Thomas dan Morwitz juga pernah melakukan sebuah penelitian yang disebut The Left-Digit Effect in Price Cognition pada tahun 2005. Dalam penelitian tersebut dilakukan 2 percobaan dengan harga yang berbeda.
Pada percobaan pertama, produk yang dijual toko A dibandrol harga $2.99, sedangkan produk di toko B dibandrol harga $3.00.
Sedangkan pada percobaan kedua, harga produk di toko A sebesar $3.59 dan toko B sebesar $3.60.
Kemudian, mereka mengajukan kuesioner dengan pertanyaan “Apakah produk ini mahal?”. Partisipan memberikan jawaban dengan menggunakan rating yakni 1 (sangat tidak setuju) hingga 3 (sangat setuju). Perceived magnitude artinya seberapa besar harga tersebut dirasakan oleh responden. Hasilnya sebagai berikut.
Pada percobaan yang pertama perbedaannya cukup jauh berbeda, namun berbeda dengan percobaan yang kedua dimana perbedaaan tidak terlalu jauh. Padahal kalau mengikuti teori angka 9 seharusnya penggunaan angka 9 memberikan dampak yang besar, bukan? Nah dari penelitian inilah akhirnya ditemukan kalau harga yang berakhiran angka 9 akan jauh lebih efektif apabila harga sebelah kirinya berubah, seperti percobaan yang pertama.
2. Prestige Pricing
Kebalikan dengan charm pricing yang membuat harga jual jadi kelihatan lebih murah, prestige pricing justru membuat harga jual terlihat lebih bulat, lebih berkualitas, mahal, dan berkelas. Contohnya Rp199.726 dibulatkan menjadi Rp200.000. Hal inilah yang akhirnya membuat konsumen tertarik untuk membeli karena menilai produk tersebut pasti lebih berkualitas.
Prestige pricing ini biasanya digunakan oleh brand-brand yang sudah terkenal seperti Nike, Tiffany & Co, Rolex, dan sebagainya. Namun, bukan berarti trik ini hanya bisa digunakan brand terkenal saja, ya. Brand kecil juga bisa kok menggunakan trik ini, dengan memperhatikan hal-hal berikut ini.