Mohon tunggu...
Laura Zefanya Elizabeth
Laura Zefanya Elizabeth Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta

hii!! aku suka baca buku dan tidur

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Kita Masih Belum Ramah untuk Anak Miskin

27 Juni 2025   13:19 Diperbarui: 27 Juni 2025   13:24 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan selalu disebut sebagai jembatan emas menuju masa depan yang lebih baik. Ia adalah hak dasar yang dijamin oleh negara dan dijunjung tinggi dalam setiap pidato resmi para pemimpin. Namun, dibalik semua itu, realitas di lapangan sering kali tidak seindah retorika. Bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu, jalan menuju pendidikan yang layak masih penuh dengan lubang dan jurang yang sulit dilompati.

Di banyak pelosok Indonesia, masih ada anak-anak yang harus berjalan berkilo-kilometer untuk sampai ke sekolah. Bukan karena ingin olahraga pagi, tapi karena memang tidak ada fasilitas pendidikan di dekat rumah mereka. Belum lagi soal biaya, meski sekolah dasar dan menengah sudah dinyatakan “gratis,” kenyataannya masih banyak pungutan, seragam, buku, transportasi, dan biaya lainnya yang harus ditanggung keluarga. Bagi sebagian orang tua, membayar kebutuhan sehari-hari saja sudah sulit, apalagi menambah beban untuk pendidikan anak-anak.

Ketimpangan ini semakin terasa ketika kita melihat perbedaan kualitas pendidikan antara daerah perkotaan dan daerah terpencil. Sekolah-sekolah di kota besar relatif lengkap dengan fasilitas, akses internet, dan tenaga pendidik yang lebih berpengalaman. Sementara itu, sekolah di daerah tertinggal sering kali kekurangan guru, bangunan rusak, bahkan tidak memiliki toilet yang layak. Anak-anak dari keluarga miskin bukan hanya berjuang dengan materi pelajaran, tapi juga dengan kondisi belajar yang jauh dari ideal.

Ketidakmerataan ini tak hanya terjadi secara geografis, tapi juga sosial-ekonomi. Anak-anak dari keluarga kaya bisa dengan mudah mengakses pendidikan tambahan, kursus, bimbingan belajar, bahkan sekolah internasional. Mereka memiliki perangkat belajar, koneksi internet stabil, dan lingkungan yang mendukung. Sebaliknya, anak-anak dari keluarga kurang mampu harus berbagi satu ponsel untuk belajar daring, jika ada. Beberapa bahkan terpaksa putus sekolah karena harus membantu orang tua mencari nafkah.

Pandemi COVID-19 sempat membuka mata banyak orang tentang betapa besar kesenjangan digital di dunia pendidikan kita. Ketika pembelajaran harus dilakukan dari rumah, anak-anak dari keluarga miskin paling terdampak. Tidak semua rumah memiliki listrik yang stabil, apalagi internet. Tak sedikit anak yang ketinggalan pelajaran selama berbulan-bulan karena tidak bisa mengakses kelas online. Kondisi ini memperparah ketimpangan yang sudah ada, membuat mereka semakin tertinggal dibandingkan teman-teman seusianya di kota.

Salah satu tantangan besar lainnya adalah sistem pendataan dan distribusi bantuan pendidikan yang belum akurat. Banyak keluarga yang sebenarnya berhak menerima bantuan, tetapi tidak terdaftar karena dokumen administrasi yang tidak lengkap atau karena tidak memiliki akses informasi. Di sisi lain, ada juga yang menerima bantuan meski tidak tergolong miskin karena data yang tidak diperbarui atau adanya penyalahgunaan wewenang. Ketimpangan seperti ini seakan mempertegas bahwa sistem kita belum cukup inklusif dan masih meminggirkan mereka yang paling membutuhkan.

Pertanyaannya, sampai kapan kita membiarkan pendidikan menjadi hak istimewa bagi mereka yang mampu?

Sudah saatnya kita mengubah paradigma bahwa pendidikan cukup disediakan, lalu selesai. Pendidikan harus diupayakan agar benar-benar inklusif dan berpihak pada mereka yang paling rentan. Pemerintah perlu memperkuat sistem bantuan pendidikan yang tepat sasaran. Bantuan seperti Program Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Pintar, dan berbagai beasiswa harus betul-betul menjangkau anak-anak yang membutuhkan, bukan berhenti di data yang tak pernah diperbarui.

Selain itu, peran guru di daerah tertinggal perlu diperhatikan lebih serius. Banyak guru yang bekerja di daerah terpencil dengan kondisi serba minim. Mereka bukan hanya butuh insentif finansial, tapi juga pelatihan dan dukungan moral agar tetap semangat menjalankan tugas. Pendidikan tidak akan pernah maju tanpa guru yang dihargai dan didukung.

Kita juga butuh keterlibatan masyarakat luas. Pendidikan bukan hanya urusan pemerintah. Lembaga swadaya masyarakat, komunitas lokal, perusahaan swasta, dan individu bisa berkontribusi dengan berbagai cara, dari membuka kelas belajar gratis, menyumbangkan perangkat belajar, hingga menjadi relawan pengajar. Media dan penulis juga punya peran penting dalam menyuarakan ketimpangan ini agar tidak tenggelam di tengah riuhnya berita politik dan hiburan.

Pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Anak-anak dari keluarga miskin tidak seharusnya merasa bahwa masa depan mereka telah ditentukan oleh kondisi ekonomi. Mereka berhak bermimpi, berhak belajar, dan berhak meraih kehidupan yang lebih baik. Kita semua punya peran dalam memastikan bahwa setiap anak, di mana pun mereka lahir, memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan yang bermutu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun