Mohon tunggu...
Laura Ariestiyanty
Laura Ariestiyanty Mohon Tunggu... profesional -

Writer, Content Editor\r\n(www.laurakhalida.com\r\n@laurakhalida)\r\ndan Media Relations www.irmarahayu.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Amerika... We're Coming

1 November 2014   18:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:56 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mendapatkan kesempatan mengedit memoarnya Imam Shamsi Ali (Menebar Damai di Bumi Barat, terbitan Noura Books), merupakan suatu kehormatan besar bagi saya. Imam Shamsi Ali, atau yang kerap kita panggil "Ustad" adalah Direktur Jamaica Muslim Center, Imam Masjid Al Hikmah di Jamaica-Queens, New York dan founder Nusantara Foundation. Beliau aslinya orang Bulukumba, Makassar. Sewaktu saya mengedit buku beliau inilah, saya mendapatkan wawasan baru tentang kehidupan beragama di Amerika. Beliau aslinya adalah orang Bulukumba, dekat Makassar sana.

Hingga kemudian saya mendapatkan kesempatan mengunjungi negerinya Paman Obama ini Oktober lalu, mendampingi Coach saya, Teh Irma Rahayu yang diundang bicara mengenai Emotional Healing Therapy oleh Imam Shamsi Ali di Masjid Al Hikmah, New York dan Masjid Imaam Center (yang baru diresmikan mantan presiden SBY lalu) di Silver Spring (dekat Washington DC).

Kesan saya? WOW... nggak mimpi bisa sampai Amerika. Maklum dulu saya kategori orang yang pesimis, apa-apa mengukur dengan uang. Mana bisa begini... uangnya mana? mana bisa gue sampe Amerika or Eropa? mahal boook... Namun sejak saya menjadi alumni, sekaligus asisten Teh Irma dan Media Relations Emotional Healing Indonesia, sedikit demi sedikit mindset saya berubah. Bahwa rezeki nggak selalu diukur dengan uang, do your passion and money (rezeki) will follow, pondasi keyakinan Allah Maha Kaya juga terbangun.

Urusan visa USA yang katanya susah, orang kedutaan jutek, Islam dapat konotasi negatif, nggak kami alami. Bahkan kami bisa foto lengkap dengan jilbab, dan nggak ditanya rekening bank segala tuh hahaha. Mungkin karena ada surat undangan dari Imam Shamsi Ali juga kali ya. Dapat visa langsung untuk 5 tahun.

Begitu pesawat Emirates menjejakkan kaki di bandara JFK, NY, pada 16 Oktober 2014, tak urung saya mewek juga hahahah. Terharuuuhh... waks nyampe juga saya ke benua Amerika. Ust Shamsi sendiri yang menjemput kami, kemudian kami dibawa ke rumahnya untuk berkenalan dengan istri, yang kami sapa Ummi, dan anak-anaknya. Shakeel dan Malika, dua anak terkecil Ust Shamsi mau tak mau memaksa kami praktek bahasa Inggris hahaha, karena mereka hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa itu, sekalian pemanasan lah.


Hari pertama, Ustad mengajak kami ke kawasan Manhattan, ke Grand Central, gedung PBB, dan kantor Nusantara Foundation. Selanjutnya, Ummi (atau kadang kami mengikuti anak-anaknya yang manggil ummeeh hahaha) mengajak kami ke kawasan Rockerfeller Center, Times Square, dan Central Park. Tanggal 24 Oktobernya, Teh Irma berbicara di depan jamaah Masjid Al Hikmah.

[caption id="attachment_371196" align="aligncenter" width="576" caption="Masjid Al Hikmah, Jamaica-Queens"]

1414814758111417840
1414814758111417840
[/caption]

KKemudian saya dan Teh Irma ke Washington DC dan merasakan kawasan DC yang bersih, sepi, berlangit cerah. Kami diajak mengunjungi White House, Capitol Hill, The Washington Monument, dan Lincoln Memorial. Langitnya boook... cerah bingits.

[caption id="attachment_371198" align="aligncenter" width="576" caption="Lincoln Memorial"]

14148150021947134527
14148150021947134527
[/caption]

[caption id="attachment_371199" align="aligncenter" width="576" caption="saya dan Teh Irma di depan Lincoln Statue"]

14148150411829967846
14148150411829967846
[/caption]

Satu yang saya perhatikan soal Amerika, sebelumnya mungkin kita sudah punya persepsi tentang kehidupan umat beragama, terutama bagaimana Islam diperlakukan. Tapi begitu mengedit bukunya Ust Shamsi, saya mendapatkan wawasan baru. Bahwa kehidupan umat Islam, Kristiani, dan Yahudi di sana pun bisa damai dan saling membantu. Apalagi Ust Shamsi kerap mengadakan dialog interfaith, untuk mengenalkan Islam tuh seperti apa, agar tak dicap teroris dan sejenisnya.

Nah, ketika kami di New York, maupun DC, Alhamdulillah saya dan Teh Irma nggak mendapatkan perlakuan negatif. Khususnya di NY yang multiras (saya serasa lebih banyak melihat kaum imigran ketimbang bule, seperti orang Chinesse, African-American, India/Bangladesh) jilbab udah dianggap biasa. Di DC pun tampaknya demikian. Bahkan menurut saya, orang Amerika ramah dan peduli. Setiap kami minta tolong atau menanyakan sesuatu, mereka ramah sekali dan membantu dengan senang hati. Mereka juga murah senyum. Dan yang membuat saya melongo ialah, ketika saya dan Teh Irma tiba di Pennsylvania Stasion, New York, sehabis menempuh perjalanan kereta selama 3,5 jam dari DC, saya menyaksikan seorang wanita yang menggeret koper besar menyenggol seorang bapak dan membuat bapak itu hampir terjatuh. Wanita itu langsung minta maaf, tahu bapak itu jawab apa? "Are you okay?"

Waakkss... kebayang kalau di kita mungkin udah sewot, "Mbak kalau jalan liat2 kek," hahahah.

[caption id="attachment_371203" align="aligncenter" width="576" caption="Masjid Imaam Center"]

14148158911892279512
14148158911892279512
[/caption]

Kalau kata teman saya yang tinggal di Amerika dan Australia sih, memang kebanyakan orang sana tuh ramah-ramah dan peduli. Mereka suka menyapa orang tak dikenal dengan salam, "helooo..." nah kalau orang Eropa, saya pernah mendengar katanya angkuh. Nggak tahu deh, tunggu saya ke sana yah hahaha Insya Allah tahun depan *Aamiin....*

Memang dengan mendatangi langsung tempat yang selama ini, bisa membuat kita memandang dari dua sisi sudut pandang. Konon Amerika bagian selatan yang masih agak kental rasisnya.

Terus di sana lagi peralihan musim, menjelang musim gugur, duiiiingiiiinnn hahahha, dinginnya bikin norak, sampai susah pup *ups*. Seumur-umur baru di sana saya mengalami sembelit, sampai kita memancingnya dengan membuat rujak puedes, dengan mangga mexico yang mengkel. Berhasil hahaha.

Di sana juga keringat nggak bau! Saya jadi paham kenapa bule jarang mandi. Wong kalau nggak keringatan, ya keringat nggak bau. Jadi kalau cuaca dingin biasanya orang sana (termasuk orang Indonesia yang tinggal di sana), mandi tuh sehari sekali, dan biasanya malam hari. Kalau pagi kan riweuh ya, harus siap-siap ke kantor or sekolah, mana nggak punya pembantu, jadi biar hemat waktu saja. Konon kalau summer pun, keringat cepat menguap, nggak betah lama-lama di tubuh.

[caption id="attachment_371204" align="aligncenter" width="576" caption="Kawasan Rockerfeller Center, bersama Ummi Muthia, istri Ust Shamsi Ali"]

1414816191427503014
1414816191427503014
[/caption]

BTapiii begitu tiba di Jakarta, nah... baru deh saya merasakan jet lag yang sesungguhnya. 4 hari booo untuk mengembalikan ritme tidur. Maklum beda 12 jam kan. Malah ritme setoran alam pun berubah, kadang jadi malam hari hihihi... nikmatin ajah.

Anyway saya bersyukur bisa mengunjungi Amerika, Insya Allah Februari 2015 saya dan Teh Irma kembali lagi karena sambutan mereka positif. Kali ini Insya Allah ke Houston dan LA juga, aamiin... lancarkan ya Allah. See you again US, next Feb...

[caption id="attachment_371205" align="aligncenter" width="576" caption="The Washington Monument. Langitnya cerah yak"]

1414816360424515430
1414816360424515430
[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun