Mohon tunggu...
Legiyani Dewi
Legiyani Dewi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hati Seorang Nisa

26 Februari 2019   16:00 Diperbarui: 26 Februari 2019   15:58 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Perempuan memang makhluk yang sulit dimengerti. Begitulah yang dibilang kebanyakan lelaki. 'Pasti ada sesuatu lagi, nih', Putra bergumam dalam hati melihat tingkah Nisa kali ini. Tak diduga sikap Nisa berubah 180 derajat semenjak tadi siang. Saat Putra meneleponnya tadi pagi suara Nisa terdengar riang dengan tawanya yang sangat renyah. Namun Nisa yang ada di hadapannya kini dipenuhi oleh raut muka yang tak karuan. Cemberut dan nada bicaranya agak sinis jika ditanya.

            "Kamu tuh enggak pernah ngertiin aku!" Nisa tiba-tiba saja mengeluh pada Putra dengan muka yang ditekuk. Putra tidak mengerti dengan ucapan Nisa. "Maksud kamu apa, sayang?" Putra mencoba untuk mencairkan suasana yang tiba-tiba saja berubah dingin seperti ini. Nisa masih diam seribu bahasa. Setiap pertanyaan yang dilontarkan Putra kepadanya selalu dibalas dengan keheningan yang tiada habisnya. "Suamimu ini tidak mengerti maksudmu, istriku sayang... Tolong jelaskan kepadaku." Putra mencoba untuk membujuk Nisa untuk berterus terang padanya.

            Nisa tak mengindahkan omongan Putra. Dia tetap sibuk membolak-balikkan majalah wanita yang ada di tangannya itu tanpa tahu bagian mana yang ingin dibacanya. Putra mengacak-acak rambutnya. Dia mulai kesal dengan keadaan ini. "Kalau ada apa-apa ngomong dong, sayang. Aku baru pulang dari luar kota dan tadi pagi sepertinya baik-baik saja. Kenapa tiba-tiba sekarang menjadi begini? Sungguh, aku sedang tidak selera untuk berdiam-diaman seperti ini." Putra seolah berbicara dengan dirinya sendiri. Nisa masih bergeming dalam diamnya.

            Sore ini matahari masih cukup terik. Sang surya itu benar-benar tak segan menampakkan kegagahan dirinya. Terik ini sangat menyengat bagi Putra, ditambah suasana panas yang ada di dalam rumah sejak siang tadi. 'Memangnya kesalahan apa yang kulakukan?' Berulang kali Putra memikirkan tindakan apa yang membuat Nisa menjadi sinis.

            Putra menyeruput kopi hitam di depannya. Rasanya kopi yang diminumnya itu memiliki rasa lain, bukan sekedar pekat. Lebih pahit dari biasanya. Suasana hatinya seketika berubah mengikuti rasa pahit yang menyelusup ke setiap pori-pori lidahnya. Nisa lebih memilih diam dan mencoba untuk mencari kesibukan sendiri. Nisa berusaha menghindari tatapan Putra. Nisa sangat malas untuk berbicara dengan Putra sekarang. Rasa kesalnya kini sedang berada di puncak.

            'Kamu benar-benar menyebalkan, mas. Sudah lebih dari tiga tahun kita pacaran dan sekarang kita sudah menikah selama dua tahun. Tapi kamu masih saja tidak mengerti aku. Hal yang sangat penting buatku. Dan rasanya itu tidak ada artinya bagimu.'  Hati Nisa sangat dongkol namun lidahnya kelu untuk mengungkapkan sepatah kata pun kepada suaminya itu. Nisa ingin suaminya memahami dirinya tanpa Nisa harus merajuk-rajuk. Nisa hanya ingin suaminya lebih peka terhadap perasaannya karena menurut Nisa waktu yang selama ini mereka jalani sudah memberikan ruang yang cukup bagi Putra untuk mengerti apa yang ada di dalam hatinya tanpa pengutaran lisan.

            Suara televisi di depan keduanya seolah menjadi backsound dalam adegan drama percintaan mereka. Tidak ada reaksi yang berarti dari keduanya hingga perhatian Putra teralihkan oleh sesuatu yang membuatnya tampak berpikir. Sekilas Putra melirik Nisa yang masih sibuk dengan bacaan di pangkuannya. Tampaknya Nisa tidak menyadari apa yang barusan menyita perhatian Putra.

            Putra mendapatkan sebuah ide. Putra beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju pekarangan rumah di belakang. Dengan cekatan Putra memotong lima tangkai bunga mawar merah yang baru saja bermekaran. Kemudian Putra berpindah ke dapur untuk mencari seutas pita berwarna putih di laci dekat meja makan. Putra tersenyum lebar melihat kreasi kecilnya itu. Tak sampai satu menit Putra kini sudah menekan-nekan tuts angka di telepon genggamnya untuk menghubungi seseorang.

            "Oke pak, saya tunggu pesanan saya. Tidak sampai tiga puluh menit loh, pak... Baik. Terima kasih." Putra semakin tersenyum lebar. Dia yakin kebekuan ini akan berubah mencair seketika setelah rencananya itu berhasil dilakukan. Putra kembali ke tempat duduknya dan mencoba bersikap sewajar mungkin.     Nisa masih diam seribu bahasa. Putra pun memakluminya. Tapi dia yakin rencananya akan mengubah semua ini.

            Sudah dua puluh menit. Putra melihat jam di tangannya. Tak lama kemudian suara bel rumah berbunyi. "Biar aku saja," ujar Putra. Bergegas Putra segera menuju pintu depan dan membukanya, berharap orang yang ditunggunyalah yang datang. Betapa leganya harapannya itu terpenuhi. Seorang lelaki dengan usia yang tidak jauh berbeda dengannya tengah berada di hadapannya dengan membawa sebuah kotak berukuran 30x30 cm di kedua tangannya. Muka Putra berubah sumringah.

            "Akhirnya datang juga. Terima kasih ya, mas. Ini... tipnya." Lelaki bertopi merah itu tersenyum ramah dan badannya agak membungkuk meminta pamit. "Ya sama-sama, pak." Mobil pick-up di depan rumahnya pun segera melaju kembali menuju keramaian kota. Dengan hati-hati Putra menuju dapur. Sebisa mungkin Putra tidak ingin membuat kegaduhan. Tidak sampai lima menit, semua rencananya sudah tertata rapi. "Oke. Let's go, buddy!."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun