Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Malaikat, Lily, Cattelya] Cerita Mobil Kesayangan

16 September 2019   06:00 Diperbarui: 16 September 2019   06:11 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita Mobil Kesayangan

Tiga tahun lalu, Calvin membeliku dari pameran mobil mewah. Dia terpesona dengan bodyku yang putih mulus. Uang senilai 1,4 Milyar lolos dari kantongnya untuk menebusku.


Kukira dia tergiur dengan ucapan manis penjaga booth waktu itu. Asumsiku meleset. Ternyata Calvin sudah lama mengincarku. Keterbatasan waktu, yang membuatnya baru bisa membawaku pulang ke rumah. Terima kasih untuk pameran mobil.

Toyota Alphard namaku. Aku menggendong mesin berkode 2AR-FE dengan 4 silinder 16 katup berteknologi DOHC Dual VVT-I. Kapasitasku mencapai 2.494 cc. Aku sanggup menyemburkan tenaga hingga 180 tk per 6000 rpm dan mampu mencapai titik puncak torsi pada 23.9 nm per 4100 RPM. Hebat kan aku? Pokoknya aku mobil paling keren di rumah Calvin.

Tapi...

Rupanya aku punya saudara kembar. Alphard yang sama, berwarna putih pula, terparkir manis di sampingku. Tiap malam, saudara kembarku itu sering mengajakku berbincang. 

Padahal aku sudah sangat mengantuk. Saudara kembarku mengaku lebih hebat dariku. Padahal kami sama-sama Alphard. Harga kami pun sama. Apanya yang lebih hebat?

Hmmmm, tak habis pikir aku dengan Calvin. Apakah satu buah Alphard masih kurang? Lihatlah, di garasinya berjajar empat mobil. Dua Alphard putih, satu Jeep Rubicon hitam, dan satu Honda H-RV hitam. 

Haha, kalau yang terakhir itu sih, bukan mobil mewah ya. Harganya saja di bawah semilyar kok. Setahuku, H-RV hitam itu hanya dipakai untuk mengantar asisten rumah tangga ke pasar. Menyedihkan ya.

Silakan menyebutku sombong. Yatanya, aku memang mobil terkeren dan termahal. Aku layak bangga dengan diriku. Beda banget sama H-RV jelek itu.

Coba bandingkan. Bila si H-RV jelek itu hanya dibawa ke pasar, tiap Senin-Jumat aku dibawa Calvin ke kantor. Aku sering dikendarainya keluar kota. Aku pernah mengunjungi Bandung, Malang, Surabaya, dan kota-kota lainnya. Hei, asal tahu saja. Biarpun sering sakit, Calvin masih kuat solo driving. Ia baru minta tolong supir bila kondisinya benar-benar ngedrop.

Kini aku bahagia. Aku lebih nyaman tinggal di rumah Calvin dari pada tinggal di showroom. Di showroom, aku diperlakukan layaknya patung dada Juliette di Juliette Balconny Verona. 

Dadaku diremas-remas, tubuhku diusap-usap, dan orang-orang menatapku penuh hasrat. Yah, aku tahu sebagian besar dari mereka tak punya uang untuk mengeluarkanku dari showroom mobil.

Sedangkan di rumah Calvin? Aku merasa nyaman. Tubuhku dimandikan oleh tangannya sendiri. Ya, khusus diriku, Calvin sendiri yang turun tangan memandikanku. Tangan hangatnya membilas tubuhku dengan lembut. 

Dia menyabuniku, menyemprotkan shampo, dan menyeka bersih sisa-sisa busa sabun di tubuhku. Kelembutannya amat kontras dengan pegawai dealer yang pernah memandikanku. Pegawai itu kasar.

Tanda tanya muncul di hatiku. Mengapa Calvin sebaik itu? Aku kan hanya mobil. Mudah saja jika dia mau kasar padaku.

Di luar dugaan, Calvin tahu isi hatiku. Suatu pagi pertanyaanku terjawab. Waktu itu, supir pribadinya menawarkan diri untuk memandikanku. Tetapi Calvin menolak. Dia mengambil alih slang dan shampo dari tangan supirnya, lalu berkata.

"Kalau si Alphard ini, biar saya yang mandikan."

"Kenapa, Tuan?"

"Karena dia mobil kesayanganku."

Si supir mengangkat alis. "Memangnya yang lain bukan kesayangan ya?"

"Hmmmm...begitulah. Apa pun benda itu, entah kesayangan atau bukan, harus kita perlakukan dengan halus. Karena benda-benda mati ini akan bersaksi di hadapan Tuhan kelak. Mereka akan menceritakan bagaimana perlakuan kita."

Religius sekali pemilik baruku ini. Aku kagum padanya. Beruntungnya aku dimiliki Calvin.

Ah, Calvin. Pengemudiku yang berhati lembut. Aku takkan meninggalkanmu. Aku janji takkan meninggalkanmu, apa pun yang terjadi.

**

Prang!

Aku terbangun dari tidurku. Kutarik nafas panjang. Hmmmm, drama pagi dimulai lagi.

"Kau mau meracuniku, Calvin Wan?! Nasi goreng ini sama sekali tidak enak!" lengking sebuah suara soprano.

Ingin rasanya aku menulikan telinga. Wanita tak tahu diri, pikirku sengit. Seharusnya ia punya suami sebaik Calvin.

"Sivia, aku tidak bermaksud..."

"Dengar ya! Aku tidak pernah memintamu memasakkan makanan untukku! Dan jangan harap aku melakukan sebaliknya! Kalau tidak berniat memasakkanku, jangan meracuniku!"

Plak! Plak! Buk!

Terdengar hantaman, tamparan, dan teriakan kesakitan. Pasti Calvin kena lagi. Lewat gosip teman-temanku sesama penghuni garasi, tahulah aku kalau Calvin merelakan diri dilukai istrinya. Sivia, istrinya, merupakan seorang penyintas self injury. 

Calvin tidak tega melihat Sivia terus melukai diri. Sebagai gantinya, dia merelakan diri dilukai berkali-kali. Kini Sivia menemukan penyaluran jika ingin melukai.

Tak lama, terdengar derap langkah sepatu berhak tinggi menghentak lantai marmer. Disusul derap langkah lain. Kudengar Calvin berkata,

"Biar kuantar ya..."

"Nope. Aku naik taksi." ketus Sivia.

Bodohnya kamu, Sivia. Lebih enak pergi bersamaku. Apa enaknya naik taksi online? Belum tentu armadanya sebagus diriku. Joknya tak seempuk aku. Acnya tak sedingin di dalam tubuhku. Lalu kamu berisiko tertular virus flu karena taksi online sudah sering ditumpangi banyak orang. Bodoh, bodoh sekali.

"I wanna pick you up, Princess." bujuk Calvin halus..

"No! Big no! I like taxi better than your Alphard."

Kurang ajar betul. Mau rasanya kutumpahkan makian ke muka Sivia. Beraninya dia memilih taksi ketimbang diriku. Kurang apa aku ini?

Dapat aku dengar desahan lelah Calvin. Deru mobil terdengar di luar rumah. Itu pastilah taksi yang dipesan Sivia. Benar kan? Detik berikutnya, kudengar suara tak-tok sepatunya membelah paving block.

Sunyi sesaat. Dimana Calvin? Mengapa dia tak segera mengendaraiku? Bukankah ia harus ke kantor? Sudah jam berapa ini? Nanti dia bisa terlambat.

Diriku tidak sabar menunggu Calvin. Alih-alih langkah kakinya, yang kudengar justru dentingan piano. Calvin ngapain ya di dalam sana? Piano berdenting mengalunkan nada indah. Oh, aku paham. Dua detik berselang, terdengar suara bass bertimbre berat tetapi empuk menyanyikan lagu.

Ingatkah dulu

Semua kenangan kita

Waktu kita bersama

Waktu kau cemburu

Kini kau menghilang

Seakan semua tak pernah ada

Sesaat saja tak kau izinkan

'Tuk buktikan semua pasti berubah

Andai saja ada kesempatan kau berikan

Kita masih bersama

Bagaimana harus kulupakan semua

Saat hati memanggil namamu

Atau harus kurelakan kenyataan

Kita memang tak sejalan

Namun kau adalah

Pemilik hatiku

Sesaat saja tak kau izinkan

'Tuk buktikan semua pasti berubah

Andai saja ada kesempatan kau berikan

Kita masih bersama

Bagaimana harus kulupakan semua

Saat hati memanggil namamu

Atau harus kurelakan kenyataan

Kita memang tak sejalan

Namun kau adalah

Pemilik hatiku

Bagaimana harus kulupakan semua

Saat hati memanggil namamu

Atau harus kurelakan kenyataan

Kita memang tak sejalan

Namun kau adalah

Pemilik hatiku (Calvin Jeremy-Pemilik Hatiku).

Aku tersedu. Oh tidak, Calvin pastilah menyuarakan jeritan pilu hatinya lewat lagu. Dia mengenang betapa indahnya kebersamaan dengan Sivia di masa lalu. Kini, sikap Sivia berubah seratus delapan puluh derajat.

"Kenapa kamu menangis?" tanya saudara kembarku.

Aku diam. Lagu yang dibawakan Calvin begitu lembut dan menyayat. Teman-temanku ikut bertanya. Mereka khawatir melihatku tetiba bersedih.

"Kasihan aja sama tuanku...dia dilukai istrinya terus." ratapku.

Si H-RV jelek berdecak. "Alah, lebai. Udah biasa kali, tuan kita digituin."

"Apa maksud kamu?" jeritku frustrasi.

"Iya," Si Rubicon nimbrung.

"Tuan kita sering dimaki, dibodoh-bodohin sama istrinya, dan disakitin mulu. Kasian deh pokoknya. Lagian, perempuan kayak gitu ngapain dinikahin? Untung deh dia nggak pernah duduk bareng kita."

Kurunut ingatanku. Ya, Sivia hampir tak pernah duduk semobil dengannya. Mereka baru akan pergi bersama jika terpaksa. Misalnya, saat Calvin atau Sivia mendapat undangan ke pesta pernikahan dan mereka harus tampil bersama.

Setengah jam kemudian, Calvin muncul. Jasnya bernoda darah. Plester putih menyembul sekilas dari balik lengannya. Kedua pipinya memar. Iba, iba hatiku melihatnya.

Calvin membuka pintuku. Mesin menderu halus. Aku siap berangkat.

"Daag!" seru kembaranku, Rubicon, dan H-RV kompak.

Ucapan mereka hanya kubalas dengan senyuman. Aku berlari, secepat aku bisa.

Ruas-ruas jalanan tak terlampau macet. Mungkin karena jam berangkat ke kantor telah lewat. Calvin mengemudikanku dalam kecepatan sedang. Musik instrumentalia mengalun lembut. Ah, ini lagu kesukaanku. Mozart Hafner in d' Major, no. 35.

Lariku makin mulus setelah melewati exit tol. Aku beradu cepat dengan truk, mobil pick up pengangkut paket, dan sedan hitam. Makin percaya diri aku membawa Calvin. Aku janji padamu, Calvin. Aku janji akan membawamu sampai ke kantor dengan selamat.

Dua kilometer menjelang gerbang tol tujuan, iPhone Calvin berdering. Dia menghentikanku sejenak. Kulihat pria orientalis itu menggeser tombol hijau di trackpad.

"Halo, Alea?" sapanya.

"Calvin, kamu bisa jemput aku nggak? Aku harus ketemu klien di Imperial Resto, dan sekarang aku masih di kantor."

Aku mengenali suaranya. Suara mezosopran nan lembut itu milik Alea, sahabat Calvin dan Sivia. Alea masih terhitung saudara ipar karena dia menikah dengan sepupu Calvin.

"Bisa. Tapi...by the way, kenapa kamu nggak bawa mobil sendiri?" selidik Calvin.

"Ya ampun Calvin...mana pernah aku serajin itu? Minta tolong suamiku ya jelas nggak mungkin. Dari tadi aku order taksi online nggak dapet-dapet nih. Help me, please."

"I will. Wait..."

Klik. Telepon diakhiri. Calvin melajukanku secepat mungkin keluar tol.

Kami tiba di kantor Alea seperempat jam kemudian. Alea bekerja di lantai tujuh. Kabarnya, dia mengurusi project-project kesetaraan gender.

Alea berlari kecil masuk ke mobil. Ia sedikit terengah. Sambil berkaca, wanita cantik itu merapikan rambut pendeknya.

"Thanks a lot, Calvin..." desahnya.

"No need to thanks." Calvin tersenyum menenteramkan.

"How about Jose?"

Aku mendengar Alea mendesah pasrah. Gerakan tangannya terhenti.

"Not good. Sejak kakinya lumpuh, dia kehilangan cahaya hidupnya. You know-lah, lumpuh membuatnya lebih susah buat traveling." Alea bercerita dengan sedih.

"I feel sorry for you. Next time aku bakal temui dia. Kaih dia support."

Bisa kulihat Alea tersenyum. Senyumnya memudar seketika saat memandangi luka-luka di lengan dan pipi Calvin.

"Apa itu hasil karya Sivia lagi?" cetusnya.

Calvin membuang muka. Dilarangnya Alea untuk khawatir. Sayangnya, Alea terlalu kritis untuk ditenangkan dengan kata-kata manis.

"Biar kutegur Sivia. Keterlaluan." kata Alea tak senang.

"Jangan, Alea. Sivia kena gangguan self injury. Dia tak tahu apa yang dilakukannya."

Mendengar itu, Alea mendengus. Bagaimana mungkin? Penyintas self harm atau self injury melakukan perbuatan itu dengan sesadar-sadarnya.

Aku setuju dengan Alea. Sivia sudah kelewatan. Teganya dia melukai tuanku berulang kali. Sayang sekali, aku hanya sebuah mobil. Biarlah, biar kupasrahkan urusan menegur Sivia pada Alea.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun