Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pulanglah Sebelum Aku Tak Bisa Memelukmu Lagi (2)

18 Juni 2019   06:00 Diperbarui: 18 Juni 2019   06:14 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagian 2

Tes.

Cairan bening menetes ke pipi Alea. Ia tergugu. Tubuhnya terguncang pelan menahan isak. Tangis terperangkap di kerongkongannya.

"Calvin...Calvin." bisiknya berulang-ulang, pilu.


Bibir boleh diam terkatup. Hati bebas bicara. Jauh di dalam hati, Alea tak pernah menganggap Calvin orang biasa. Suaminya bagai malaikat.

Alea tahu betul siapa suaminya. Boleh saja orang-orang menganggap Calvin hanya pria biasa yang tidak sebanding dengan istrinya. Kenyataannya tak sesederhana itu.

Rapat dimulai. Alea mengumpulkan sisa-sisa konsentrasinya. Sudut batinnya menyimpan harap. Berharap tiga project besar dan melelahkan ini cepat berakhir.

**   

Oh cinta

Mengapa kau tak mudah

Mengapa kau berliku

Akui saja kau sulit untuk mengatakan cinta

Aku tak mungkin bisa

Aku tak berdaya

Tanpa kamu di sisiku

Hati terkunci untukmu (Kevin and The Red Rose-Terkunci Untukmu).

**   

Fortuner putih itu menepi di halaman sekolah. Calvin turun dari mobil. Dilepasnya seatbelt Sivia, lalu ia menuntun gadis cantik berseragam putih itu.

Anak-anak berlarian dari ayunan. Mereka berebutan memeluk Calvin. Tak lupa menyapa Sivia. Mereka yang sempurna fisiknya, berbaur dengan mereka yang tak lengkap anggota tubuhnya.

"Ayah Calvin wangi banget...apa sih parfumnya? Beda sama bapak aku di rumah. Bapak nggak suka dipeluk-peluk!" ceplos seorang anak berambut keriting. Tangan kanannya lumpuh.

"Tapi gimana pun juga...dia tetap bapak kamu, Alex." Calvin mengingatkan, tersenyum lembut.

Sedan metalik meluncur mendekat. Anak laki-laki bertubuh tinggi dan berwajah oriental khas peranakan melompat turun. Ibunya menyusul di belakang. Walaupun berambut pendek, ibu anak itu nampak cantik.

"Jose...pelan-pelan, Nak. Nanti kamu jatuh." tegur si ibu dengan nada halus.

Calvin memberi tatapan menenteramkan. "Dia akan baik-baik saja, Syifa. Sini, Sayang...sini."

Jose Diaz Wirawan, anak yang penuh semangat meski penglihatannya terus menurun. Ia tetap berprestasi dengan mempertahankan sisa matanya. Semester lalu, Jose juara kelas. Peringkatnya bersaing ketat dengan Sivia.

Kini si juara kelas menempel erat di dada Calvin. Syifa menelan saliva, miris bercampur bahagia. Kebahagiaan anak adalah kebahagiaan ibu. Ia miris lantaran Jose lebih dekat dengan guru musiknya ketimbang ayah kandungnya.

"Kuharap Adica tidak marah kalau kamu dan Jose sedekat ini denganku," ujar Calvin canggung.

Syifa mengangkat bahu. Suaminya jauh di Bumi Kawanua. Bagaimana ia bisa tahu?

"Apa Alea sudah pulang?" tanyanya mengalihkan topik.

Bel berbunyi. Calvin bersyukur karena tak perlu menjawab pertanyaan itu. Dibawanya Jose, Sivia, dan anak-anak ke ruang musik.

Pelajaran musik berlangsung menyenangkan. Calvin mengajari murid-muridnya membaca not balok. Ia juga membuatkan notasi berhuruf Braille untuk Jose dan Sivia.

Keasyikannya mengajar terganggu oleh rasa sakit. Serangan di dada kiri itu, datang lagi. Refleks Calvin memegangi dadanya. Sakit itu menjalar, terus menjalar hingga ke punggung.

"Ayah...Ayah Calvin kenapa?" tanya Sivia khawatir.

Calvin tersenyum. Dimintanya Sivia dan teman-teman sekelasnya agar tidak khawatir. Bagaimana mereka tidak khawatir? Guru favorit mereka terlihat sakit.

Sisa pelajaran lewat dalam cemas. Dering bel tanda akhir pelajaran bersamaan dengan getaran iPhone di tangan Calvin. Sekali, dua kali, tiga kali, benda silver itu terus-terusan bergetar.

Ternyata chat dari grup keluarga. Ada apa ini? Perasaan Calvin tak enak.

"Mama jatuh di kamar mandi. Ada kerusakan di tulangnya. Harus operasi."

Mata Calvin melebar tak percaya. Operasi? Kekhawatiran menyergap hatinya.

Ya, Calvin lebih mengkhawatirkan Mamanya Alea dibanding kondisi tubuhnya sendiri. Bagaimana pun keluarga besar Alea memperlakukannya, Calvin tetaplah bagian dari mereka. Kepedulian Calvin pada mereka begitu besar.

Beberapa hari ini, Alea slit dihubungi. Jahat rasanya bila Calvin diam saja. Ungkapan doa via sosmed takkan membantu. Orang butuh aksi nyata, bukan ungkapan maya. Jarak Semarang dengan ibu kota tidaklah dekat. Namun jika dia bisa mendapat flight tercepat...

"Syifa, bisa aku titip Sivia padamu?" Calvin setengah memohon.

"Tentu saja. Kau mau kemana?"

Tanpa jawaban, Calvin memeluk singkat Sivia lalu bergegas mengendarai mobilnya. Dalam perjalanan, dia menelepon stafnya untuk mencarikan tiket pesawat. Niat berbaik bersambut kemudahan. Masih ada satu kursi dalam penerbangan tercepat dua jam lagi.

**    

Berpasang-pasang mata menatapnya dingin. Menginspeksi tubuhnya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Calvin melepas kacamata, membersihkan benda bulat bening itu dengan jasnya.

"Kau tak diinginkan,"

"Kami butuh Alea, bukan kau."

"Pulang sana ke rumah keluargamu. Minum-minumlah arak dengan mereka, dan jangan racuni otak adik kami lagi."

Suara-suara bernada angkuh menggelegar di depan ruang operasi. Calvin terbiasa, sangat terbiasa. Keluarga Alea menolak dan melukainya berkali-kali. Mereka menyakiti orang kuat. Tekanan berulang dan luka batin membuat Calvin tegar.

"Saya hanya peduli. Apa pun reaksi kalian, saya akan tetap di sini." kata Calvin, tenang dan berwibawa.

Mereka tersenyum sinis. Orang luar mungkin akan memuji ketulusan Calvin. Sayangnya, mata hati keluarga Alea tertutup kebencian dan prasangka.

Beberapa jam kemudian, operasi selesai. Calvin menjaga ibu keduanya dengan sabar. Ia temani sang Mama dari pagi hingga pagi lagi. Lelah di tubuhnya ia abaikan. Meski responnya seperti...

"Jangan panggil aku Mama! Kenapa bukan Alea yang datang?" sergah Nyonya Adeline.

"Alea sibuk, Ma. Izinkan saya merawat Mama semampunya." Calvin menjawab lembut.

Mata Nyonya Adeline berembun. Tak bisa diingkari, hatinya tersentuh. Biar bagaimana pun, malaikat tampan bermata sipit ini punya kenangan dengannya.

Betapa sabar Calvin menghadapi Nyonya Adeline saat mengajak Alea kencan pertama. Betapa lembut Calvin selama bersama Alea dan keluarganya. Betapa tulus Calvin menerima Alea dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Tidak, Nyonya Adeline tak bisa memungkiri itu. Pria berpostur tinggi yang tengah menyuapinya ini, selalu meninggalkan kesan menyentuh di dasar hatinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun