"Memang bukan!" sahutku lantang.
Untung aku sudah punya amunisi untuk menjawab pertanyaan Natasha. Terima kasih buat pendidikan demokratis ala Ayah Calvin Wan dan Papa Adica Wirawan.
"Ortu aku meninggal pas umurku tiga bulan. Waktu itu, Papa dan Ayah masih kuliah. Mereka dapat amanah buat rawat aku."
Kulihat bibir teman-temanku membundar membentuk huruf "O". Natasha melongo seperti patung gargoyle di serial Harry Potter.
"Cerita hidupmu kayak sinetron." komentarnya.
"Bedanya, kamu nggak nangis histeris pas ceritain ini semua."
"Iyalah. Aku kan bukan drama queen."
Aku pun heran dengan diriku sendiri. Waktu aku tahu kenyataan ini, aku luar biasa tenang. Aku sudah yakin sekali kalau aku anak kandung salah satu dari Papa atau Ayah. Kenyataannya, aku anak sahabat plus sepupu mereka.
"Kamu pernah nggak, ziarah ke makam ortumu?" tanya Catharina kepo.
"Pernah dong. Tiap bulan aku selalu ziarah. Papa dan Ayah anterin aku. Iya kan, Pa, Ayah?"
Ayah dan Papa kompak mengangguk. Ditingkahi tatapan iri teman-temanku. Hahaha, selamat menikmati rasa iri Ayah kalian kan hanya satu. Belum tentu setampan Papa dan Ayahku.