Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Ayahku Ada Dua

12 November 2019   06:00 Diperbarui: 12 November 2019   19:53 879
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Senangnya punya Papa dan Ayah super ganteng. Bukan berarti aku senang selamanya. Suatu sore, saat jalan-jalan di mall, aku pernah dilirik sinis oleh dua orang ibu muda.

"Ceweknya centil amat ya...masa jalan sama dua cowok sekaligus."

"Kemaruk tuh. Amit-amit, jangan sampai Catherine dan Yohanna kayak dia nantinya."

Darahku mendidih. Ingin kuteriaki mereka. Papa melotot galak. Ayah menenangkan kami. Kata Ayah, orang lain tak mengerti betapa indahnya hari-hari yang kami lalui.

Ah, Ayah. Selalu saja begitu. Tak pernah kulihat Ayah marah-marah pada sesiapa. Sekedar menggerundel pun belum pernah. Seorang ART pernah mengotori jas kesayangan Ayah dengan bubuk coklat. Ayah tersenyum tenang, lembut mengingatkan si ART untuk lebih hati-hati.

**   

Aku melangkah gontai dari lantai tiga. Rumah utama memiliki tiga lantai, dan aku menempati kamar di tingkat teratas. Kutapaki anak tangga pualam. Dinginnya pagar tangga menggerayangi telapak tanganku.

Kususuri lorong penghubung ruangan satu dengan ruangan lain. Gema langkah kakiku dipantulkan dinding-dinding krem. Lelampu kuning keemasan menggantung dari langit-langit, menghangatkan pandangan mataku.

Hmmmm, kadang aku lelah juga tinggal di rumah besar. Ini baru rumah utama, belum lagi paviliunnya. Papa sering tinggal di paviliun berlantai dua di samping rumah utama kalau sedang suntuk. Rumah akan bertambah sepi karena hanya aku dan Ayah yang menempatinya. Jika aku merasa lelah memiliki rumah sebesar ini, cepat-cepat kuingatkan diriku sendiri.

Ayah sempat menasihatiku tentang nasib anak-anak seusiaku yang tinggal di barak pengungsian. Aku belasan kali lipat lebih beruntung dari anak-anak korban bencana dan peperangan. Mereka kehilangan rumah, sementara aku bisa tidur nyaman di kamar besar berpendingin udara.

Aku tiba di lantai pertama. Beberapa meter dari pintu ruang makan, aku terhuyung ke belakang. Ya, Allah, kenapa perutku sakit sekali? Satu tanganku mencengkeram perut dengan kuat. Kepalaku menunduk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun