Jemari tangan Calvin mengangkat dagu istrinya dengan lembut. Praktis mata Rossie bertatapan dengan mata Calvin.
"Apa keuntungannya?"
"Keuntungannya, rumah kita akan ramai sepanjang hari oleh keceriaan anak-anak. Kita bisa dipercaya para orang tua bekerja yang menitipkan anaknya. Allah membalas amal kita dengan pahala karena telah merawat anak-anak."
Senyum sadis bermain di bibir Rossie. Dipalingkannya wajah. Enggan berlama-lama menatap suaminya. Bukan karena Calvin jelek, justru karena ia tidak tahan melihat wajah amat tampan yang memancarkan ketulusan.
"Tumben sekali petinggi perusahaan kapitalis macam kamu memikirkan keuntungan seperti itu. Bukankah orang-orang sepertimu hanya mementingkan uang?" tandas Rossie.
"Tidak juga. Tidak semua hal bisa diukur dengan uang, Rossie Sayang." Calvin lembut memberi pengertian.
Dengan kesal, Rossie mengentakkan sepatunya ke lantai. "Kalau Reinhard dan teman-temanku para mantan Frater yang berkata begitu, aku percaya! Tapi kalau kamu? Jangan harap aku percaya!"
"Pilihanmu untuk percaya atau tidak, Rossie."
Aneh sekali. Calvin tetap lembut di bawah sikap keras Rossie.
Berminggu-minggu lamanya, Calvin dan Rossie fokus mempersiapkan bisnis daycare mereka. Banyak sekali yang harus mereka lakukan. Kata Calvin, bisnis daycare adalah bisnis kepercayaan. Bisnis cinta kasih, bisnis kesabaran. Sebab melibatkan anak-anak di dalamnya. Anak-anak yang butuh dikasihi, dijaga, dan disayangi. Rossie sepemikiran dengannya.
Klien pertama mereka adalah teman dekat Calvin dan Rossie sesama model. Sepasang suami-istri yang bekerja di dunia modeling dan entertainment. Lantaran kesibukan yang cukup padat, mereka tak bisa full time bersama anak tunggal mereka yang baru berumur satu tahun. Begitu mendapat informasi tentang Calv-Rose Daycare, langsung saja mereka mempercayakan anak perempuan berparas cantik itu ke tangan Calvin dan Rossie.