Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surat Terbuka untuk Penerbit, Rumah Produksi, Kantor Perwakilan UNESCO Jakarta, dan Pemerhati Literasi

11 Mei 2018   05:51 Diperbarui: 11 Mei 2018   08:05 1250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penerbit butuh penulis. Penulis dan penerbit butuh pembaca. Ketiga elemen ini saling berkaitan. Seperti halnya pasangan hidup atau jodoh. Saling terikat, saling berkaitan. Analoginya begini: jika penulis adalah tulang punggung, pembaca adalah tulang rusuknya. Sebaliknya, jika penulis adalah tulang rusuk, penerbit adalah tulang punggungnya. Satu sama lain saling mendukung, masing-masing menyangga dan menopang yang lebih kuat.

Akan tetapi, bukan berarti yang kuat punya hak prerogatif penuh untuk mengatur yang lebih lemah untuk menuruti aturannya. Terkadang yang kuat dapat memberikan sedikit ruang kebebasan bagi yang lemah untuk berekspresi dan bergerak sesuai arah yang disukainya. Tidak selamanya tunduk patuh pada aturan yang kuat.

Kembali dengan rasa takut. Saya takut, sedih, dan kesepian. Sepi lantaran kehilangan kepercayaan atas interpretasi dan pemahaman orang lain di luar diri saya terkait jenis cerita yang saya bawa. Benarkah kesepian adalah takdir dan keniscayaan yang harus dihadapi para penulis, sastrawan, dan pekerja seni lainnya? Kesepian karena tak ada yang memahami dunia mereka? Kesepian lantaran tak ada yang memahami jalan pikiran mereka?

Baik, beranjak ke pertanyaan selanjutnya. Mengapa dulu, novel yang menyimpang dari trend saat itu, yang menawarkan pemikiran baru, bisa meledak dengan pusaran kekuatan dahsyat yang mengguncang dan memutarbalikkan selera fiksi populer di negara kita? Saman, misalnya. Bersamaan dengan Reformasi, novel ini hadir membawa gebrakan baru. Karya-karya sejenis bermunculan. Lalu Ayat-Ayat Cinta. 

Di saat publik tengah mencandu fiksi dewasa sarat unsur seks, tetiba saja novel religius hadir dengan spektakuler. Bahkan sampai diangkat ke layar lebar. Laskar Pelangi, sebuah novel yang bercerita tentang pendidikan, toleransi, dan berlatar di sebuah pulau timah Belitung, setting yang sangat jauh berbeda dengan kebanyakan novel remaja lainnya yang menyoroti kehidupan anak-anak perkotaan, mengapa bisa booming? 

Waktu itu, bukankah trend pasar jauh berbeda dengan novel-novel yang akhirnya sangat laris? Mengapa mereka tak perlu tunduk pada selera pasar, tetapi ujungnya sukses? Pertanyaan saya, mengapa bisa begitu? Mengapa penerbit mengalah pada mereka yang tidak mau tunduk pada selera pasar, dan akhirnya menerbitkannya? Apakah saat memutuskan akan menerbitkan naskah-naskah novel laris itu, mereka sempat meragukan selling pointnya? 

Selama ini, jika saya perhatikan, yang sering dipertanyakan adalah selling point. Begitu pula dengan rumah produksi. Apakah setelah melihat sebuah novel menjadi bestseller, langsung nekat memfilmkannya? Sempatkah mereka mempertanyakan profit dan selling point pada para penulis novel tersebut, yang ceritanya mereka adaptasi ke layar lebar? 

Ataukah sebenarnya, para penerbit dan rumah produksi ini bersedia menerbitkan dan memfilmkan hanya karena ada 'hubungan' dengan 'yang di dalam'? Kalau 'yang di dalam' begitu mudah melenggang kesana-kemari untuk mensukseskan novel dan filmnya, mengapa yang masih di luar sulit sekali menembusnya? Apakah praktik kolusi dan nepotisme masih menjadi penyakit yang belum sembuh juga? Apakah kedua penyakit ini menyerang industri perbukuan dan perfilman negeri kita?

Sekali lagi, saya bukanlah penulis hebat. Saya tidak mampu merangkai kata menjadi cerita seindah rangkaian kata para novelis yang telah saya sebutkan di atas. Namun, seperti kata Isyana Sarasvati, bolehkah saya masih berharap? Masih berharap ada yang mengerti? Bukan diterima ya, tapi dimengerti.

Begitu bingungnya saya. Sampai-sampai saya membawa kegalauan dan kebingungan ini pada dua pucuk surat. Dua surat itu saya alamatkan ke Kantor Perwakilan UNESCO di Jakarta. Kira-kira isinya sama dengan surat ini. Surat pertama, saya kirimkan tanggal 2 Mei 2018. Surat kedua dikirimkan tanggal 9 Mei 2018. Lewat pesan teks yang dikirimkan perusahaan ekspedisi, saya tahu siapa penerima surat-surat saya di sana. Penerimanya sama, baik surat pertama maupun kedua. Namun, saya tak tahu berlabuh dimana kegelisahan saya itu. 

Apakah si penerima surat di Kantor Perwakilan UNESCO di Jakarta benar-benar menyampaikannya pada pihak yang berwenang membuat kebijakan, terbuang, terlupakan, atau entah bagaimana nasib akhir dari surat itu. Mungkin saya tidak bisa melihat kemana surat itu berakhir, di meja besar yang berwibawa atau di tempat sampah. Tapi Allah melihat, Allah akan tahu dimana surat itu berakhir. Saya pun tak tahu, mengapa menuliskan dua surat pada Kantor Perwakilan UNESCO. Yang jelas, saat itu saya tengah berada dalam kebingungan parah. Saya seperti berputar-putar di labirin gelap tak berujung, entah dimana pintu keluarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun