Mohon tunggu...
Kosmas Lawa Bagho
Kosmas Lawa Bagho Mohon Tunggu... Auditor - Wiraswasta

Hidup untuk berbagi dan rela untuk tidak diperhitungkan, menulis apa yang dialami, dilihat sesuai fakta dan data secara jujur berdasarkan kata hati nurani.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saat Aku Nyaris Meregang Nyawa, Ibuku Menyelamatkanku

14 Januari 2021   10:59 Diperbarui: 14 Januari 2021   11:02 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Senja itu membawa angin malam. Tak jauh dari tempat aku duduk, daun-daun batang pohon mangga di tempat kostku berguguran. Baru senja ini terjadi setelah empat bulan, aku menjadi penghuni baru di kost dan kota ini.

Hujan, sang air mata langit baru saja turun mencium bumi. Aroma segar mewarnai pemandangan yang tak biasa itu. Empat bulan lewat, jangankan tetesan air mata langit mencium bumi, embun pun enggan ditemui. Memang kota ini terlalu padat dengan gedung pencakar langit dibarengi asap kendaraan yang hiruk pikuk, siang malam tanpa henti.

Aku tetap menatap daun-daun berguguran. Angin menerbangkannya ke mana-mana termasuk jatuh tepat di kakiku yang sedang menatap heran kejadian senja ini. Tak lama, hujan menggerayangi tubuh bumi kota Malang, kota yang baru aku jejaki selama 17 tahun tenggelam pada dunia praktis. Lama memang, dunia akademis yang telah kutinggalkan 17 tahun lalu itu, kini muncul tepat di depan mataku.

Tiga Juli 2014, aku melangkah dari kota kesibukanku, Flores sebagai pekerja pemberdayaan masyarakat akar rumput dalam bidang simpan-pinjam. Lembaga ini, aku jejaki sejak Mei 1997. Awalnya, membutuhkan perjuangan yang sangat luar biasa.

Seiring perjalanan waktu, lembaga ini bangkit dan mekar dengan indahnya. Atas perjuangan dan pengorbanan banyak pihak sehingga menghantar aku ke tempat ini. Kota Malang sebagai kota yang menampung studi lanjutku ke jenjang yang lebih tinggi setelah menamatkan studi S1. Tak biasa memang. Lembaga pemberdayaan simpan-pinjam bisa menyekolahkan putra/i terbaiknya meraih jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun jika ada kerja keras dan berkat dari Yang Maha Kuasa, yang mustahil bisa dilakukan.

***

Di tengah lamunanku yang makin mengembara dalam ketidakpastian, aku kembali terkenang di kampung. Kampungku Rawe, Boawae, Nagekeo. Aku dilahirkan di sana tepatnya tanggal 19 Juli 1967 dari seorang ayah dan ibu petani. Menggarap lahan sendiri dengan setia untuk menghidupi kami 7 bersaudara dan kini tinggal 6 orang lantaran seorang putri pergi meninggalkan kami saat aku memasuki kelas 1 SMU.

Lamunanku semakin terasa sesak ternyata hari ini adalah hari ulang tahunku. Merayakan ulang tahun di tengah keramaian kota Malang, batinku merasa sendirian. Hanya bertemankan daun-daun mangga renta yang selalu diterpa angin ke mana-mana. Hatiku berdegup keras jika mengenang kembali jejak tapak yang aku lalui hingga saat ini. Saat ini aku boleh melangkah dan melanjutkan studi ke jenjang S2.

Suatu kesempatan lupa tanggal dan tahunnya, aku barusan kembali dari Gereja (pusat kegiatan iman orang Katolik, red). Salah seorang nenek depan rumah kami memanggilku keras. "Nak Koma, ke sini dulu". Orang-orang sekampungku memanggilku "Koma" mungkin mereka tidak biasa menyapa "Kosmas". Aku mendekat. Si nenak memelukku erat sembari mengelus rambutku. Saat itu aku liburan kelas 2 SMU. Aku sudah tumbuh tinggi besar sebagaimana layaknya pemuda pada umumnya di kampung.

Si nenek menatapku sembari bercucuran air mata berkata,"Nak Koma, sungguh luar biasa ibumu. Engkau, beberapa tahun sebelumnya waktu usiamu baru mencapai sekitar tiga bulan, engkau sakit keras. Semua orang di kampung berusaha merawatmu atas perjuangan ibu dan ayahmu serta kami semua. Sakitmu tidak berkurang malah semakin bertambah. Belum bisa ke rumah sakit. Saat itu musim hujan. Hujan turun setiap hari. Jangankan dokter, mentri kesehatan pun tak mungkin. Belum lagi apabila ke rumah sakit terdekat di kota kecamatan harus berjalan kaki 30 km jauhnya dan harus melewati dua kali besar tanpa jembatan.

Sungguh suatu situasi yang sangat berat. Saat itu, kondisi tubuhmu yang masih bayi tiga bulan terus menurun. Kami semua tidak tahu, penyakit apa yang menyerangmu. Semua dukun kampung dikerahkan dan kondisimu terus menurun. Tinggal kulit membungkus tulang.".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun