Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Selamat Ulang Tahun, Cinta

17 Desember 2017   05:49 Diperbarui: 17 Desember 2017   08:49 1242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pergilah kau

Pergi dari hidupku

Bawalah semua rasa bersalahmu

Pergilah kau

Pergi dari hidupku

Bawalah rahasiamu yang tak ingin kuketahui (Sherina-Pergilah Kau).


**      

"Pergi! Keluarga kami tidak menerima calon menantu sepertimu! Pergi!"

Wanita pertengahan 50 tahun itu berteriak marah. Mengangkat pajangan kristal, bersiap melemparnya. Pria berkepala botak di sisinya mengepalkan tangan. Menatap nanar pria lain yang jauh lebih muda. Pria yang lebih muda itu berdiri di pintu, wajah tampannya tertunduk dalam.

"Silvi tidak boleh menikah dengan laki-laki mandul dan berdarah pengkhianat sepertimu!" hardik si lelaki botak penuh amarah.

Ini sebuah penghinaan. Vonis mandul itu memang benar. Pria tampan di depan pintu itu memang kurang beruntung. Belum menikah saja sudah dihadapkan pahitnya vonis infertilitas. Statement kedua, darah pengkhianat. Tidak, itu tidak benar. Ayahnya memang pejabat dan pengusaha bermental jahat. Pengkhianat istri pertama dan keluarga. Dia sendiri adalah anak istri kedua. Tepatnya istri simpanan ayahnya. Namun ia berbeda seratus delapan puluh derajat dengan sang ayah.

"Papa, jangan usir Calvin! Calvin Wan tidak seperti Arya Reinhard! Tolong Pa, jangan usir Calvin! Izinkan Calvin menikah dengan Silvi!"

Gadis cantik berambut keriting spiral dan berkulit putih itu menuruni tangga dengan langkah panjang. Tertatih menghampiri kedua orang tua dan pria pemilik hatinya. Ada bekas air mata di wajah putihnya. Lengannya terentang, lalu ia melempar diri ke pelukan Calvin.

"Calvin, aku tetap mencintaimu. Bagaimana pun kondisi kesehatan dan latar belakangmu. Kamu sempurna di mataku."

Calvin dan Silvi berpelukan. Ada luka dalam tatapan mata Calvin. Ada perih yang terpancar di mata sipitnya. Gurat kesedihan dan ketegaran terukir dalam di wajah oriental itu. Wajah oriental yang sangat dicintai Silvi.

"Silvi, maaf..." lirih Calvin. Membelai-belai rambut, punggung, dan kedua tangan gadis blasteran Jawa-Skotlandia itu.

"Mengapa harus minta maaf?" tanya Silvi.

"Aku hanya bisa membuatmu susah. Membuatmu sedih. Karena aku, kamu bertengkar dengan keluargamu. Maaf..."

Sesuatu yang pedih menggores hati Silvi. Selalu saja Calvin menyalahkan dirinya sendiri. Semua ini bukan salahnya. Terlahir sebagai anak istri simpanan, memiliki penyakit katastropik yang sulit disembuhkan, dan menghadapi vonis infertilitas. Siapa yang menginginkannya? Ini hanyalah takdir. Takdir yang harus dihadapi Calvin.

"Kamu kuat, Calvin. Kamu pria paling tegar yang kukenal. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu mencintaimu. Selalu..."

"Cukup! Lepaskan anak saya! Keluar dari rumah ini, dan jangan kembali lagi!"

Teriakan sepasang suami-istri paruh baya itu menyentakkan momen indah mereka. Si lelaki botak menarik paksa lengan Silvi, membuat pelukannya dengan Calvin terlepas. Silvi berteriak tak terima. Kesedihan mencabik hatinya.

Hati Calvin jauh lebih hancur lagi. Dengan hati hancur, luka dalam jiwa, dan perih di perasaannya, ia melangkah menuruni anak tangga marmer. Menuju mobilnya, membuka pintu, dan melarikan Mercy-nya sejauh mungkin dari rumah Silvi. Selamat tinggal belahan jiwanya. Selamat tinggal permata hatinya.

**       

Bagaimana harus kulupakan semua

Saat hati memanggil namamu

Atau harus kurelakan kenyataan

Kita memang tak sejalan

Namun kau adalah

Pemilik hatiku (Calvin Jeremy-Pemilik Hatiku).

**     

Ini lagu kenangan mereka berdua. Sejak awal Calvin dan Silvi berkenalan, lagu inilah soundtrack kisah cinta mereka.

Sebuah perkenalan yang aneh. Berawal dari artikel-artikel inspiratif di sebuah media jurnalisme warga. Dua kontributor aktif dan charming. Saling tebar pesona dengan model artikel cantik dan artikel charming.

Berlanjut pada penyembuhan luka hati. Silvi yang terluka disembuhkan oleh kehadiran Calvin. Disusul penjebakan diri pada sesuatu yang rumit.

Kerumitan berlalu selama setengah tahun. Entahlah, segalanya absurd bagi Calvin dan Silvi. Rahasia demi rahasia terungkap.

Sampai akhirnya mereka tiba di titik ini: penyatuan dan halangan besar. Halangan itu justru datang dari orang tua Silvi. Mereka pasangan suami-istri konservatif. Masih melihat seseorang dari bibit, bebet, bobot, dan masa lalunya. Mereka menyelidiki dan menelusuri siapa Calvin sebenarnya. Putra semata wayang hasil pernikahan campur Jawa-Tionghoa. Pernikahan di bawah tangan karena Calvin Wan, mantan Koko-Cici DKI Jakarta sekaligus manager dan blogger super tampan itu, hanyalah anak istri simpanan.

Lebih dari itu. Karier dan wajah sempurna tak bisa diimbangi dengan kesehatan sempurna pula. Penyakit katastropik yang belum juga sembuh, dan vonis infertilitas, membuat kepercayaan keluarga hancur seketika. Calvin di-blacklist oleh kedua orang tua Silvi.

Kini, Silvi kembali patah hati. Terpisah dengan belahan jiwa. Terhalang restu dan sulitnya penerimaan hati.

"Calvin...I miss you. Hati ini selalu milikmu. Sekalipun aku tak bersamamu."

Silvi menangis. Memeluk boneka-bonekanya satu per satu. Mengadukan penat dan letihnya jiwa hanya pada mereka.

Sejurus kemudian dibukanya Alquran. Dibacanya surah favoritnya: Al-Ikhlas. Surah yang tidak ada kata ikhlasnya, namun ia sangat suka. Justru di situlah letak keikhlasannya. Menebar keikhlasan, kemurnian, ketulusan tanpa kata ikhlas.

Tepat ketika ayat keempat selesai dibaca, pintu kamar terbuka. Ibunya datang. Membawakan gaun cantik perpaduan warna magenta. Bukan warna favorit Silvi. Ia lebih menyukai warna putih.

"Silvi, ayo turun Sayang. Calon tunanganmu sudah datang."

Calon tunangan? Apa ini? Dia tak mau dijodohkan dengan siapa pun. Silvi Mauriska tetaplah milik Calvin Wan.

"Ayo Nak, dia sudah menunggu."

Dengan halus dan penuh kekuatan, sang ibu menggandeng tangan putrinya keluar kamar. Silvi melepaskan tangan ibunya. Tidak, ia tak mau. Jangan harap ia mau dijodohkan dengan siapa pun. Hatinya milik Calvin, bukan milik pria lain.

**      

Kenyataan yang ada

Tak cukup sanggup menghapuskan cinta

Meski kita berbeda

Namun rasa ini kan terus ada

Biarlah rintangan menghadang

Pastikan kita seirama

Mengenang kisah kita berdua (Calvvin Jeremy-Nostalgia).

**      

Calvin memainkan pianonya dengan kalut. Jika Silvi terluka, ia jauh lebih hancur lagi. Perpisahan ini merobek hatinya. Meninggalkan luka besar di jiwanya. Luka yang jauh lebih besar dibanding vonis dokter beberapa bulan lalu.

Bermain piano tak cukup melampiaskan gundah. Pria tampan itu beranjak bangkit. Membuka laci, lalu mengeluarkan tumpukan amplop berlogo rumah sakit. Menatap nanar lembar-lembar hasil medical check up. Tanpa pikir panjang, merobeknya. Membuang robekan-robekan kertas laknat itu ke tempat sampah.

Pedihnya akan pergi bersamaan dengan hilangnya hasil check up itu. Nyatanya tidak. Calvin justru kian terpuruk dalam kesedihan. Mengapa takdir hidupnya harus sepahit ini?

Sejak kecil, dirinya dibully dan dipanggil dengan sebutan aneh-aneh. Calvin dan Mamanya tinggal di sebuah villa mewah. Jauh dari metropolitan, aman dari sorotan blitz kamera dan santapan mangsa empuk insan media. Di tempat seperti itulah para pejabat dan pengusaha kaya menempatkan istri simpanan mereka.

Namun, tetap saja Calvin tertekan. Warga sekitar villa sudah mendeteksi gelagat tak beres. Mereka pun menjaga jarak. Menebarkan bisik-bisik negatif ke telinga anak-anak mereka. Praktis Calvin tak punya teman. Tak ada yang mau bermain dan berteman dengannya.

Masa kecil dan remajanya penuh pergolakan hati dan kepedihan. Sampai akhirnya Calvin keluar dari villa dan hidup terpisah dari Mamanya. Ia kecewa pada sang Mama yang enggan melepas suami terlarangnya hanya karena mendamba kemewahan. Dengan kekuatan hati, Calvin meninggalkan semua kemewahan itu. Pergi selamanya dari villa penuh derita cinta.

Selangkah demi selangkah, Calvin menata hidupnya. Sampai akhirnya meraih sukses atas karier dan asmara. Namun bahagianya tak berlangsung lama. Baru saja merasakan manisnya kebahagiaan, sebuah penyakit merampas harapannya. Sebuah vonis menyakitkan akibat dampak buruk dari penyakit itu menggerogoti jiwanya dengan kesedihan yang jauh lebih parah.

Kini, sempurnalah kekelaman hidupnya. Cintanya telah pergi. Ia terpaksa terpisah dengan Silvi.

Membuang hasil medical check up rupanya tak cukup. Ia mengumpulkan foto, lukisan, baju, pembatas buku, kotak musik, arloji, dan benda-benda kenangannya dengan Silvi. Semuanya harus segera dimusnahkan. Membakarnya adalah jalan tercepat.

Belum sempat niat terlaksana, ribuan jarum jahat serasa menusuk pinggang dan perut bagian bawahnya. Pastilah organ di baliknya bermasalah lagi. Percuma saja Hemodialisa dan obat-obatan yang ditelannya. Calvin membungkuk, seolah akan muntah. Dan...sedetik kemudian ia benar-benar muntah. Darah segar menodai karpet. Beberapa tetesnya menjatuhi foto Silvi. Foto Silvi ternoda darah.

Noda darah itu seakan mewakili kesedihan. Kesedihan yang berpadu dengan kepedihan. Apa yang menyenangkan dari hidupnya? Tidak ada. Semuanya telah hancur. Apa yang indah dari hidupnya? Tidak ada.

**        

Ada cinta yang sejati

Ada sayang yang abadi

Walau kau masih memikirkannya

Aku masih berharap kau milikku (Isyana Sarasvati-Masih Berharap).

**      

9 Desember, hari ulang tahunnya. Tidak menulis, tidak membuat janji dengan siapa pun, meminimalisir interaksi dengan semua orang. Di hari ulang tahunnya, Calvin hanya ingin sendiri. Merefleksikan diri dan pengalaman hidupnya.

Ironisnya, 9 Desember adalah hari pernikahan Silvi. Perjodohan Silvi dan Revan Tendean, pria berdarah campuran Indonesia-Inggris itu, telah diatur sedemikian rupa. Revan dan Silvi akan menikah hari ini.

Calvin menatap nanar invitation card berwarna putih dengan hiasan pita dan bunga mungil di pinggirnya. Kartu undangan yang cantik. Ia takkan sanggup memenuhi undangan itu.

Siapa yang sanggup melihat wanita yang dicintainya menikah dengan pria lain? Kerapuhan hati Calvin menahannya untuk menghadiri perhelatan itu. Ia takkan datang ke pernikahan Silvi.

Pernikahan Silvi adalah hadiah ulang tahun terburuk baginya. Di antara sekian banyak kesedihan dalam hidupnya, di sinilah klimaksnya. Calvin berduka, sungguh berduka.

Laptop ia buka. Ia kunjungi halaman profil blognya. Membaca ulang artikel terbarunya. Kemarin dia menulis tentang uang dingin dalam investasi. Ilmu baru bagi pembaca. Brilian. Artikel utama rewardnya. Ini sedikit menghibur hatinya. Meringankan beban yang menyesaki pikirannya.

Bel pintu berbunyi. Siapa yang bertamu pagi-pagi begini? Bukankah tidak ada yang ingin ditemuinya? Mungkin itu Mamanya, atau kurir pengantar paket. Bisa jadi ayahnya. Opsi yang terakhir ini kecil sekali kemungkinannya. Hati diliputi keraguan, langkah sedikit enggan, Calvin membuka pintu.

Pintu perlahan terbuka. Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Calvin terperangah. Wanita yang diharapkannya muncul. Nampak begitu cantik dalam balutan bridal dress berwarna putih bersih. Rambut panjangnya dijalin dan diangkat tinggi, hairpiece putih berformat kepingan salju menghiasi tepinya. Masih bolehkah Calvin berharap memilikinya? Bukankah wanita cantik ini akan menikah? Silvi, cantik dan charming, berdiri tepat di depan Calvin. Calvin, meski letih dan pakaiannya tak semodis biasanya, tetap terlihat tampan dan menawan.

"Ada cinta yang sejati...ada sayang yang abadi. Seperti cinta dan sayangku padamu. Masihkah kamu memikirkanku, Calvin?" ujar Silvi lembut.

"Silvi..." Calvin bergumam lirih, kehilangan kata-kata.

Sebuah pelukan hangat. Sebuah kecupan lembut. Silvi memeluknya. Erat, sangat erat. Calvin tersadar. Tanggal 9 adalah tanggal kelahiran Calvin dan Silvi. Calvin 9 Desember, Silvi 9 September. Sebuah energi hati dan sebentuk energi cinta telah menyatukan Silvi Mauriska dan Calvin Wan.

"Selamat ulang tahun, Cinta. Hatiku telah memilih. Ayo kita menikah."

**      

Kuterimakan keadaanku

Mencintaimu tanpa mampu memiliki

Kau yang terindah

Mengisi aku

Di sendiriku

Seperti tinta biru

Tyang takkan terhapus di hatiku (Isyana Sarasvati-Kuterimakan).

**      

Prang!

Pigura-pigura foto itu jatuh dan pecah. Dilemparkan oleh sepasang tangan dengan kekuatan penuh. Silvi menatap nanar pecahan pigura berikut foto di dalamnya, lalu berjalan pergi. Membanting pintu hingga menutup.

Enam tahun. Ya, sudah enam tahun berlalu. Pernikahan yang akhirnya disetujui, pihak keluarga luluh meski satu-dua bisikan sinis masih terdengar. Meski beberapa pasang mata masih melebar tak percaya melihat betapa beraninya Calvin melamar wanita secantik Silvi.

"Kamu terlalu cantik untuk Calvin. Dia tak pantas untukmu." Beberapa sepupu berkomentar miring. Benci setengah mati pada ipar mereka yang rupawan itu.

Benarkah Silvi terlalu cantik untuk Calvin? Entahlah, yang jelas bukan itu alasan Silvi ingin berpisah dengan Calvin di tahun keenam pernikahan mereka.

Mendengar bunyi barang pecah, Calvin terbangun. Sesaat tadi ia tertidur di sofa. Tubuhnya penat. Ditambah lagi rasa sakit luar biasa itu. Ia tak kuat, lalu memutuskan tidur sejenak setelah shalat dan menulis laporan.

"Silvi, what's the matter..."

Kalimatnya menggantung di udara. Seperti dongeng yang tak terselesaikan karena yang didongengi sudah lebih dulu tertidur.

"Kamu masih tanya ada masalah apa?! Coba pikir sendiri, Calvin Wan!" teriak Silvi marah.

"Sejak lama, selalu aku yang salah. Ada apa, Silvi?" tanya Calvin lembut.

Dengan wajah berurai air mata, Silvi membanting amplop berlogo rumah sakit. Nampaknya seperti hasil medical check up. Calvin mengambilnya, membukanya, dan wajahnya bertambah pias.

"Kamu tidak pernah serius dengan pengobatanmu! Divonis infertilitas boleh saja, tapi mana keseriusanmu?! Kamu selalu setengah-setengah dalam berobat! Tidak pernah serius saat menjalani terapi!"

Kata-kata penuh amarah berhamburan. Silvi tak mampu lagi menahan emosinya. Dianggapnya Calvin tak pernah serius untuk berobat.

"Silvi, demi Allah aku serius menjalani pengobatan ini. Kuturuti semua saran dokter. Aku jalani terapi hormon, konseling, dan konsumsi antibiotik itu. Aku bahkan tak peduli, ginjalku semakin rusak gegara konsumsi obat dalam jangka panjang. Demi kamu, Silvi. Bukankah kamu ingin punya keturunan? Bukankah kamu ingin punya anak dariku?" jelas Calvin, berusaha membela dirinya.

"Tidak! Kamu tidak pernah memahamiku tentang keinginan itu! Jangan harap kamu sudah bisa memahamiku, Calvin Wan!" Silvi berseru marah. Air mata terus mengalir ke pipinya.

Mungkin ini kelemahannya. Mungkin ini kekurangan Calvin yang belum bisa diterima Silvi. Dalam gerakan slow motion, Calvin mendekati istrinya. Hendak memeluknya, namun sang istri mendorong tubuhnya.

"Well...aku memang belum bisa memahamimu. Masih butuh waktu, Silvi. Maaf...tapi aku berusaha memahamimu. Selalu berusaha...maaf sudah membuatmu kecewa."

Silvi memalingkan wajah. Dia sudah tak tahan. Enam tahun tanpa perubahan. Enam tahun pernikahan mereka begitu hampa. Tanpa hadirnya anak. Calvin tak mampu membuat Silvi meneruskan keturunan mereka. Kondisi Calvin terlalu lemah.

"Ini semua gara-gara kamu! Dari awal, kamu hanya ikhlas, ikhlas, dan ikhlas tanpa berusaha! Katamu, kamu mencoba menerima kenyataan! Menerima kenyataan tanpa ada usaha untuk mengobatinya!" Silvi melanjutkan aksinya memprotes suami super tampannya.

"Silvi, aku sudah berusaha. Kenapa kamu tidak percaya padaku?" tanya Calvin, sedikit keputusasaan menghiasi wajahnya.

"Tidak, kamu tidak pernah berusaha." sela Silvi dingin.

"Revan Tendean jauh lebih baik."

"Siapa itu Revan?" Calvin bertanya, alisnya terangkat.

Sebagai jawaban, Silvi mengambil sebuah buklet. Menunjukkan foto-foto para peragawan, peragawati, dan alumni duta wisata. Ada foto Silvi di antaranya. Lalu terpampang foto seorang pria berkulit putih dan berdagu lancip. Pria itu berwajah Indo, tampan sekali. Sekilas dia jauh lebih tampan dari Calvin.

Ingatan Calvin memutar sekeping memori. Revan adalah mantan kekasih Silvi. Pria yang dulunya akan dijodohkan dengan istri cantiknya itu.

"Ok fine...kalau kamu ingin menarik kembali pilihanmu, aku ikhlas." lirih Calvin, wajahnya tertunduk.

Buklet di tangan Silvi bernasib sama seperti amplop dari rumah sakit. Jatuh menghantam lantai. Inilah yang tidak disukainya dari Calvin. Calvin selalu membuatnya kecewa, selalu mengulangi kesalahan yang sama. Mengaku belum memahami Silvi sepenuhnya. Namun, mengapa kesalahan yang sama terus diulang? Silvi membenci sekaligus mencintai Calvin. Hanya sisa cintanya yang membuatnya terus bertahan dengan Calvin hingga detik ini.

"Kudengar Revan belum menikah sampai sekarang. Sepertinya dia masih menunggumu. Kalau kamu masih mencintainya, aku ikhlas. Aku hargai apa pun pilihanmu." Calvin berujar lembut, tak nampak tanda-tanda kemarahan.

Kelembutan palsu, pikir Silvi geram. Calvin sungguh tak pernah mengerti dirinya. Ia benci dan kecewa sekali pada pria oriental ini. Namun di sisi lain masih cinta.

9 Desember pun bukan hanya tanggal pernikahan mereka, melainkan tanggal perceraian mereka. Silvi sudah tak mampu lagi menjalani semuanya dengan Calvin. Terlalu berat, terlalu banyak yang mengecewakan. Calvin terus-menerus kesulitan memahaminya. Apa susahnya bagi pria memahami wanita? Revan saja mampu memahami Silvi. Calvin sudah kelewatan di mata Silvi.

Pada teman-teman dan keluarga besarnya, Silvi mengakui penyebab perceraiannya dengan Calvin karena vonis infertilitas. Calvin tak bisa sembuh. Padahal ada alasan lain yang lebih krusial: kurangnya pemahaman dan pengertian dari Calvin.

Lalu, bagaimana dengan anak istri simpanan dan pria yang divonis mandul itu? Calvin berjiwa besar menerima keputusan Silvi. Merelakan Silvi bersama pilihannya. Mengikhlaskan Silvi kembali pada Revan. Mungkin dirinya yang salah. Pria yang terlahir sebagai anak tidak sah, anak haram, anak istri simpanan sepertinya memang tak layak bahagia. Tak layak mendapatkan jodoh yang baik, tak pantas meneruskan keturunan.

Hati Calvin pedih luar biasa. Dia hanya bisa ikhlas dan menerima. Pengobatan tetap ia lanjutkan. Meski tanpa hadirnya Silvi di sisinya.

Pedihnya hati Calvin tak sebanding dengan pedihnya jiwa Silvi. Ia kecewa, namun masih mencinta. Walau sudah tak tahan lagi hidup bersama mantan suami super tampannya. Calvin sudah terlalu banyak mengecewakannya. Sudah terlalu banyak membuatnya sakit hati. Entah sengaja atau tidak. Kecewa yang menyakitkan memaksa Silvi merenggut kebahagiaan dan cinta Calvin. Calvin tak pernah sempurna mengerti dirinya. Selalu saja, sebuah pemahaman menjadi sebuah ketiadaan. Calvin tak mengerti, sungguh tak pernah mengerti dengan Silvi.

**       

Ku telah kehilangan jejak kakimu

Entah kemanakah diriku yang dulu selalu mencintai

Melekatnya hati di antara kita berdua

Cakap canda tawa tangis kita

Ttak akan pernah hilang

Janji-janji kita

Tiada kata akhir untuk pintu harapan ini

Tak kulepas semua mimpi indah kita

Walau itu semua pudar

Seperti ini hanyalah mimpi (Isyana Sarasvati-Mimpi).

**     

Nyonya Lola Purnama larut dalam kesedihan. Wanita 75 tahun yang masih cantik itu menangis. Memeluk putranya, anak tunggalnya. Satu-satunya permata hati yang ia miliki.

Calvin balas memeluk Nyonya Lola. Menghapus air mata ibu kandungnya. Lembut membisikkan kata-kata penghiburan. Membasuh luka hati Mamanya dengan cinta kasih.

"Mungkin ini berat...tapi aku yakin, nanti Mama akan mengerti. Mengerti bagaimana keadaanku. Aku hanya pria mandul yang terlahir dari pernikahan di bawah tangan. Mungkin anak haram sepertiku tidak akan layak mendapat jodoh sebaik Silvi. Sudah takdirku, Ma..." ujar Calvin lembut, teramat lembut.

"Tapi kenapa harus begini? Kenapa Silvi setega itu padamu? Setelah usahamu selama ini?" isak Nyonya Lola.

Sesaat tadi, wanita berumur yang masih jelita itu berteriak. Tak rela putranya ditinggalkan mantan istrinya. Menangis, menyesali takdir yang menimpa Calvin.

Dengan sabar, Calvin mencoba memberi pengertian pada Nyonya Lola. Lembut sekali ketika ia meyakinkan Mamanya bahwa ini semua adalah takdir. Mungkin dirinya memang tak diizinkan menikah. Mungkin tidak seharusnya ia menikahi Silvi. Calvin sendiri sudah ikhlas. Mulai bisa menerima kenyataan.

"Kamu masih punya harapan, Sayang. Kamu masih punya harapan..." bisik Nyonya Lola.

"Iya, Ma. Harapan itu masih ada." Calvin bergumam mengiyakan, lembut menghapus air mata Nyonya Lola.

Benar, ini takdirnya. Takdir untuk hidup sendiri tanpa menikah dan tanpa anak. Kariernya boleh saja sukses, namun cintanya tidak. Calvin harus rela menjalani sisa hidupnya dalam kesepian. Setelah perpisahan dengan Silvi, tak mau ia menikah lagi. Jangan sampai ada wanita lain yang tersakiti.

Bayangan wajah Silvi terlintas di benaknya. Masihkah Silvi memendam kecewa padanya? Mungkin dia sudah berbuat banyak kesalahan, entah sengaja atau tidak. Silvilah yang tahu. Sebab dia yang merasakan kecewa dan sakitnya. Bila Silvi sudah terlanjur kecewa dan keputusan finalnya addalah berpisah, Calvin tak bisa berbuat apa-apa. Kecewakah Silvi karena perhatiannya yang masih kurang? Ataukah Silvi memendam kecewa karena perbuatan dan perkataannya? Misteri, sungguh hanya Silvi sendiri yang mengetahuinya. Apakah Silvi mengharapkan Calvin Wan sesempurna Revan Tendean?

**      

Paris van Java, 16 Desember 2017

Tulisan cantik di atas serpih-serpih kekecewaan. Kecewa yang masih ditahan dengan rasa.

**     

https://www.youtube.com/watch?v=a0sVBoYGBE4

https://www.youtube.com/watch?v=keJMpdfEPUw

https://www.youtube.com/watch?v=_UoAAXrvziA

https://www.youtube.com/watch?v=fp0hIhv_3Oo

https://www.youtube.com/watch?v=h3qUXuqkVak

https://www.youtube.com/watch?v=yaaQsPbxuyY

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun