Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Special] Mata Pengganti, Pembuka Hati: Hari Ini Aku Masih Hidup

23 Januari 2018   06:03 Diperbarui: 23 Januari 2018   08:09 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: www.religionerased.files.wordpress.com

"Kamu harus mengalah!" teriak seorang pemuda berkulit gelap dengan pakaian seragam tim lawan.

Bola basket di tangan Calvin ia dribel dengan kekuatan penuh. Ditatapnya si pemuda penuh tanya. Bberhadapan begini, keduanya sangat kontras. Calvin berkulit putih, bermata sipit, posturnya tinggi semampai dan wajahnya tampan. Pemuda satunya, yang baru saja menghardiknya, berkulit gelap dan bermata lebar. Jelas tidak setampan Calvin.

"Ok, aku akan mengalah. Tapi, apa alasannya sehingga aku harus mengalah?" tanya Calvin. Tenang suaranya, kharismatik sikapnya.

"Karena kamu berbeda! Orang-orang seperti kamu harusnya pergi saja dari sini! Tak usah main basket di sini!"

Sekejap saja, Calvin tahu alasannya. Pasti karena ras lagi, etnis lagi. Benar-benar out of date.

"Hanya karena itu?"

"Iya!"

Kembali ia mendribel bolanya dengan tenang. Sangat cool.

"Kalau begitu, aku tidak akan mengalah. Tidak adil namanya. Ini permainan basket. Bukan ras yang dipersoalkan, tapi kemampuan."

Bukannya terkesan, si pemuda berkulit gelap justru naik darah. Ia berteriak, menyuruh teman-temannya mendekat. Dengan satu komando, mereka menyerang Calvin. Melayangkan pukulan, tamparan, dan tendangan. Makian bernada rasis mereka lontarkan. Ya Allah, begitu beratkah memiliki darah campuran di dalam tubuh sendiri?

**     

Calvin terjatuh dari tempat tidur. Ini hanya mimpi buruk, sungguh hanya mimpi buruk. Bukan kenangan lama yang terulang lagi.

Pintu paviliun rumah sakit berdebam membuka. Terdengar teriakan dua orang gadis. Mereka berlari-lari mendekat. Bel dibunyikan. Tim dokter berdatangan.

Calvin merasakan tubuhnya diangkat. Dibaringkan lagi di ranjang. Selang oksigen dan peralatan lainnya dipasangkan. Wajah-wajah cemas menyeruak. Tangisan tertahan sesekali terdengar.

"Kak...Kak Calvin baik-baik saja?" tanya Syifa lirih, matanya berkaca-kaca.

"Calvin, apa kamu mimpi buruk lagi? Kenangan apa lagi yang kauingat?" Silvi mulai khawatir.

Tidak, ia sama sekali tidak menyukainya. Dua gadis yang menempati ruang spesial di hatinya menangis karena dirinya. Tugasnya untuk membahagiakan mereka. Tetapi, ia malah membuat mereka sering meneteskan air mata.

"Tidak...tidak apa-apa." jawab Calvin, berusaha menenangkan Silvi dan Syifa.

"Aku memahami dirimu, Calvin. Tiap kali kamu sakit, kamu selalu mimpi buruk. Mengingat kenangan-kenangan lama yang kurang menyenangkan. Ayolah, ceritakan padaku. Bercerita akan membuat perasaanmu lega." bujuk Silvi.

Mendengar itu, Syifa menutup wajah. "Masya Allah...laa illaha ilallah, adik macam apa aku ini? Aku saja tidak tahu Kak Calvin ternyata seperti itu. Ada apa? Kenangan apa lagi yang Kakak ingat?"

Enggan bercerita, Calvin bungkam. Tak ingin membuat Silvi dan Syifa bertambah sedih.

Smartphonenya berdering. Telepon dari kantor. Malam-malam begini? Namun Calvin tetap mengangkatnya. Beberapa menit bicara dengan si penelepon, wajah Calvin tetap tenang. Meski terlihat riak kecil kegelisahan di matanya.

"Calvin, ada apa?" Silvi tak lelah bertanya.

"Besok aku harus ke kantor. Ada masalah yang perlu diselesaikan." Calvin menyahut singkat. Mengembalikan smartphone ke tempatnya.

"Tidak usah, Kak. Biar aku saja yang bereskan. Kakak istirahatlah di sini, sampai sembuh...ya?" cegah Syifa lembut.

Kata 'sembuh' terdengar ironis. Calvin menggenggam tangan Syifa, tersenyum sekilas pada adik bungsunya.

"Sembuh atau tidak, Kakak tetap akan ke kantor. Semuanya akan baik-baik saja, Syifa."

Di bawah tatapan teduh Calvin, Syifa speechless. Tak kuasa berkata-kata. Calvin terlalu baik, terlalu sabar untuk dibantah dan dilukai.

