Seperti yang pernah saya prediksi, diskursus terkait kebijakan eksportasi benih lobster akan kembali memanas. Bahkan media televisi nasional berkali kali menggelar dialog terkait isu ini. Lucunya, para politisi tiba tiba muncul dan memposisikan diri sebagai ahli lobster. Ekstrimnya "lobster saat ini berada di pusaran politik".
Namun terlepas dari itu, pro kontra yang muncul, selama masih dengan pertimbangan argumen yang logis dan ilmiah bagi saya adalah bagian dari kedewasaan berfikir. Tak ada yang salah, diskursus yang berkualitas dan bermartabat adalah bentuk public control yang memang harus ada di alam demokrasi.
Pun halnya dengan ulasan kali ini, saya berusaha menempatkan isu ini pada aspek pengelolaan sumber daya terutama dalam perspektif sustainability. Masalah aspek hukum berkaitan implementasi Permen no 12 tahun 2020, adalah hal lain yang penuh tafsir (walaupun saya punya penafsiran sendiri).
Saya mengamati, ada dua sudut pandang yang berkembang di ruang publik dalam memaknai prinsip sustainability,  termasuk  apa yang seringkali diutarakan guru besar kelautan dan perikanan IPB, Prof. Rochmin Dahuri dan para pakar lainnya yang berlainan pandang.Â
Sudut pandang tersebut telah memunculkan kebijakan yang sayangnya belum diletakan pada prinsip "equality of dimension", sehingga memicu pro kontra.
Munculnya Permen no 56 tahun 2016 tentang larangan penangkapan benih lobster di era menteri Susi Pudjiastuti, karena mempersempit prinsip sustaibability hanya pada aspek ekologi (ecologycal dimension), terutama pada dua prinsip yakni pre-cauntionary principle dan biodiversity conservation.Â
Inilah yang menyebabkan kebijakan cenderung sangat konservatif dan mengabaikan prinsip intra generational interest yakni social-economic dimension. Pelarangan penangkapan benih untuk dibudidayakan justru menghancurkan ekonomi masyarakat pesisir.
Saat ini, di era menteri Edhy kebijakan tersebut berubah 360 derajat, beleid di era sebelumnya dirubah. Poin utamanya melegalkan eksportasi benih. Tujuannya memulihkan ekonomi masyarakat dan mamacu penerimaan negara dari devisa ekspor.Â
Basis keputusaannya pada kajian ilmiah beberapa periset terutama dari ACIAR. Kesimpulan yang jadi acuan utama yakni bahwa hanya 0,01% survival rate benih lobster stadia Puerulus yang ada di alam. Prof. Rochmin bahkan selalu menyampaikan tidak mensyukuri jika tidak memanfaatkan.
Ekspor benih lobster menjadi ladang bisnis yang sangat menggiurkan, mungkin lebih menggiurkan dibanding bisnis migas. Nilai tambah keuntungan bisa mencapai ratusan kali lipat hanya dengan menangkap, lalu jual.Â
Cash flow yang sangat cepat dengan nilai rupiah yang selangit. Bayangkan, harga benih bening lobster dibeli ditingkat nelayan hanya Rp. 5.000,- per ekor, sementara harga jual ekspor bisa mencapai Rp. 150.000,- per ekor. Tak heran banyak korporasi yang tertarik mendaftar untuk jadi eksportir.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!