Sebagaimana dikutip dari laman resmi Presiden RI, Prabowo Subianto menyatakan komitmen Indonesia menuju swasembada pangan dan energi sebagai langkah utama guna menghadapi tantangan global yang makin kompleks. Komitmen tersebut disampaikan pada pidato pertamanya usai Pengucapan Sumpah sebagai Presiden Republik Indonesia di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD, Jakarta, pada Minggu, 20 Oktober 2024.
Apa yang disampaikan Presiden Prabowo tentu sangat relevan ditengah negara-negara di dunia sedang dan akan menghadapi tantangan global yang sangat besar, utamanya terkait dengan kebutuhan pangan. Dunia saat ini tengah dihadapakan pada krisis sumber daya alam yang dipicu oleh degradasi kualitas lingkungan dan perubahan iklim, namun disisi lain pertumbuhan jumlah penduduk dunia yang kian cepat. Saat ini diperkirakan ada sekitar 8,1 milyar jiwa  yang sangat bergantung pada kebutuhan pangan. Jumlah penduduk Indonesia sendiri setidaknya sebanyak 283 juta jiwa (databoks.katadata.co.id). Krisis ini diprediksi akan terus berlanjut, seiring dengan pola pengelolaan sumber daya alam yang kian eksploitatif dan memicu dampak eksternalitas terhadap kualitas lingkungan global. Prinsip -- prinsip sustainable development pada faktanya masih pada level tataran wacana, tapi pada implementasinya kebijakan sectoral justru masih mengabaikan prinsip equality of dimension yakni dimensi lingkungan, social dan ekonomi, khususnya terkait Intergenerational equity principle.
Kita tahu, saat ini ketergantungan pangan antar negara mulai kentara. Ini bisa terlihat dari dinamika geopolitik global sangat berpengaruh terhadap rantai pasok pangan global. Perang antara Rusia versus Ukraina misalnnya,  turut memberikan dampak terhadap suplai gandum ke Indonesia, padahal Ukraina  adalah eksportir gandum terbesar ke Indonesia dengan suplai share sebesar 25,50% dari total impor sebanyak 11,22 juta ton di tahun 2022 (sumber : USDA, 2022). Fakta lain yang juga mestinya menjadi bahan evaluasi kebijakan RI yakni terkait importasi beras yang terus dilakukan, padahal RI merupakan negara agraris. Data BPS sebagaimana dikutip dalam laman cnbcindonesia.com, sepanjang tahun 2024 total produksi beras nasional mencapai 30,41 juta ton, turun dibanding tahun 2023 yang mencapai 31,10 juta ton. Kondisi ini memaksa RI harus mengimpor beras pada tahun yang sampai mencapai 4,52 juta ton, naik dibanding tahun 2023, dimana Impor tersebut berasal dari Thailand, sebanyak 1,36 juta ton, Vietnam sebanyak 1,25 juta ton, sisanya Pakistan dan India.
Jika krisis lingkungan dan perubahan iklim terus terjadi dan tanpa ada upaya pengendalian, jelas akan mengancam terhadap produktivitas sector sektor strategis berbasis pangan terutama sector pertanian, kelautan dan perikanan. Dalam kontek ketahanan pangan global, kedua sektor ini menjadi tumpuan saat ini dan masa depan. Negara-negara lain di dunia seperti India, China, Taiwan, Jepang dan lainnya justru mulai fokus pada pengembangan modernisasi teknologi untuk meningkatkan produktivitas kedua sector ini. Bahkan negara-negara yang minim potensi dan nota bene bukan negara agraris telah lebih dahulu mengembangkan riset dan teknologi untuk pengembangan pertanian modern di lahan-lahan sempit (urban farming). Ini membuktikan bahwa negara lain beberapa langkah lebih maju dalam melakukan mitigasi terhadap terjadinya krisis pangan. Lalu bagaimana dengan RI?
Kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam, khususnya sector agribisnis mestinya tidak dilakukan sekonyong-konyong, tapi merupakan investasi jangka panjang melalui riset untuk menghasilkan inovasi teknologi yang adaptif dan efisien, dan tentunya didukung kebijakan afirmatif yang fokus pada upaya perlindungan terhadap sector agribisnis secara konsisten. Ini yang menjadi penyebab kita selalu tertinggal dari negara-negara lain. Tantangan global yang kian besar, akan memaksa negara-negara di dunia mencari caranya sendiri dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Seiring perkembangan inovasi dan teknologi yang kian cepat, semua negara dipastikan akan berlomba bagaimana mewujudkan ketahanan pangan dengan mengoptimalkan potensinya masing-masing tanpa harus bergantung pada negara lain. Gelagat proteksionisme dalam perdagangan, termasuk bahan pangan diprediksi akan terjadi. Ini yang harus diantisipasi oleh RI. Oleh karena itu, jika kita tidak melakukan langkah-langkah mitigasi sejak awal, pastinya kita akan mempertaruhkan nasib 283 jiwa penduduk Indonesia.
Sebagai pembanding, meski potensi pertanian Indonesia jauh lebih besar dibanding negara-negara lain seperti Thailand dan Vietnam, namun kedua negara telah memposisikan diri sebagai negara yang mampu mandiri di sekor pangan. Ini terlihat dari posisi kedua negara sebagai bagian penting eksportir komoditas pangan. Â Kinerja ini diwujudkan melalui strategi implementasi kebijakan yang integrative pada semua subsistem yang terkait langsung menjadi daya ungkit kinerja pertanian nasional. Nampaknnya RI patut belajar pada Thailand sebagai best practices dalam kemajuan sector pertanian nasional.
Sebagai gambaran untuk komoditas padi, merujuk pada data BPS, tahun 2024 luas panen padi tahun 2024 mencapai sekitar 10,04 juta hektar dengan produktivitas rata-rata mencapai 5,29 ton per hektar. Dalam lima tahun  terakhir (2020 -2024), total luas sawah di Indonesia mengalami penurunan rata-rata sebesar 1,46% per tahun, atau rata-rata tiap tahun RI kehilangan lahan sawah seluas lebih kurang 155.590 hektar. Data menyebut penurunan luas lahan sawah lebih disebabkan karena alih fungsi lahan menjadi pemukiman, industri dan infrasruktur lainnya. Contoh kasus, merebaknya industrialisasi di Kabupaten Karawang telah memicu terjadinya alih fungsi lahan sawah yang cukup signifikan. Karawang yang sejak dulu memiliki predikat sebagai lumbung padi nasional, kini bertransformasi menjadi kota industri. Data menyebut selama tahun 1989-2007 laju alih fungsi sawah mencapai 135,6 hektar per tahun, artinya ada 2.441 hektar lahan sawah hilang. Pun demikian kondisi saat ini bisa saja masih berlangsung, seiring kebijakan Pemerintah dalam menggenjot investasi masuk.
Dari aspek kesejahteraan petani, kita bisa lihat dari data jumlah petani gurem yang terus naik setiap tahun, BPS mencatat dari total jumlah petani tahun 2024 sebanyak 27,80 juta orang, ternyata sebanyak 17,25 juta orang (62%) merupakan petani gurem (luas garapan < 0,5 ha). Minimnnya luas lahan garapan jelas berdampak terhadap hasil produksi pertanian.
Berbagai dinamika permasalahan ini tentu menjadi tantangan di tengah visi Pemerintah mewujudkan ketahanan pangan nasional. Apalagi disisi lain, jika mengamati orientasi porsi pembiayaan pembangunan justru belum menunjukan keberpihakan secara penuh terhadap upaya mendorong kemandirian pangan nasional. Dalam porsi APBN TA. 2025 misalnya, anggaran Kementerian Pertanian justru dipangkas sebesar Rp.10,28 trilyun dari pagu senilai Rp.29,30 trilyun, sementara anggaran Kementerian KP dipangkas sebesar Rp.2,12 trilyun dari pagu senilai Rp.6,22 trulyun . Tentu ini menjadi tanda tanya besar, dimana semestinya justru memberikan porsi anggaran yang lebih besar. Dari 77 proyek strategis nasional (PSN) tahun 2025 -- 2029, Pemerintah masih fokus pada orientasi percepatan industrialisasi dan pembangunan infratruktur, meskipun ada beberapa proyek pendukung pertanian seperti pembangunan irigasi, dan food estate, namun masih dirasakan belum cukup untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Masalah mendasar yang dihadapi saat ini yakni alih fungsi lahan pertanian, biaya produksi dan logistic yang tinggi, perlindungan lahan, stabilitas harga, dan produktivitas yang rendah. Ini yang memicu ancaman terhadap regenerasi petani, karena kecenderungan generasi milenial dan Gen-z memandang sector ini kurang menjanjikan.
Harmonisasi Regulasi dan Aturan
Kebijakan ketahanan pangan nasional, harus secara konkrit dilakukan melalui program strategis nasional yang tujuannya jelas memberikan daya ungkit terhadap peningkatan produksi nasional. Pencapaian swasembada pangan terutama bagi komoditas utama di sector pertanian dan perikanan menjadi mutlak, ditengah persaingan negara-negara dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri masing-masing. Upaya yang sangat urgent dilakukan yakni adanya kebijakan Pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap lahan pertanian dan perikanan. Tanpa ada upaya ini, maka mimpi swasembada pangan akan menjadi sia-sia, terutama di masa yang akan datang.