Mohon tunggu...
Kang Chons
Kang Chons Mohon Tunggu... Penulis - Seorang perencana dan penulis

Seorang Perencana, Penulis lepas, Pemerhati masalah lingkungan hidup, sosial - budaya, dan Sumber Daya Alam

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Menakar Komitmen Politik Pencapaian Agenda 21 (Refleksi Hari Lingkungan Hidup Sedunia)

6 Juni 2018   04:39 Diperbarui: 6 Juni 2018   07:29 1105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : malahayati.ac.id

Maslah lainnya, yakni masalah pencemaran akibat limbah di perairan umum. Tengok misalnya, masalah lingkungan di kawasan DAS Citarum yang sedang hangat sekarang ini, menjadi cermin betapa isu lingkungan hidup sama sekali tak menjadi focus kebijakan politik pemerintah daerah dalam proses perencanaan pembangunan. Bayangkan, hasil kajian menyebutkan bahwa sekitar 349.000 ton limbah cair industry dibuang ke badan sungai Citarum (www.cnnindonesia.com). Padahal regulasi telah jelas mengamanatkan bagaimana seharusnya melakukan pengelolaan SDA dan lingkungan secara bertanggunjawab. Produk peraturan perundang-undangan selevel UU no 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, dan UU no 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang sudah jelas mengamanatkan tentang hal itu, bahkan berikut sanksi bagi tindak pelanggarannya. Tapi kenapa masalah kerusakan lingkungan terus bertumbuh?

Mengutip pernyataan Deputi Bidang Koordinasi SDM, IPTEK, dan Budaya Maritim, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Safri Burhanuddin

"Disepanjang DAS Citarum ada sekitar 3.000 pabrik yang beroperasi, namun hanya 10 persen yang memiliki IPAL, dan kalaupun punya IPAL diduga tidak konsisten mengolah limbahnya, sisanya 90 persen diduga belum memiliki IPAL", ungkap Sapri seperti dikutip dari laman www.cnnindonesia.com.

Kenapa ini seolah ada pembiaran? Ribuan industri yang dibangun tentunya harus memiliki izin usaha, dimana salah satu syarat utamanya yakni memiliki izin lingkungan. Secara logika hukum, mana mungkin ada industri memiliki izin usaha tapi justru tak memiliki dokumen lingkungan. Dalam UU no 32 tahun 2009, dan peraturan turunnya yakni Peraturan Pemerintan no 27 tahun 2012 jelas mengatur terkait kewajiban memiliki ijin lingkungan bagi setiap usaha, apalagi ini yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup. Entah benar atau tidaknya, namun judul pemberitaan di media on line "ATM untuk Pengawas dan Bau Busuk Korupsi di Citarum" sungguh menggelitik.

Mulai terlibatnya KPK ke dalam ranah tindak pidana kerusakan lingkungan menjadi terobosan baru dalam menguak tabir illegal transactions khususnya dalam pemberian perijinan terhadap industri sebagai pencemar yang seringkali menabrak regulasi yang ada. Penegakan hukum yang konsisten akan memberikan efek jera terhadap penguasa di daerah, sehingga tidak semena-mena dalam mengeluarkan discretion planning atas nama kepentingan ekonomi semata. Langkah ini harus dilakukan secra massif, sehingga komitmen Indonesia betul-betul nyata dalam perlindungan lingkungan hidup.

Berkaitan dengan perlindungan atmosfer, sebagai negara terbesar kelima penyumbang emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan penyumbang emisi sector kehutanan terbesar dunia, maka Indonesia dihadapkan pada tanggunjawab besar terkait upaya-upaya penurunan emisi tersebut. Pasca Konferensi Perubahan Iklim di Paris, Indonesia telah menyusun rencana aksi iklim nasional pertama atau Nationally  Determined Contribution/NDC yakni komitmen sukarela Indonesia untuk menurunkan emisi GRK sebesar 29 persen hingga tahun 2030. Pemerintah menyatakan optimis dengan apa yang dilakukan saat ini mampu mencapai target yang ditetapkan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 menetapkan beberapa target mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, yang kemudian diterjemahkan oleh pemerintah provinsi ke dalam target aksi iklim di tingkat daerah. Selain itu, pemerintah Indonesia telah menaikkan anggaran untuk upaya mitigasi dan adaptasi iklim, serta memperkenalkan kebijakan fiskal guna mengurangi emisi dari sektor energi dan tata guna lahan.

Sementara World Resources Institute (WRI) menilai bahwa apa yang telah dilakukan Pemerintah belumlah cukup untuk menurunkan angka emisi sesuai target. Pilihan penguatan beberapa kebijakan antara lain perpanjangan kebijakan moratorium hutan sampai dengan tahun 2030 dan perluasan kawasan moratorium dengan mencakup hutan sekunder serta area hutan di bawah izin konsesi; restorasi tambahan lahan gambut terdegradasi seluas 4,6 juta hektar; serta penerapan kebijakan konservasi energi. Jika digabungkan, penguatan kebijakan tersebut dapat mengurangi emisi karbon 20 persen lebih besar dibanding kebijakan yang telah ada saat ini, menghasilkan total emisi nasional sebesar 1,7 Gigaton emisi CO2 di tahun 2030. Keberhasilan implementasi kebijakan tersebut dapat membawa Indonesia mencapai target pengurangan 29 persen emisi, dan berpotensi untuk dapat mencapai target 41 persen, bergantung dari upaya pemerintah untuk mengurangi emisi dari sektor lainnya.

Pada sector energi, dalam pandangan saya, upaya pemerintah dalam menurunkan ketergantungan pada sumber energi fosil masih belum maksimal, ini bisa terlihat dari implementasi kebijakan konversi energi fosil ke energi baru terbarukan masih sangat minim. Disisi lain,  konsumsi batubara justru semakin meningkat seiring kebutuhan listrik yang juga naik. Data kebutuhan batubara untuk pembangkit listrik di Indonesia periode 2015-2019, menncapai 35.000 megawat, dimana dalam 10 tahun ke depan PT. PLN (Persero) berencana menambah pembangkit listrik berkapasitas 70 gigawatt (GW), yang 60 persennya menggunakan batubara (sumber : www.duniaindustri.com). Jika dihitung berdasarkan kebutuhan listrik nasional, maka emisi CO2 Indonesia akan meningkat hingga menjadi 383 juta ton pada tahun 2024, dari nilai tersebut sebesar 87 persennya atau sekitar 333 juta ton berasal dari pembakaran batubara. Ini tentunya menjadi tantangan tersendiri, khususnya jika menyangkut komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi.

Ketergantungan terhadap sumber energi fosil, juga diperparah dengan pola konsumsi energi yang diprediksi akan terus meningkat sebagai efek globalisasi dan tingginya investasi yang memicu industrialisasi. Mebludaknya jumlah kendaraan bermotor yang tak sebanding dengan ketersediaan infrastruktur jalan, sudah barang tentu akan menaikan emisi carbon secara signifikan, belum lagi industrialisasi. Dua sector ini, menjadi penyumbang terbesar emisi carbon saat ini. Belum lagi jika bicara konsumsi energi oleh gedung-gedung dan rumah tangga. Oleh karennya, Pemerintah perlu segera membuat model pendekatan yang efektif dalam melakukan pengendalian jangka panjang. Kemungkinan penerapan pajak karbon (carbon tax) terhadap penyumbang emisi sebagai bagian dalam kebijakan fiskal,  patut diperhitungkan dan dikaji, apakah bisa efektif diterapkan di Indonesia.

Internalisasi biaya lingkungan pada unit usaha, juga dinilai sangat efektif dalam menekan tingginya output limbah. Pemerintah perlu mempertimbangkan internalisasi biaya menjadi mandatory melalui payung hukum, sehingga pelaku usaha/industri akan bertanggunjawab dalam melakukan proses clean production dalam menghasilkan suatu produk.

Ketiga, pengelolaan sumberdaya tanah dan air. Tingkat pertumbuhan penduduk yang naik secara signfikan, dan dibarengi dengan tuntutan kebutuhan hidup telah memberikan efek tekanan yang sangat besar terhadap SDA dan lingkungan. Kondisi ini didukung oleh sikap antropisentris berlebihan dari masyarakat. Fakta menunjukkan tingginya deforestasi dan krisis sumberdaya air, disebabkan oleh prilaku manusia yang tak terkontrol dan mengabaikan prinsip responsible management dalam pemanfaatan SDA. Sayangnya upaya pengendalian terhadap fenomena ini masih sangat minim. Tata kelola lahan dan air lebih banyak bersifat konseptual, namun minim aksi. Kita bisa lihat, masih banyaknya akttivitas ekonomi seperti tambang galian c yang justru dilakukan pada kawasan konservasi/lindung, padahal pola ruang jelas menetapkan bahwa peruntukannya sebagai kawasan lindung. Imbasnya, terjadi deforestasi, penggundulan daerah catchment area yang memicu run off. Jika saya melihat, produk reguasi tata ruang wilayah pada tataran implementasinya justru tidak memperlihatkan keberpihakan pada upaya-upaya konservasi. RTRW sebagai produk spatial planning jangka panjang mestinya tidak diberikan ruang untuk di-review secara periodik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun