Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Malaikat, Lily, Cattleya] Bangkitnya Kepala Keluarga

9 November 2019   06:00 Diperbarui: 9 November 2019   06:04 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bangkitnya Kepala Keluarga

Rinjani menggebrak meja makan. Wajahnya merah padam melihat Reinhard menyantap persediaan terakhir mie instant untuk sebulan. Di saat Rinjani ingin sekali makan mie instan, Reinhard malah lebih dulu menggasaknya.


"Rein! Kamu peka dikit bisa nggak sih?" protes Rinjani.

Nyaris saja Reinhard tersedak mienya. Dia menatap Rinjani, kesal bercampur bingung.

"Makan mie instan salah ya?" tanyanya retoris.

"Salah! Soalnya aku pengen makan itu juga!"

"Beli lagi dong."

"Ok, beli lagi. Pakai uangmu ya."

Reinhard bungkam. Senjata terbesar Rinjani adalah mengungkit soal uang. Benda berwarna hijau, biru, dan merah itu jadi perkara sensitif di rumah mereka. Keduanya sama-sama tahu, 95% biaya operasional rumah tangga ditanggung Rinjani. Penghasilan Reinhard sebagai penulis freelance tak menentu.

"Rinjani, bisa nggak sih jangan bawa-bawa uang?" ketus Reinhard.

"Bisa kok, kalo suamiku kaya."

Ada hal lain. Ya, Reinhard menangkap sorot lain dalam pancaran mata Rinjani. Bukan sorot mata galak seperti biasa. Tetapi juga pancaran kelelahan.

Lelahkah Rinjani dengan rumah tangga mereka? Lelahkah Rinjani melayani semua keperluan Reinhard? Lelahkah Rinjani menyaksikan suaminya yang sangat payah dalam menghasilkan uang?

Bibir Rinjani terkatup rapat. Ingin mengeluh, tapi tak bisa. Ingin kabur, tapi tak tega. Biar bagaimana pun, Reinhard tetaplah suaminya. Suami yang dia pilih dengan kesadaran penuh tanpa paksaan.

Seribu satu keluhan terpendam di hati Rinjani. Keluhan tentang betapa lelahnya mengurus rumah tangga. Keluhan tentang sulitnya menyisihkan uang untuk menabung. Neraca rumah tangga mereka selalu defisit. Jantung berdebar tiap akhir bulan, takut sisa saldo di ATM tak mencukupi.

Rinjani ingin mengungkapkan betapa beratnya menjadi istri pencari nafkah. Betapa kecewanya ia pada Reinhard yang tak bisa bertanggung jawab menafkahi. Betapa ia selalu menunggu-nunggu suaminya berubah.

Sering kali Rinjani iri pada tetangga-tetangganya. Dia membandingkan kehidupan mereka dengan roda kehidupannya sendiri. Lihatlah, Sivia istri pengusaha kaya. Dia bisa menyisihkan pendapatan butik dan job modelingnya untuk bersenang-senang. Rossie selalu dibelikan alat-alat masak baru oleh Adica. Chef Mutiara dimanja Revan dengan rumah dan mobil bagus. Revan bahkan tak perlu mengikuti durasi jam kantor hanya untuk menyenangkan Chef Mutiara. Mengajar tiga-empat jam, uang mengalir. Ummi Adeline leluasa pulang ke negeri Hitler tempat kelahirannya karena punya Abi Assegaf yang lebih secara materi. Dan seisi kompleks tahu, kalau Alea Cattleya selalu berlebih dalam hal kekayaan sebab semua itu terpenuhi oleh Jose Gabriel Diaz.

Belum sempat keluh kesah terlontar, bel pintu berdering. Rinjani berlari ke ruang depan. Sengaja ingin menghindari suaminya.

"Pagi, Mbak Rinjani...Mas Rein." sapa Ummi Adeline.

Rinjani mengulas senyum terpaksa. Reinhard muncul dari balik bahunya.

"Ummi Adeline...Abi Assegaf, mari masuk."

"Nggak usah. Cuma mau tanya. Kalian yang punya amplop ini?" Abi Assegaf menunjukkan amplop putih bersegel rapi.

Reinhard dan Rinjani menggeleng serempak. Diam-diam mereka mengamati amplop itu dengan tertarik.

"Isinya tiga juta. Waktu kami jalan-jalan, kami menemukan amplop ini jatuh di gerbang kompleks. Sempat kami buka, tapi sudah kami segel lagi. Entah milik siapa." tutur Abi Assegaf panjang lebar.

Wow, tiga juta. Sepasang suami-istri oportunis itu bertukar pandang. Tiga juta, bisa untuk membetulkan atap bocor, mengganti kasur baru, atau membeli tiket pesawat.

"Abi, gimana kalau uangnya kami yang pegang? Kami bantu carikan pemiliknya." tawar Reinhard.

Abi Assegaf, yang mencium gelagat tak beres, langsung menolak halus. Ummi Adeline jauh lebih amanah dibandingkan warganya yang satu ini. Buru-buru bapak dan ibu RT itu pamit.

Kecewa hati Reinhard dan Rinjani. Gagallah mereka mendapat rezeki nomplok. Tiga juta tidak sedikit untuk mereka. Sayangnya, Tuhan Maha Mengetahui.

**    

"Assalamualaikum, Alea."

Refleks Alea menurunkan edisi terbaru komik Detektif Conan yang sedang dibacanya. Ia bangkit, membawa tubuh tinggi rampingnya menjauh dari kursi berukir. Dengan langkah anggun, dihampirinya pria tampan bermata sipit dan berjas hitam itu.

"Waalaikumsalam, Calvin."

Keduanya saling lempar senyum. Mata Calvin tertumbuk pada komik yang tergeletak di kursi. Seorang doktor masih sempat membaca komik detektif?

Membaca keheranan Calvin, Alea menuturkan alasannya membaca Conan. Berawal dari lokakarya yang diikutinya di Singapore tiga minggu lalu. Saat menyusuri kawasan Chinatown Singapore, Alea menjumpai mural bergambar Detektif Conan tergambar di dinding. Unik sekali, pikir Alea waktu itu. Sepulang dari Singapore, ia berniat membaca ulang semua komik Conan koleksinya.

"Great. Kamu sedetail itu, Alea." puji Calvin.

Alea hanya tersenyum. "Well, kamu kenapa? Aku lihat kamu tidak bahagia. Kamu bisa cerita apa saja padaku."

Pertanyaan Alea kembali mengingatkan Calvin pada kesedihannya. Kesedihan tentang Sivia. Sivia yang dianggap aneh dan gila karena kesukaannya melukai.

"Aku sedih karena istriku dianggap gila." ungkap Calvin.

Tercurahlah cerita itu. Cerita tentang dokter berpikiran sempit yang tergigit jari telunjuknya. Alea mendengarkan dengan sedih. Ia pun menyayangi Sivia. Sedih hati Alea ketika pertama kali tahu Sivia sering melukai diri.

Terbaca olehnya kesedihan mendalam di wajah Calvin. Ada luka di mata itu. Luka hati karena anggapan terhadap wanita yang sangat dicintai. Alea menghibur Calvin. Menenangkannya, meyakinkannya bahwa masih banyak yang menyayangi Sivia. Banyak yang bisa menerima Sivia dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

"Siviamu itu spesial, Calvin. Jaga dia. Cintai dia sampai maut memisahkan."

Hati Calvin dialiri kehangatan mendengar nasihat terakhir Alea. Sungguh tepat memilih Alea sebagai tempat curhat. Lembut perkataannya, bijak pemikirannya, terbuka pola pikirnya.

Gerbang rumah membuka. Abi Assegaf dan Ummi Adeline memberi salam. Seperti di rumah Reinhard-Rinjani, mereka menunjukkan amplop berisi uang tiga juta.

"Tiga juta? Seperti harga kaki palsu yang kubelikan untuk Jose..."

"Ehm, kaki palsu? Katamu kaki palsu, Calvin?"

Dari dalam rumah, keluarlah Jose dengan kursi roda ajaibnya. Mata sipitnya beradu dengan mata sipit Calvin.

"Iya, kaki palsu untukmu. Aku sudah janji kan?"

"Bagaimana kalau aku tak mau?"

Keras kepala, bisik hati kecil Calvin. Lama-lama Jose layak mendapat gelar Mr. Stonehead. Sikap keras kepala Jose membuat gemas.

Arini berlari menuruni tangga parket. Dia melompat ke pelukan Calvin. Hari ini Calvin berjanji untuk mengajak Arini bermain bersama. Sejak Jose lumpuh, tugas mengasuh Arini secara otomatis dibagi tiga orang: Calvin, Jose, dan Alea.

"Daddy, ayo kita main!" seru Arini ceria.

"Iya, Sayang. Sebelum pergi, bilang apa dulu?" Calvin mengetes Arini.

Sebagai jawaban, Arini mengucap salam pada Ayah-Bundanya. Tak lupa diciumnya pipi mereka.

"Good girl. Let's go, Sweetheart."

Calvin membawa Arini jalan-jalan. Destinasi pertama mereka adalah mall. Pria berkacamata itu membelikan sejumlah dress cantik untuk Arini. Puas memanjakan Arini dengan membelikannya banyak pakaian, Calvin membawa keponakannya ke restoran Jepang. Diajarinya Arini makan dengan sumpit. Senyum tak henti terukir di bibir Arini saat mereka tiba di tempat ketiga. Rupanya Calvin membelikan buku cerita.

Tempat terakhir yang mereka kunjungi adalah taman kompleks. Hari itu, langit cerah. Mentari sore menjatuhkan bayangan panjang meneduhkan di bangku-bangku taman. Tubuh Calvin penat, tapi hatinya senang. Hidup lebih bahagia bila kita membahagiakan orang lain.

Lihatlah, Arini yang cantik berlari dengan mengenakan dress putih. Erona bahagia membuat parasnya makin memikat. Benar, kebahagiaan dapat memperkuat daya pikat.

"Arini, hati-hati Sayang." Calvin susah payah mengimbangi kecepatan langkah keponakan kecilnya.

Lari Arini makin cepat. Tangannya menggapai ke depan, ingin menangkap kupu-kupu. Kian kesulitan Calvin menjajarinya.

Calvin Wan memang sosok ayah potensial. Pria penyayang anak, daddyable sejati. Akan tetapi, tubuhnya tak mengizinkannya bergerak terlalu cepat. Mungkin itulah salah satu sebab Tuhan tak menitipkannya anak. Yang Maha Cinta dapat mengukur kemampuan ayah potensial ini.

Beberapa menit mengikuti Arini, Calvin didera keletihan. Dada kanannya bagai tertusuk. Arini tak tahu begitu lelah Daddynya.

Cepat sekali Calvin merasa lelah. Demi Arini, dicobanya tetap bertahan. Detik itulah Calvin tersadar. Betapa lelahnya menjadi ayah. Terlebih untuk anak seperti Arini, yang selalu ingin di dekat ayahnya.

Sakit di dadanya makin menyiksa. Calvin membungkukkan tubuh, menahan sakit. Darah segar tumpah dari rongga hidungnya.

"Ya, Tuhan, jangan sekarang. Jangan sekarang..." rintihnya pelan.

**  

Cintaku kemanapun Kau pergi

Hati ini Kan tetap menanti

Kepastian kita

Untuk tetap bersama

Menjalin kasih seperti dulu

Kekasih dimanapun kau ada

Diri ini masih setia untukmu

Takkan kusesali pengabdianku ini

Karna kau cintaku yang tercinta

Kembalilah untuk cinta

Dan untuk kita

Yang Tak mungkin berakhir

Untuk segalanya

Yang Teramat sangat berarti

Dalam hidupku selamanya

Untuk segalanya yang

Teramat sangat berarti

Dalam hidupku selamnya

Ohh..Kembalilah untuk cinta

Dan untuk kita

Yang Tak mungkin berakhir

Untuk segalanya

Yang Teramat sangat berarti

Dalam hidupku

Dalam hidupku

Dalam hidupku selamanya (Wizzy-Kepastian).

Calvin bisa bertahan. Sampai ia membawa Arini kembali ke rumah, rasa sakitnya dapat ditolerir. Arini dan Calvin pulang tepat ketika Alea tengah bermain piano. Jose duduk dengan wajah beku di dekatnya.

"Terima kasih buat semuanya, Daddy. Arini seneng banget..." ujar Arini sebelum naik ke kamarnya.

Setelah memberi satu kecupan manis di pipi Daddynya, Arini beranjak pergi. Calvin mendekati Jose. Menunjuk foto penghargaan Arini yang terpajang di dinding.

"Jose, dengarkan aku." Calvin berkata tegas. Jose berpaling.

"Lihat foto itu. Lihat Arini. Dia masih butuh Ayahnya. Dia butuh digandeng Ayahnya sambil berdiri."

Nada suara Calvin lebih tegas dari biasanya. Ruang tamu senyap seketika. Alea bahkan menghentikan permainan pianonya.

"Lihat Alea. Sampai kapan dia berdiri sendirian? Sampai kapan kamu biarkan dia berdiri di samping kursi roda ajaibmu? Jose, kamu ini kepala keluarga. Ada dua kepala lain yang menjadi tanggung jawabmu."

Jose terpaku, sempurna terpaku. Tenggorokannya terasa sakit. Terpagut kesedihan.

"Kamu ini kepala keluarga, jangan pikirkan kepalamu sendiri. Dan...memangnya kamu tidak rindu traveling bersama keluargamu?"

Traveling? Mata Jose berembun. Ya, ia rindu traveling. Rindu desir pasir pantai, desah angin lembah, hawa sejuk pegunungan, dan bisikan menantang gurun pasir. Jose rindu melihat Menara Eiffel, Sungai Thames, Danau Ontario, Hagia Sofia, Menara Kembar, dan The Great Wall. Telah puluhan purnama berlalu sejak terakhir kali Jose menyambangi negeri leluhurnya, Tiongkok. Masih segar dalam ingatan Jose. Bagaimana dulu ia dan Calvin sempat dikira warga lokal dan diajak bicara Bahasa Mandarin ketika mereka berlibur ke Negeri Tirai Bambu.

"Come on, Jose Gabriel Diaz. Tinggalkan kursi rodamu. Ambil kaki palsu yang kutawarkan."

Dan...

Bangkitlah kesadaran itu. Bangkitlah ruh seorang kepala keluarga. Jose harus segera kembali dengan kodratnya. Di sini, ada Alea dan Arini yang setia menanti.

Anggukan singkat Jose membuncahkan bahagia. Calvin bahagia sekali melihatnya. Alea memeluk Jose. Air mata mengalir turun, membasahi pipinya yang cantik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun