Mohon tunggu...
Audi Jamal
Audi Jamal Mohon Tunggu... -

16 years old captain.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ruang Kelima, Ayah Tidak Juga Disini

11 Mei 2013   20:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:44 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kadang-kadang, aku kagum dengan posisiku yang satu ini; berdiri mematung di depan rumah, menahan rasa rindu kepada ayah. Menahan sekuat mungkin, seperti menekan sebuah koper yang dalamnya penuh dengan pakaian warna-warni, agar menyisakan sedikit ruang untuk dapat direkat oleh resleting, sedikit ruang saja. Saat-saat wajahku lebih pantas dibilang kumal dan bagian bawah kemeja putih tidak lagi terpaksa bersembunyi di balik rok biru yang dilingkari sabuk, kacau berantakan. Ditambah tali sepatu yang tidak lagi saling terikat, berkleweran tak tentu arah, seperti membiarkan ujung-ujungnya berubah fungsi jadi kutub utara yang akan menyatu dengan lantai rumah yang berkutub selatan, seperti magnet. Agar aku cepat hadir dalam rumah yang mengandung sepi, lalu menggapai kedua kaki ayah. Seperti  biasa dan akan selalu menjadi seperti biasa,

Aku rindu ayah.

Langsung saja aku buka pintu rumah, memantulkan pandangan ke seluruh arah, berharap ayah ada di situ. Berandai ayah belum lenyap. Ruang pertama adalah kamar ayah yang tak berpintu, lagi-lagi aku memutar-mutar mata, tapi kegiatan berputar-putar ini tentu tidak seasyik bermain merry-go-round dulu, saat umurku masih bernama lima dan saat ayah belum berkacamata. Saat itu, di atas satu kuda main-mainan ada ayah dan aku, diputar-putar seolah kami boneka tapi dibuat senang seolah kami berdua sepasang anak bayi baru bisa merangkak yang sedang sama-sama berkeliling mencari boneka, seakan boneka itu ada. Itu adalah kali pertama dunia melihat aku dan ayah tertawa berdua, dan berdua bahagia. Romantis. Tapi, sekarang ayah sedang tidak di kamar, padahal aku sudah mencari sampai ke balik bantal. Lelah? Tidak! Aku tidak pernah lelah dalam hal mencari ayah, walau dia terus bersembunyi.

Ruang kedua, ruang keluarga. Tidak ada sofa disini, apalagi televisi. Hanya satu lembar karpet merah dengan dua bantal putih di atasnya dan satu jendela persegi panjang tanpa gorden yang terikat, akupun mendekati jendela itu, mengikat gorden, dan membiarkan cahaya matahari dua belas siang satu per satu masuk dengan teratur. Walaupun kelihatannya ayah tidak ada, tapi setidaknya ruang ini harus tetap terlihat terang. Tanpa lampu tidak masalah, dengan sinar matahari memang anugerah.

Aku keluar, dengan satu-dua-tiga langkah yang membawaku cepat sampai. Dua sofa putih yang berhadapan dengan meja berhias taplak bunga-bunga menyambut sinis dan diam saja, seperti tidak senang aku disini. Tapi terpaksa aku harus mendekati meja itu, barangkali ayah ada di kolong, sedang bersiap-siap meneriakkan "Surprise!!!!" untukku. Walau tidak kenyataannya, bungkus kuaci kosong di kolong meja malah menjulurkan lidahnya dan mencerca-cerca. Ayah bukan disini.

Memang dasarnya aku bukan penyerah, ruang keempat tetap aku hadiri. Dua tahun lalu, ruang ini adalah ruang yang digerogoti musik band Aerosmith. Kadang-kadang lagu Making Love Out Of Nothing at All memaksa aku untuk melepaskannya dari tabung musik dan membiarkan dia berkeliaran, akupun percaya asal dia tidak berjalan-jalan keluar ruang ini. Dia berjanji, tapi hingga sekarang, ketika ayah belum ditemukan, janji itu belum ditepati, ia keluar ruangan dan berteriak bebas, membuat aku lupa bagaimana nada dan liriknya. Tapi, aku tidak begitu peduli,  lagu Crazy yang manis itu tetap setia menemaniku di dalam lemari yang dulunya berlabel lemari es, tapi sekarang hanya sebuah lemari yang menyimpan berbagai sayur dan buah busuk. Selama aku takut mencium aromanya, aku tidak akan bertemu dan mendengar lagi senandung Crazy. karena aku tak kunjung membuka lemari itu. Ruang ini adalah ruang yang ayah gunakan untuk ulang tahunku yang ketujuh. Dengan satu kue ulang tahun dengan tujuh lilin yang bertengger di atas meja cokelat kecil. Dengan dua tangan yang terbuka, bersiap meminta doa, kata ayah ia minta pada Tuhan agar aku selalu disampingnya. Kenyataannya? Dia tetap bukan disini.

Ruang kelima. Tali-tali pada sepatu hitam putihku perlahan menjelma jadi bau yang membusuk, rupanya semua keringat dari tubuhku berkumpul di sana. Biarlah, ini ruang terakhir; kamarku. Aku berharap ayah ada di sini. Karena hari ini aku berekor lima belas. Jadi ingat pada hari ini di satu tahun lalu, ayah mencium keningku dan berbisik: "Ayah akan selalu jadi pengucap pertama untuk ulang tahunmu, ayah tetap disini." Tapi sedari tadi belum ada pengucap pertama, belum juga ada ayah. Tidakkah dia tahu? Serindunya aku, tidakkah dia tahu? Bagaimana jemunya aku jika setiap hari harus berhadap-hadapan dengan menunggu, menunggu, dan menunggu. Padahal menunggu tidak baik untuk kesehatan, kalaupun harus mencari, percuma kan mencari yang sudah tidak ada? Aku tidak betah sendiri, dari kecil hanya ayah tempat aku berpangku, ibu tidak peduli, ibu pergi sewenang-wenang dengan suami dan anak laki-lakinya yang baru. Tidakkah ayah? Tidakkah dulu kita sedih saat dia pergi? Menonton dia bersenang-senang di Hongkong bersama dengan keluarga barunya? Tidakkah dulu kita saling bergeming saat melihat status-status facebook ibu yang tidak pernah ada sedih-sedihnya. Sekarang, ayah tidak ada disini. Tidakkah ayah tahu?

Dan aku sadar, kesedihan yang paling-paling adalah kita, aku dan kamu punya jarak yang amat jauh. Berbeda dimensi.

Sebagai pengagum matematika, apakah ayah bisa menghitung sudah berapa lama sofa di ruang tamu tidak kita duduki sambil melumat hangat-hangat kue yang ayah ciptakan? Sebagai seseorang yang rajin shalat, seberapa besar ayah merasa  berdosa karena tidak lagi menjadi imamku? Sebagai tukang bercerita, sudah berapa episode drama Ksatria dan Putri yang aku lewati. Sebagai pembenci sejarah, mengapa ayah malah pergi begitu saja, membuat hari-hari kita dulu jadi sejarah yang tidak tahu siapa pahlawannya,

Sebagai ayah terhebat, tidakkah lagi mau membantu aku berdiri sebagai anak terlemah?

Semoga ayah tahu, Aku kangen ayah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun