Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pertimbangkan Alasan Sebelum Menolak Undangan Bukber

9 Juni 2017   07:25 Diperbarui: 11 Juni 2017   23:24 2543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Tiny Buddh

Ramadan memang bulan penuh berkah. Di bulan suci ini, sepertinya semua orang terobsesi untuk jadi orang baik. Ibadah lebih intens, rajin sedekah, sering membaca Alquran, lebih banyak berada di masjid, dan memperbaharui silaturahmi. Salah satu cara untuk mengeratkan kembali silaturahmi yang renggang saat Ramadan adalah buka puasa bersama (bukber).

Buka puasa bersama bisa diadakan siapa saja. Mulai dari teman, sahabat, geng masa sekolah, organisasi/komunitas, teman kuliah, rekan kerja, relasi bisnis, pacar, bahkan mantan. Eits, yang terakhir ini jangan disebut lama-lama ya. Mulai dari awal sampai akhir Ramadhan, undangan bukber terus mengalir. Entah disampaikan secara langsung, via telepon, SMS, e-mail, WA, Line, Twitter, Instagram, dan berbagai aplikasi sosial media lainnya. Ada yang mengundang secara serius, ada pula yang sebatas wacana. Biasanya yang jadi masalah adalah tanggal dan jadwal kesibukan.

Saya sendiri sudah menerima banyak undangan bukber. Bahkan beberapa hari sebelum Ramadhan, sudah ada yang memberikan undangan. Di antara sekian banyak undangan, hanya satu yang saya terima.

Mengapa? Tentunya ada alasan dan pertimbangan rasional. Saya takkan melakukan sesuatu tanpa didasari alasan logis dan pertimbangan matang. Ini berkaitan dengan faktor orang tua saya.

Sebenarnya orang tua saya tipe orang tua demokratis. Mereka tidak pernah melarang saya berteman dengan siapa saja. Mereka membebaskan saya untuk melakukan kegiatan non akademis apa pun yang saya sukai, asalkaan sesuai talenta dan minat saya. Bahkan mereka adalah fasilitator yang sangat baik. Apa pun langkah yang saya tempuh, selalu mereka support. Apa pun mereka lakukan asal saya bahagia.

Hanya saja, orang tua saya sangat selektif dan protektif. Sebab ingin menjadi sahabat anaknya, orang tua mengenal semua teman-teman dan orang terdekat saya di luar keluarga. Mereka tahu persis siapa saja yang dekat dengan saya, seperti apa orangnya, dan karakternya. Saya tidak bisa bersembunyi dari orang tua saya.

Selain itu, orang tua saya menilai. Mana orang-orang yang baik dan benar-benar bisa dipercaya, dan mana yang tidak. Sedikit sekali yang mereka nilai baik, tulus, dan bisa dipercaya. Justru sedikit orang itulah yang dibolehkan pergi bersama saya tanpa pengawasan ketat mereka.

Jumlah teman, sahabat, atau orang terdekat yang boleh pergi bersama saya tanpa perlu diawasi dapat dihitung dengan jari. Sayangnya, salah satu dari yang sedikit itu jauh dari saya. Justru seseorang yang jauh itu yang paling saya rindukan dan inginkan kehadirannya.

Ups, jangan sampai ini jadi artikel baper. Lupakan dulu soal Kompasianer asal kota apel yang dipercaya orang tua dan saya inginkan kehadirannya itu.

Kembali ke soal bukber. Hal ini sudah sering terjadi. Di luar Ramadan sekali pun. Saat ada teman atau orang yang ingin bertemu dengan saya, namun orang tua saya kelewat protektif. Susah sekali mendapat kepercayaan dari orang tua saya. Hanya sedikit yang bisa mengambil hati dan merebut simpati mereka. Jika tak bisa meluluhkan hati orang tua saya, jangan harap bisa mengajak anaknya. Hal itu berlaku bagi laki-laki maupun perempuan.

Kata orang tua saya, tidak semua orang baik dan bisa dipercaya. Perbandingan orang baik dan orang jahat di dunia ini, ada lebih banyak orang jahat dibanding orang baik. Mereka melarang saya pergi bersama orang lain tanpa diawasi karena takut orang yang pergi bersama saya akan berbuat jahat, memanfaatkan saya, atau tidak bisa menjaga saya. Mereka tak mau ambil risiko anaknya jatuh ke tangan yang salah. Dari pada diajak pergi oleh orang lain, lebih baik saya pergi bersama orang tua saja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun