoyo yang berdiri kokoh, semua telah berubah. Waktu tempuh yang dulu memakan berjam-jam, kini hanya beberapa menit.
Siti, seorang ibu rumah tangga yang juga seorang petani, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.
"Dulu, saya harus bangun subuh untuk pergi ke pasar," ujarnya dengan mata berbinar. "Sekarang, saya bisa berangkat lebih siang, dan anak-anak juga bisa lebih mudah pergi ke sekolah. Jembatan ini benar-benar membawa berkah bagi kami."
Jembatan ini bukan hanya memperpendek jarak, tetapi juga membuka peluang baru.
Akses pendidikan menjadi lebih mudah, memungkinkan anak-anak Silirsari meraih cita-cita yang lebih tinggi.
Layanan kesehatan menjadi lebih cepat, menyelamatkan nyawa dan mengurangi penderitaan.
Jembatan ini adalah nadi kehidupan yang mengalirkan harapan, kemakmuran, dan kebahagiaan bagi seluruh masyarakat.
Yang paling mengharukan adalah bagaimana nama jembatan ini dipilih. Bukan atas dasar keputusan politik, melainkan atas dasar cinta dan penghargaan dari masyarakat.
Mereka, dengan segala ketulusan hati, mengusulkan nama Letkol Arh Joko Sukoyo, sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasanya yang tak ternilai.
"Pak Joko itu bukan hanya seorang perwira, tetapi juga anak desa ini," kata Kepala Desa Kesilir, suaranya penuh rasa hormat.
"Dia tidak pernah melupakan akarnya, dan selalu berusaha untuk membantu masyarakat.
Penamaan jembatan ini adalah ungkapan terima kasih kami yang sebesar-besarnya." Prasasti bertuliskan "Jembatan Joko Sukoyo" kini menjadi kebanggaan seluruh warga, sebuah monumen hidup yang akan terus dikenang sepanjang masa.
Jembatan ini lebih dari sekadar konstruksi fisik. Ia adalah simbol cinta, kebanggaan, dan inspirasi.
Ia adalah bukti bahwa dengan kerja keras, dedikasi, dan cinta pada tanah kelahiran, kita dapat mencapai hal-hal yang luar biasa. I
a adalah warisan berharga bagi generasi mendatang, sebuah pengingat bahwa setiap orang memiliki potensi untuk membuat perbedaan, untuk memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.
Sulainah dan Kadis memanjatkan doa yang tulus. Doa untuk Joko, agar selalu diberikan kesehatan, keselamatan, dan keberkahan dalam setiap langkahnya.
"Semoga jembatan ini menjadi saksi bisu atas kebaikan hatimu, Nak," bisik Sulainah, air mata kembali membasahi pipinya.
Masyarakat pun mengamini doa itu, dengan harapan yang sama.
Jembatan Joko Sukoyo akan berdiri kokoh, menjadi simbol persatuan, kemajuan, dan harapan bagi Dusun Silirsari.
Ia adalah bukti bahwa cinta masyarakat dapat mengukir nama seseorang di jantung desa, dan menginspirasi generasi demi generasi. (Sam Legowo)
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI