Mohon tunggu...
Audi Jamal
Audi Jamal Mohon Tunggu... -

16 years old captain.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Laki-Laki dan Perempuan

30 Agustus 2014   19:15 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:05 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dan, datanglah dia. Dengan langkah tergopoh-gopoh terpasang wajahnya yang asam karena takut, getaran di tubuhnya terasa, ia muncul di antara yang lain, menjadi satu-satunya anak laki-laki yang maju tanpa koar-koar, mulutnya terkunci rapat, menunduk penuh sesal melihat teman perempuannya menangis, dengan kondisi rambut kacau, temannya itu terjatuh, lututnya merah dan tangisnya tambah kencang saat darah diam-diam menembus kulit, menjadi salah satu hukum anak kecil saat bagaimana darah mempengaruhi tangis sebegitunya. Tangis yang sesenggukan. Namun, tawa mulai bermunculan dalam panas yang terik di tengah ramai lapangan. Olok-olok tercipta mengulang nama anak perempuan itu yang kemudian di tambah kata 'cengen' di belakangnya. Sementara dia, si anak laki-laki yang datang terlambat, maju paling depan, yang sempat menyesal karena menjadi satu-satunya pelaku yang menjatuhkan. Sekarang? Berubah. Ia ikut bersama arus menertawakan si anak perempuan, bahkan yang paling kencang. Tangispun semakin meledak, giginya ketahuan hitam dan bolong, bahkan ia bertekad tak ada yang boleh membuat anak perempuan itu menangis. Kecuali, dirinya.

Waktu yang tak berkakipun selalu ikut-ikutan manusia berjalan, hingga keduanya heran dan berhenti lalu duduk di bangku masing-masing, yang laki-laki mencolek punggung si perempuan yang kemudian dijawab dengann isyarat lima jari mengacung tanda tunggu dan tak lama, diserahkannya buku latihan geografi untuk siap dijiplak habis. Sang laki-laki mencolek lagi punggung perempuan itu, memberi tanda untuk tetap berbalik dan mendengarkannya bercerita, atau lebih tepatnya, melucu. Sambil menulis, ia berkata ada dua sahabat bernama Waktu dan Bintang. Selama hidup, seringkali berdebat, sang Bintang iri pada Waktu yang lebih diberikan keleluasaan oleh Tuhan. Waktu bisa dengan mudah dan rutin mengatur manusia, Waktu bisa bebas bersepakat dengan alam bawah sadar manusia, dikiranya manusia tak pernah tahu bahwa waktu juga ikut tidur saat manusia tidur, asyik menonton saat manusia berkencan, dan diam-diam menyimak manusia yang tengah berbagi rahasia kemudian jahil diam-diam mengirimkannya pada angin dan membiarkan rahasia tersebar tanpa jalan pulang. Sementara Bintang, hanya berkesempatan muncul kadang-kadang, cahayanya terbatas tak selalu terang dan Waktu tak memberinya kebebasan untuk bersinar kapan saja. Hingga bintang dan waktu kembali berdebat dan laki-laki itu memperagakan si bijaksana Waktu dan si cerewet Bintang dengan ekspresi luar biasa menggugah tawa. Tawa perempuan yang bergigi rapi diwakili dua gigi berukuran besar di tengah-tengah, dalam bibir yang merona lepas, memantulkan gelak tawa yang manis dan membuat candu. Perempuan yang saat tertawa tak selalu membiarkan mulutnya terbuka, ada saat dimana ia mengantisipasi lalat masuk dengan menutup mulutnya rapat-rapat, membatasi tawa yang keluar dan membiarkan tawanya terpancar lewat mata yang mempertontonkan kepuasan. Begitulah prosesnya tertawa, dan dari situ, laki-laki itu menyukai tawanya dan tak membiarkan satu orangpun membuat si perempuan tertawa. Kecuali, dirinya.

Semakin hari, layaknya manusia lain. Mereka tumbuh dewasa bersama-sama. Si laki-laki semakin hapal dengan cara bagaimana si perempuan membuat lengkung di bibirnya. Semakin kesini, keduanya banyak menemukan jawaban-jawaban yang bahkan pertanyaannya sudah lupa bagaimana. Dunia semakin terbalik, yang membuat manusia kesulitan berjalan lurus dan kebersamaan mereka tak ada yang berani memutus. Hingga orang-orang merasakan janggalnya saat si perempuan terlihat duduk gundak sendiri. Kemana laki-lakinya? Ini acara besar. Malam yang dinanti-nanti jutaan manusia, pertunjukkan di atas panggung megah tempat dimana puluhan penari akan tampil, dipadu dengan acting menjiwai membawakan sebuah kisah tentang Waktu dan Bintang. Bagaimana mereka berdua bisa terus bersama walau dengan perdebatan merintang. Cerita bagaimana sebuah persahabatan bisa bertahan tanpa keduanya susah payah keluar keringat untuk sekadar mempertahankan. Bagaimana emosi dan semesta bersatu saat sang laki-laki terus-terusan mencubil jahit pipi sahabatnya sampai meanngis, bagaimana tawa tetap terjaga dalam situasi yang kadang, tak memungkinkan. Bagaimana semua terjadi. Si perempuan masih duduk sendiri. Kini semakin kalut memancar gulana. Kuncirnya melayu tak sekokoh tadi, matanya menyayu lelah menunggu, kakinya kaki sambil tersedu. Hingga acarapun dimulai, ia tak juga sampai.

Puluhan penari memasuki panggung dengan hentakan dahsyat, riuh tepuk tangan menyambut, pertunjukkan resmi dimulai, namun ia, tak juga sampai. Musik-musik terus mengiringi bagaimana malam itu terjadi, si Bintang dan si Waktu sudah berulang kali mengocok perut penonton. Pemainnya ber-acting luwes seraya mengerahkan seluruh energi. Sementara tawa penonton memutar, ia cuma membiarkan memorinya terputar. Dalam ruang kelas lima tahun lalu, bagaimana si laki-laki bermain ekspresi memerankan dua tokoh sekaligus dalams satu waktu; Waktu dan Bintang. Hingga ia sadar, sumpah laki-laki itu untuk menjadi satu-satunya pencipta tawa dari bibir manis sang peremupuan benar-benar terbukti. Hingga kini, tawanya masih belum terdengar. Masih duduk lemah di balik panggung berharap tak satupun yang tahu ada yang sedang gundah di balik ceritanya panggung malam itu. Malam dimana seluruh tamu yang diundang datang, walau ia balum juga datang. Sampai tega membiarkan memorinya terkuak lagi, ditepuk-tepukannya lutut kanan itu, yang dulu pernah mengundang tangis akibat perbuatan anak laki-laki sok jagoan yang menganggap membuat nangis anak orang adalah perbuatan keren yang patut di salut. Perutnya geli, membayangkan bagaimana itu semua pernah terjadi, lalu berdirilah ia, mengingat tak baik merindu lama-lama, dan mengintiplah ia dari tirai, yang langsung dihadapi dengan ribuan penonton dengan dua pasang mata yang serius berkaca-kaca. Ditelitinya satu=satu, hingga ia tersadar, pertunjukkan telah selesai saat semua penonton rela berdiri, membersembahkan tepuk tangan tiada henti, ada beberapa yang malah menggunakan tangannya untuk menyesap haru rintik air mata. Dikelilingkan kepalanya, ke kiri sampai ke kanan, lalu kembali lagi ke kiri. Hingga ia menyadari sesuatu, diantara seribu, ada satu. Seorang laki-laki bertangan kosong, kacamatanya khas membentuk wajah hitamnya, laki-laki itu tetap memesona dengan kaos hitam yang dibalut sweater abu-abu, gayanya tetap yang dulu, dengan jansport biru. Sementara di wajahnya ada haru, di matanya menangkap sesuatu; seorang wanita mengintip malu di balik tirai, langsung saja ia susuli seraya membenarkan kacamata yang seringkali turun. Dan, datanglah ia, dengan langkah tergopoh-gopoh, terpasang wajahnya yang asam karena takut, getaran di tubuhnya terasa, ia muncul di antara seribu, menjadi satu-satunya pria yang maju, dengan mulut penuh senyum, dijemputnya wanitanya.

Untuk kembali, menuju jalan pulang, hidup berdua dan memastikan, cuma ia yang selalu ada.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun