Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Apel Tergigit dari Malaikat Tampan Bermata Sipit

22 Juni 2018   06:25 Diperbarui: 22 Juni 2018   08:26 888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lensa kamera berkedip-kedip. Menelusuri, mengamati, melahap, menjilati inci demi inci tubuh ramping nan cantik itu. Tombol shutter ditekan. Meluncurlah gambar-gambar indah, tersimpan dalam mikrochip superkecil.

"Kamu cantik sekali, Sayang." puji pria tinggi semampai berkulit putih dan bermata sipit itu.

Mata itu adalah mata seorang ayah. Tipe mata seorang ayah yang sangat bangga dan mencinta anaknya. Walaupun si anak bukan darah dagingnya.

Anak cantik bergaun soft pink yang duduk di kursi roda memasang ekspresi wajah dingin. Mata biru pucatnya meredup. Entah karena lelah, entah karena sedih.

"Kamu lelah ya, Nak? Sini sini, ayo kita pulang."

Jemari kokoh dan hangat milik sang pria meraih lembut tubuh si cantik. Pelan dan hati-hati, tubuh itu diangkat dan didudukkan ke mobil. Selang lima menit, Nissan X-Trail hitam itu melaju meninggalkan kawasan pegunungan.

**      

Owner Fresh Zone Supermarket itu menyeka ujung mata. Rasanya kejadian itu sudah lama sekali berlalu. Sekeping kenangan berputar-putar di hati, ujung tajamnya menusukkan luka. Pedih, pedih sekali.

"Silvi...Ayah rindu." bisik pria keturunan Tionghoa itu.

"Bahagiakah kamu dengan Daddy Revan di sana?"

Revan, nama itu menggores tajam. Pemilik nama itulah yang merebut Silvi darinya. Tidak tidak, buru-buru diusirnya pikiran negatif itu. Revan memang berhak atas Silvi. Tak seharusnya ayah terpisah dari anak kandungnya.

Meski merelakan, sudut hati kecilnya meneriakkan kesedihan. Dia sedih sekali harus terpisah dari Silvi. Jika boleh memilih, ingin rasanya ia terbang ke Turki sekarang juga dan membawa Silvi kembali ke Indonesia.

Telepon di meja kerjanya berdering. Segera diangkatnya.

"Pak Calvin, maaf. Ada yang ingin bertemu Anda."

"Siapa, Zeva?"

"Khrisna, karyawan dari divisi pemasaran."

Rekaman di sudut ingatan Calvin membuka. Khrisna bukan karyawan biasa. Di antara sekian banyak karyawan, Calvin paling ingat namanya. Selain karena kinerjanya baik, Calvin pernah punya beberapa pengalaman berkesan dengannya.

Di ujung telepon, sekretaris pribadinya menanti dengan sabar. Mulai keheranan karena atasannya mendadak terdiam.

"Bagaimana, Pak? Apa dibolehkan masuk saja?"

Calvin mengangguk. Lalu tersadar kalau ia sedang berbicara lewat telepon. Manusia ternyata bisa menjadi sangat bodoh jika sedang galau.

**     

Langkah kakinya teredam karpet tebal. Senyum dan aura kharismatik Calvin perlahan menenangkan hatinya. Begini rasanya berada di dekat seseorang yang memiliki kedudukan dan sisi spiritual yang lebih dari orang kebanyakan.

"Ada apa, Khrisna?" Calvin menanyainya ramah.

Khrisna menarik nafas panjang. Gamang menatap meja besar, seperangkat komputer lengkap dengan printer dan scanner, sofa empuk, dan tumpukan dokumen. Pria sederhana pekerja keras ini pun tak tahu mengapa dirinya bisa berada di sini. Satu hal yang ia rasakan: Calvin Wan orang yang bisa dipercaya.

"Anak saya kabur dari rumah..." desisnya.

Tenang, satu garis wajah yang ia usahakan tetap bertahan di wajah tampannya. Tetapi tetap saja, Calvin tak bisa menahan kekagetan.

"Hassan kabur? Kenapa?" tanya Calvin, nyaris tak percaya.

"Sepertinya dia marah pada saya. Saya memang ayah yang mengecewakan."

Wajah Khrisna tertunduk pasrah. Luka, luka hati seorang ayah tergambar nyata. Hati Calvin membisikkan empati. Ia juga pernah menjadi seorang ayah. Kini, nanti, dan selamanya, Calvin tetaplah seorang ayah. Status yang akan terus melekat dan tak terhapus lagi.

"Satu bulan lalu, saya menjanjikan iPhone untuknya kalau ia dapat ranking pertama. Dia membuktikan pada saya. Dia berhasil, bahkan jadi juara umum di sekolahnya. Tapi, saya gagal menepati janji. Uang yang seharusnya untuk membelikan iPhone saya gunakan untuk keperluan lain. Hassan kecewa, lalu malamnya dia kabur dari rumah."

Mendengar cerita Khrisna, Calvin terenyak. Ia tempatkan dirinya dalam posisi netral. Hassan tidak salah, Khrisna pun tidak. Pasti ada alasan tertentu yang mendasari ayah dan anak itu melakukan tindakan yang terpikir di benak mereka.

"Saya ikut bersimpati, Khrisna. Di sini saya tidak akan menyalahkan siapa pun." ujar Calvin.

Inilah hal pertama yang dicari Khrisna: motivasi penyejuk hati. Bukan raut wajah menyalahkan, justifikasi, atau tuduhan ingkar janji. Calvin memang orang yang tepat.

"Saya akan bantu kamu cari Hassan. Boleh saya minta foto dan datanya? Biar saya hubungi asisten pribadi sekarang. Kalau sampai nanti malam Hassan belum juga ditemukan, saya sendiri yang akan mencarinya."

Kesejukan berganti rasa syukur. Khrisna benar-benar tak salah pilih. Sungguh, Calvin memang layak dipercaya. Allah kirimkan malaikat tampan bermata sipit bernama Calvin Wan yang diberi izin membantunya mencari Hassan.

**      

Di malam yang sesunyi ini

Aku sendiri tiada yang menemani

Akhirnya kini kusadari

Dia telah pergi

Tinggalkan diriku

Akankah semua kan terulang

Kisah cintaku yang seperti dulu

Hanya dirimu yang kucinta dan kukenang

Di dalam hatiku

Takkan pernah hilang

Bayangan dirimu untuk selamanya (Peterpan-Kisah Cintaku).

Nissan X-Trail hitam itu meluncur cepat menembus malam berkabut. Calvin menggenggam erat setir mobil. Bukan karena kedinginan, melainkan karena sedih dan khawatir.

"Hassan...kamu dimana, Sayang?" desahnya, sedih bercampur cemas.

Hassan hanyalah anak pegawainya. Anak cerdas yang ia beri beasiswa pendidikan. Namun Calvin peduli padanya. Kepedulian yang terlahir dari empati dan solidaritas sebagai seorang ayah. Jiwa penyayang Calvin masih begitu kuat. Kelembutan seorang ayah tetap dimilikinya.

Tekadnya menyala. Ia harus menemukan Hassan dan membawanya pulang. Tanpa sepengetahuan Khrisna, Calvin telah menyiapkan sesuatu untuk Hassan.

Mobil terus melaju. Melesat turun dari flyover, melewati gedung perkantoran dan pusat bisnis. Malam yang sibuk. Metropolitan terus berdenyut. Hari yang berlari.

Calvin mencari, terus mencari. Ia takkan pulang sebelum menemukan Hassan. Bayangan menakutkan berkelebat di benaknya. Anak sekecil itu, berkeliaran di jalanan di malam yang gelap. Apa pun bisa terjadi padanya. Bagaimana kalau ia diculik, dirampok, atau dipaksa menjadi pengemis oleh orang-orang dewasa tak bertanggung jawab? Membayangkannya pun tak sanggup.

Dalam hati, Calvin beristighfar. Pengusaha dan blogger super tampan itu berdoa agar Hassan baik-baik saja. Sekali-dua kali ia melirik ke samping. Di tempat duduk mobil sebelah bangku pengemudi, tergeletak manis kotak mungil terbungkus kertas emas. Di dalamnya terdapat benda berlogo apel tergigit yang didambakan Hassan.

Dalam pencariannya, Calvin tetiba kembali teringat Silvi. Andai saja Silvi yang menginginkan benda berlogo apel tergigit itu. Pasti akan segera ia berikan, tak perlu menunggu waktu lama ataupun prasyarat tertentu. Calvin sangat mencintai Silvi. Ia tak pernah ingin kehilangan Silvi. Apa pun akan dilakukannya untuk gadis kecil itu.

Sayang sekali, si malaikat tampan bermata sipit takkan bisa memberikan si 'apel tergigit' untuk Silvi. Permata hatinya telah berada jauh di Turki. Tak mungkin kembali lagi.

**       

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun