Kasih Seribu Bulan, Kadir Gecesi
"Gabriel! Gabriel! Coba liat, aku dapat apa?"
Silvi berlari-lari menaiki tangga marmer. Jose menyambutnya. Penasaran melihat gelas plastik yang diacungkan Silvi.
"Tadi aku selesai bagi-bagi makanan kayak biasanya. Pas lewat jalan pulang, aku malah ditawarin sup buah sama kakak-kakak berbaju hitam. Dia juga lagi bagi makanan gratis ke semua orang. Aku terima aja, nanti kalo nggak diterima bisa dikira sombong. Ini sup buah gratis pertama yang kudapat."
Ini pengalaman baru buat Silvi. Selama berbagi, Jose tak pernah mengalami hal yang sama. Mungkin orang-orang segan berbagi padanya, melihat matanya yang sipit.
"Hmmmm...kenapa aku dikasih sup buah ya? Padahal kan mataku biru. Wah, nggak kebayang deh kalo tadi Papa ikutan. Tahu kan, Papa Revan tampilannya bule banget? Mereka nggak bisa mastiin aku Muslim apa bukan." Silvi mendesah.
"Mereka berbagi ke semua orang. Nggak liat kamu siapa," Jose mengutarakan pendapatnya.
"Iya kali ya..."
Keduanya memandang langit kemerahan. Garis-garis keemasan sisa cahaya mentari terakhir bersiap pudar. Sebentar lagi sore undur diri dan digantikan senja. Setelah senja, datanglah malam. Malam yang dinanti Jose.