**     

Bukan Calvin Wan namanya kalau tidak pekerja keras. Dalam keadaan sakit, ia masih bisa mengurus masalah di perusahaan. Membereskannya, mengatasinya, memimpin staf-stafnya dengan sabar dan bijak. Para staf itu tak tahu, bila atasan mereka yang tampan semalam terbaring lemah di rumah sakit akibat ulah sel Kidney cancer. Calvin pribadi yang kuat, ia takkan menunjukkan pada siapa pun kalau dirinya sedang sakit.

Selesai dengan urusan pekerjaan, Calvin tak langsung pulang. Ia tetap tinggal sebentar di ruangannya. Baru beberapa menit duduk di kursi empuk bersandaran tinggi itu, ia didatangi Syifa. Wajah si adik bungsu nampak kusut. Matanya agak merah.

"Kenapa, Syifa? Sini duduk...kamu kenapa?"

Calvin sendiri yang membukakan pintu untuk Syifa. Meraih lembut lengan Syifa, lalu mendudukkannya di sofa. Seperti caranya memperlakukan Syifa sewaktu ia masih kecil.

"Aku kesal. Aku bingung. Sudah dua kali aku dapat notifikasi ini."

Syifa menunjukkan smartphonenya. Calvin membacanya. Langsung saja ia paham apa yang terjadi. Masalah dengan kartu kredit rupanya.

Beruntung Syifa mengadu dan mengeluh pada Calvin. Bayangkan bila masalah ini dia adukan pada Adica. Bukannya dapat solusi, mungkin hanya bentakan dan hardikan keras saja. Calvin yang penyabar dan pengertian itu takkan membiarkan adik bungsunya yang manis terjebak dalam masalah.

"Syifa, blokir saja kartu kreditnya." Calvin menyarankan.

Si bungsu berwajah manis itu mengangguk lemah. Merebahkan kepalanya di pundak Calvin. Memperlihatkan sisi manjanya. Pada kakak sulungnya inilah Syifa bisa bermanja-manja.

"Bisa dipahami, Syifa Sayang. Makanya, lain kali langsung hapus datanya tiap kali belanja online. Ambil positifnya saja. Jadikan sebagai pengalaman buatmu." ujar Calvin lembut. Mengusap rambut Syifa.

"Iya, Kak. Ah...ini bukan hari yang menyenangkan."

Tak hanya atasan yang baik. Calvin pun kakak yang baik. Selalu ada untuk adik-adiknya. Selalu bersedia membantu kapan pun dibutuhkan. Beruntungnya Syifa memiliki kakak setampan dan sebaik Calvin.

Membantu dan memberikan saran untuk Syifa, Calvin malah mendapat ide untuk tulisannya. Tak butuh waktu lama baginya untuk menuangkan ide dalam artikel. Mengingatkan pembaca setia blognya akan risiko penggunaan kartu kredit untuk belanja online.

Tenggelam dalam keasyikan menulis membuat Calvin lupa waktu. Jam kantor sudah habis. Namun ia masih di ruangannya, senang sekali dengan hobi literasinya. Andai saja tak ada seseorang yang mengetuk pintu dari luar, mungkin dirinya akan tetap di sana sampai satu jam ke depan.

Yakin sepenuhnya kali ini bukan Syifa. Ia persilakan saja pengetuk pintu untuk masuk tanpa beranjak untuk membukanya. Seorang lelaki berkulit gelap dan bermata lebar dengan kemeja coklat sederhana memasuki ruangan.

Spontan Calvin menengadah dari layar komputernya. Ia mengenali wajah itu, mengenali lelaki itu. Bukankah ia yang pernah memukuli Calvin dan memaksanya mengalah di pertandingan basket bertahun-tahun lalu?

"Kamu...?" kata Calvin tak percaya.

"Calvin, kamu Calvin kan? Aku minta maaf." ucap si lelaki penuh kesungguhan.

Sesaat mata Calvin tak berkedip menatapi si lelaki penyerangnya. Penampilannya sangat sederhana, kalau tak bisa dikatakan menyedihkan. Wajahnya letih. Tubuhnya sangat kurus. Lingkaran-lingkaran hitam terlukis di bawah matanya yang cekung. Pertanda kelelahan jiwa-raga. Apa pun masalah hidupnya, pastilah sangat berat.

"Sekali lagi aku minta maaf," gumam si lelaki, dan ia benar-benar menyesal.

Sejurus kemudian Calvin bangkit. Menjabat tangan laki-laki itu. Amat kuat genggaman tangannya.

"Sejak bertahun-tahun lalu, aku sudah memaafkanmu." Calvin berujar penuh wibawa, tulus dan meyakinkan.

"Syukurlah. Terima kasih, Calvin. Terima kasih."

"Sama-sama. Oh ya, dari mana kamu tahu kantorku?"

"Aku sedang mencari pekerjaan, aku baru saja dipecat dari media tempatku bekerja selama ini. Lalu..."

Mulailah kisah panjang itu mengalir. Tentang hidup si lelaki malang. Penyebabnya dipecat lantaran persekusi. Hanya karena sebuah tweets yang diduga menghina seorang ulama terkenal, ia dipecat. Nama baiknya tercemar. Pendukung ulama itu kelewat fanatik. Sampai-sampai media cetak itu diancam akan diboikot kalau tidak memecat si lelaki malang.

Hati Calvin tersentuh mendengarnya. Sebuah ketidakadilan menurutnya. Lelaki yang pernah membullynya ini adalah bukti dari kejamnya persekusi. Tergerak niat untuk membantu lelaki itu.

"Well...sebenarnya, di kantor ini tidak ada lowongan pekerjaan. Tapi aku bisa memberikan pekerjaan untukmu di tempat lain kalau kamu mau." Calvin memulai, santun dan hati-hati.

Mata lelaki itu berbinar antusias. "Tak masalah. Apa pun pekerjaannya, aku mau."

"Sebelumnya, maaf kalau pekerjaan ini tak sebanding prestise dan gajinya dibanding pekerjaan lamamu. Maukah kamu jadi salah satu supir keluargaku?"

"Jadi supir pribadi? Ya, aku mau. Tentu aku mau. Terima kasih...kapan aku bisa mulai bekerja?"

Kedua mata yang semula redup kembali bercahaya. Lega hati Calvin melihatnya. Walaupun kecil, setidaknya ia bisa memberi bantuan untuk lelaki itu agar dapat bertahan hidup.

Sebelum pergi, lelaki itu diberinya sedikit uang. Ia berpesan, uang itu untuk istri dan anak perempuannya. Tak tergambarkan begitu besarnya rasa terima kasih lelaki itu. Calvin yang pernah ia bully, caci-maki, kini justru menolongnya. Mengulurkan tangan dengan penuh kasih. Satu-satunya orang yang mau peduli. Calvin Wan, pria penyabar dan pemaaf yang berhati seluas samudera. Kekecewaan di masa lalu terkalahkan dengan kemampuan untuk memaafkan dan kelembutan hati.

**       

Indah dan heningnya sepertiga malam dimanfaatkan Calvin dan Silvi untuk shalat Tahajud. Menggapai kemuliaan langit. Menyampaikan rindu dan cinta pada Illahi. Di saat kebanyakan orang terlelap di balik selimut, Calvin dan Silvi terbangun untuk beribadah. Menghadapkan jiwa mereka pada Sang Maha Cinta.

Usai Tahajud, tidur bukan lagi pilihan. Keduanya melewatkan waktu berdua. Hanya berdua. Memagut hati dengan cinta.

"Time to read," Calvin membuka buku di pangkuannya.

Silvi tersenyum cantik. Menunggu, menunggu Calvin membacakan kisah indah itu untuknya: Ayat-Ayat Cinta 2.

Suara Calvin bagus. Caranya bercerita pun sangat enak didengar dan mudah dipahami. Apa yang ia bacakan dan ceritakan tersampaikan. Sebab membacakan buku untuk orang lain berbeda dengan membacakan buku untuk diri sendiri.

Sambil mendengarkan, Silvi diam-diam menatap Calvin. Mematri wajah tampannya di dalam hati. Diakuinya, Calvin story teller yang baik. Ia bercerita dengan tulus, bercerita dengan hati. Silvi hanya berharap, Calvin tetap di sini. Bersamanya, di sisinya, apa pun yang terjadi.

Sesungguhnya, Calvin jauh lebih bahagia. Bahagia lantaran Allah masih mengizinkannya untuk hidup hari ini. Hidup dan memberikan hidupnya untuk orang lain. Hidup dan menebar kebaikan serta cinta kasih.

Buku itu selesai dibacakan. Silvi larut dalam kesedihan. Terbawa dalam alur cerita. Diraihnya tangan Calvin, digenggamnya erat.

"Calvin?"

"Ya?"

"Apakah teman-teman kita yang lain tahu tentang kita?"

"Beberapa sudah tahu, Silvi. Mereka membaca...mereka menyadari. Bahkan beberapa bertanya padaku."

Bibir mungil itu masih mengukir senyum. Namun kedua mata birunya menyimpan cerita lain. Genggamannya di tangan Calvin bertambah erat.

"Apa kamu masih memikirkannya?"

"Tidak."

"Aku takut kamu terpengaruh dan lebih memilih mereka."

Mata itu meredup. Bukan karena kantuk, tapi karena sedih. Silvi mengalungkan lengannya di leher Calvin.

"Ini pilihanku, Silvi. Tak perlu peduli pertanyaan dan perkataan orang lain."

"Bagaimana dengan teman wanitamu yang cantik itu? Si pengajar bimbingan belajar itu?"

"Tidak...tidak apa-apa."

Sorot menenangkan terpancar di mata itu. Menguatkan hati Silvi yang rapuh. Memberi damai di sudut jiwanya.

**      

Ada cinta yang sejati

Ada sayang yang abadi

Walau kau masih memikirkannya

Aku masih berharap

Kau milikku (Isyana Sarasvati-Masih Berharap ost Ayat-Ayat Cinta 2).

**       

https://www.youtube.com/watch?v=fp0hIhv_3Oo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun