Mohon tunggu...
Kang Chons
Kang Chons Mohon Tunggu... Penulis - Seorang perencana dan penulis

Seorang Perencana, Penulis lepas, Pemerhati masalah lingkungan hidup, sosial - budaya, dan Sumber Daya Alam

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Inilah Sektor yang Harus Unjuk Gigi di Tengah Ancaman Resesi Ekonomi

9 Agustus 2020   07:00 Diperbarui: 9 Agustus 2020   16:50 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi benih ikan.| Sumber: Dokumentasi Kementerian Kelautan dan Perikanan

Baru-baru ini Badan Pusat Statistik (BPS) merilis berita resmi tentang keadaan ekonomi Indonesia di kuartal II tahun 2020. Berita buruknya pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II ini terkontraksi sebesar 5,32%, meski pada kuartal sebelumnya masih mencatat pertumbuhan positif diangka 2,91%.

Tentu ini menjadi lampu kuning bagi ekonomi Indonesia, apakah Indonesia akan masuk jurang resesi ekonomi atau bisa terbebas? Tentu jawabannya akan ditentukan pada kuartal III tahun 2020, apakah pertumbuhan masih minus atau justru sebaliknya? 

Secara sederhana resesi ekonomi menggambarkan kondisi pertumbuhan ekonomi suatu negara yang mengalami kontraksi selama dua kuartal berturut-turut. Singkatnya Indonesia berada di tepian jurang resesi itu, yang jika tidak hati-hati ambil keputusan akan terperosok.

Kira-kira begitu kesimpulan angka yang dirillis BPS secara resmi tiga hari belakangan ini. Memang sudah banyak negara masuk jurang resesi mendahului Indonesia sebut saja negara adidaya sekelas AS juga masuk jurang yang sama bahkan lebih dalam. 

Pertumbuhan ekonomi AS di kuartal II ini terkontraksi sekitar 30%, di mana pada kuartal sebelumnya juga mengalami hal yang sama yakni terkontraksi sekitar 5%.

Sebagai negara maju yang menjadi episentrum perdagangan global dengan peran dollar di dalamnya, apa yang terjadi di negara Paman Syam diprediksi akan berpengaruh langsung terhadap ekonomi Indonesia.

Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira, sebagaimana dikutip dari Kompas menyebut setiap 1% pertumbuhan ekonomi AS akan berdampak sebesar 0,02 - 0,05% pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ini tentu masuk akal, karena AS adalah tujuan utama ekspor produk Indonesia selama ini.

Apa yang terjadi di AS seolah mengkonfirmasi bahwa ekonomi kapitalis pada faktanya juga tidak teruji tahan banting menghadapi gejolak ekonomi global yang kali ini hanya disebabkan oleh makhluk terkecil yang bernama Covid-19. 

Lalu apakah Indonesia masih merasa lebih unggul dibanding AS yang pertumbuhannya melorot jauh dibanding Indonesia. Tentu itu bukan perbandingan yang "apple to apple". AS seperti disebut abah Dahlan Iskan sudah terlanjur kaya.

Sektor Strategis Berbasis Pangan Mesti Jadi Leading Sektor

Jika kita mencermati data rillis BPS di atas terhadap pertumbuhan PDB berdasarkan jenis lapangan usaha, kita bisa lihat bahwa usaha di sektor pertanian, perikanan dan kehutanan masih tumbuh sebesar 2,19%. Pun halnya jika kita melihat struktur PDB Indonesia atas dasar harga berlaku, sektor ini juga masih memberikan share sebesar 15,46%. 

Artinya saya menyimpulkan bahwa sektor berbasis pangan justru punya peluang untuk menjadi tali penyelamat dari jurang resesi ekonomi. Syaratnya tentu upaya cerdas dan political will pemerintah dalam mendorong sektor ini untuk diperkuat kapasitasnya.

Sebut saja sektor perikanan, dengan daya saing komparatif yang tinggi, mestinya pemerintah menjadikan ini sebagai leading sector dan melakukan upaya-upaya yang cerdas, strategi yang inovatif, terutama bagaimana memanfaatkan momentum untuk menjadi nilai positif bagi ekonomi nasional.

Sayang sekali jika melihat data BPS, PDB sektor perikanan justru turun dibanding kuartal I tahun 2020 dan mengalami kontraksi sebesar 0,63%. Masalah tidak terkelolanya sistem logistik terutama rantai pasok saya kira jadi penyebab utama.

Padahal jika melihat trend perdagangan produk perikanan, meski negara-negara maju tujuan utama ekspor perikanan seperti AS tengah mengalami resesi, tapi justru sektor ini masih punya peluang untuk memenuhi supply share.

Pepatah " hidup butuh makan" saya kira menjadi pertimbangan kenapa permintaan pangan justru terus ada. Wabah pandemi Covid-19 justru memicu kebutuhan pangan semakin tinggi, hanya saja terbentur kemampuan daya beli masyarakat. 

Kalau saya cermati data International Trade Center (ITC) tahun 2020, permintaan terhadap produk perikanan masih cenderung stabil. 

Sebut saja market demand udang di pasar ekspor AS masih cukup stabil pada kuartal I tahun 2020, dan saya memprediksi tidak akan berbeda signifikan di kuartal II, meski AS tengah dilanda resesi ekonomi. 

Kita tahu bahwa AS adalah tujuan ekspor terbesar produk perikanan Indonesia dengan market share sebesar 39,98%, disusul Jepang (14,98%), China (14,13%), dan Vietnam (4,08%). Dari angka ini, Indonesia baru menguasai supply share sebesar 7,06% terhadap market demand produk Perikanan AS.

Di tengah kinerja ekspor sektor manufaktur (non agribisnis) yang melorot, mestinya sektor ini bisa menjadi andalan. Bargaining Indonesia, menurut saya ada pada produk pangan yang masih potensial untuk digenjot, utama produk perikanan.

Target peningkatan nilai ekspor udang sebesar 250% di tahun 2024 akan sulit tercapai jika strategi yang digunakan biasa biasa saja yakni menempatkan Pemerintah sebagai provider, sementara swasta yang semestinya sebagai subjek bisnis tidak banyak terlibat. 

Pemerintah harus sudah mengubah upaya-upaya parsial dan instan dengan sejak awal mendorong kebijakan yang komprehensif dan integratif. 

Komprehensif yakni bagaimana program mampu menyentuh masalah mendasar yang jadi sumbatan dalam bisnis perikanan yakni masalah inefisiensi produksi, sistem produksi, sistem logistik, nilai tambah, SDM dan teknologi, infrastruktur, daya saing, akses permodalan dan pasar. 

Lalu integratif yakni bagaimana sistem bisnis berjalan simultan dari hulu ke hilir secara efisien. Singkatnya pemerintah punya peran besar sebagai katalisator dan memastikan berbagai kemudahan akses, bukan semata project based.

Kita harus akui, sektor ini hingga saat ini belum menunjukkan kinerja yang memuaskan terutama jika kita bandingkan dengan potensi sumber daya yang ada. Akuakultur misalnya, diprediksi memiliki potensi nilai ekonomi mencapai 250 milyar USD, tapi faktanya belum berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional.

Jadi dalam konteks peningkatan ekspor, sebelum Indonesia mampu memecahkan masalah inefisiensi produksi, produktivitas dan mutu produk, maka sulit untuk merebut supply share yang tersedia. 

Kita nampaknya harus belajar banyak dari India yang mampu memanfaatkan momentum trade war dua raksasa besar China versus AS dengan merebut kekosongan pasar ekspor udang China ke AS yang terimbas perang dagang. Hingga akhirnya India menguasai market demand yang ada.

Infonya, kini India masih memberlakukan lockdown, dimana industri udangnya juga terkena dampak. Pertanyaannya, sanggupkan Indonesia mengambil alih pangsa pasar yang kosong ini dalam waktu singkat? 

Jawabannya kita tunggu gebrakan Menteri Edhy, tapi melihat fakta yang ada, nampaknya sulit mewujudkan itu di tahun ini yang hanya tersisa empat bulan ke depan. Apalagi jika belum ada upaya konkrit yang menonjol.

Dalam konteks pengeluaran konsumsi rumah tangga yang menjadi faktor pengungkit utama PDB Indonesia, kita bisa merasakan bagaimana pandemi Covid-19 ini telah menggerus daya beli (purchasing power) masyarakat, termasuk nelayan dan pembudidaya. 

Ini saya kira, fokus pemerintah saat ini adalah bagaimana mengungkit daya beli masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan.

Stimulus instan seperti bantuan sosial dalam bentuk cash money untuk tujuan konsumtif saya rasa lebih baik dibarengi juga dengan memberikan stimulus bagi tujuan yang produktif. 

Sektor perikanan dan pertanian, khususnya akuakultur bisa jadi alternatif usaha masyarakat. Tugas pemerintah adalah refocusing program untuk mencetak lapangan usaha baru di sektor ini.

Masa pandemi seharusnya juga jadi momentum untuk menciptakan de-urbanisasi dengan menumbuh kembangkan desa desa mandiri. Anggaran dana desa, sudah saatnya digunakan untuk menciptakan usaha usaha produktif unggulan lokal bagi masyarakat terutama di sektor ini. 

Singkatnya, penciptaan lapangan usaha baru di sektor akuakultur melalui de-urbanisasi, dan diimbangi berbagai stimulus dan fasilitasi kemudahan akses terutama input produksi yang efisien dan jaminan market, saya rasa akan mengungkit daya beli masyarakat untuk jangka panjang. 

Jika daya beli tinggi, maka pengeluaran konsumsi naik dan pada akhirnya, PDB Indonesia akan terkerek. Syaratnya tentu lagi lagi pemerintah mesti selesaikan hal paling mendasar yakni inefisiensi produksi, sistem rantai pasok (supply chain), kapasitas SDM, jaminan market, penguatan kelembagaan dan permodalan.

Instrumen UU No 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam harus betul betul direalisasikan melalui program program yang secara langsung mengungkit daya beli.

Saya menyimak ulasan senada dari ekonom senior, Dr. Rizal Ramli dan juga mantan menteri BUMN Dahlan Iskan, bahwa salah satu sektor yang bisa diandalkan saat ini yakni pertanian dan perikanan. 

Saya kira jelas, kenapa dua orang berpengalaman ini mengingatkan pemerintah berkali kali bahwa di masa darurat seperti saat ini, kedua sektor ini harus jadi leading sector.

Pemerintah mestinya sejak awal sudah punya blueprint arah pengembangan sektor perikanan, tentu basisnya adalah prioritas. Perlu ada fokus pengembangan komoditas yang jelas dengan pendekatan yang terukur berbasis pada market oriented yakni orientasi untuk menggenjot devisa ekspor dan orientasi untuk mendongkrak struktur ekonomi masyarakat. 

Ini saya kira PR besar pemerintah, yang kita tunggu tunggu upaya konkritnya.

Sektor perikanan perlu sentuhan khusus yang tidak bisa dilakukan dengan cara "business as usual" tapi harus ada lompatan inovasi strategi yang cepat dan adaptif. Tentu kita mengharapkan ini terwujud sejak lama. Bukan sekadar jargon yang hanya mengumbar potensi.

Wallahualam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun