Dear Ronald Wan,
Aku takkan pernah menangis untuk urusan studi dan pekerjaan. Sebab aku terlatih untuk tegar dan mampu menempuhi berbagai kesulitan untuk kedua urusan itu. Aku hanya sudi memberikan air mataku untuk urusan cinta dan kasih.
Ronald,
Kautahu apa artinya diskriminasi? Aku sering merasakannya, Sayang. Apa kau juga merasakannya? Baru-baru ini aku mengalaminya, lagi.
Ronald,
Kau masih ingat tentang salah satu mata kuliah di semester ini yang mengharuskan adanya kegiatan akademik berformat kajian keagamaan tapi lebih mirip brainwash itu? Bentuk kegiatan akademik yang berat sebelah, karena ditangani oleh mahasiswa.
Penilaiannya pun dilakukan oleh mahasiswa. Subjektivitas dan diskriminasi begitu terasa, Ronald. Termasuk dalam penilaian akhir.
Aku takkan menyebut diriku sendiri mahasiswa pintar. Sama sekali tidak. Tapi, aku hanya tahu langkah-langkah bagaimana menjadi yang terbaik, bagaimana mendapat nilai sempurna. Aku sudah tahu, dan aku pernah mendapatkannya di materi yang lain.
Walaupun diliputi perasaan tidak suka dan kontra terhadap kegiatan akademik yang menyerupai cuci otak itu, aku tetap mengikutinya. Kujaga diriku sendiri. Aku bukan Muslim fanatik, Ronald. Kautahu itu kan?
Saat penilaian akhir pun tiba. Lagi, subjektivitas dan diskriminasi begitu terasa. Sejak awal, nampaknya segelintir mahasiswa "penguasa kampus Muslim fanatik" itu tak pernah menyukaiku. Seperti lirik lagunya Bunga Citra Lestari, aku pun jera berurusan dengan mereka. Namun ini adalah kewajiban. Kebijakan universitas yang harus ditepati.
Dalam penilaian akhir, rupanya ada diskriminasi lagi. Mereka mempermainkan nilaiku, Ronald. Nilai yang kudapat tidak sebanding dengan kualitas tugas-tugas yang kukerjakan untuk mereka. As you know, aku suka mengejar kesempurnaan. Aku senang mendapat hasil dan nilai sempurna. Hal ini pun kulakukan untuk mata kuliah yang tidak kusuka.