Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ku Ungkapkan Perasaanku Melalui Tulisan

6 November 2017   05:56 Diperbarui: 6 November 2017   09:46 2435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejak kemarin, saya demam. Tapi saya bertekad tetap one day one article. Sakit bukan berarti inkonsisten, kan? Toh bukan penyakit yang membahayakan hidup, dan saya enggan mengatakannya pada siapa pun kecuali lewat tulisan. Karena saya tahu, takkan ada yang peduli.

Kali ini saya tidak ingin menulis fiksi. Menulis fiksi justru berat bagi saya di saat seperti ini. Lagi pula saya tidak punya energi untuk merangkai kata indah, menyanyikan lagu yang akan digunakan sebagai unsur musikal dalam kisah, dan bermain piano. So, saya tak mau yang berat-berat. Cukup menulis hal ringan saja.

Saya pribadi menjadikan kebiasaan menulis sebagai media katarsis, ajang berbagi, ibadah, dan tabungan amal kebaikan. Dalam agama yang saya anut, ada tiga amalan yang takkan putus sampai pelakunya meninggal: amal jariyah, ilmu bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan. Membuat tulisan dan mempublikasikannya akan memberikan sumbangan ilmu bagi para pembacanya. Meski saya tak tahu, tulisan-tulisan saya ini bermanfaat atau tidak.

Saya yakin, tiap Kompasianer di sini pasti punya motivasi tersendiri untuk menulis. Entah itu menulis pengalaman atau berbagi informasi. Di atas itu semua, menulis dapat digunakan sebagai terapi jiwa. Menulis efektif untuk mencurahkan ekspresi, gagasan, isi hati, dan membebaskan jiwa dari emosi negatif serta perasaan destruktif bagi jiwa itu sendiri. Dengan menulis, kita telah melakukan media katarsis. Secara psikologis, menulis membantu proses pelepasan emosi dan membuat orang yang melakukannya bangkit dari keterpurukan. Orang yang rajin menulis pun biasanya mampu melihat permasalahan dari sudut pandang berbeda, berpikiran luas, dan terbuka.

Bahasan yang mainstream ya. Sudah banyak yang mengulas tentang manfaat menulis sebagai terapi jiwa. Hanya sekilas saya membahasnya di sini, sebab saya punya tujuan lain. Maaf jika tujuan saya kurang bijak: kali ini saya menulis di Kompasiana untuk curhat. Boleh kan sekali-sekali curhat? Dari pada jadi penyakit, lebih baik dituangkan dalam tulisan. Toh saya juga kesepian dan tidak punya teman bicara. Hal-hal lain yang sebelumnya saya lakukan sebagai media katarsis belum memuaskan. Mungkin dengan menulis, saya menemukan kepuasan. Saya sudah tidak peduli lagi bahwa tulisan saya ini bisa menjadi jejak digital yang tak mungkin hilang, bahkan saya tak peduli bila ada yang marah dan tersinggung dengan tulisan saya. Kalau ada yang marah dan sakit hati, saya bisa lebih marah dan sakit hati lagi. Memangnya saya tidak bisa marah? Memangnya menulis dengan cantik itu mudah? Tidak, sama sekali tidak mudah.

Pertama, saya kecewa dengan informasi yang didapat dari seorang teman. Kata teman saya, laki-laki yang pernah membawa lari potongan hati saya dan tidak mengembalikannya sudah mengikrarkan kaul kekal. Prosesi pengikraran kaul kekal dilakukan tiga bulan lalu, dan saya baru tahu sekarang. Lebih lanjut, teman saya mengatakan bahwa prosesi ikrar kaul kekalnya dimuat di sebuah media. Bahkan saya dikirimi link beritanya.


Dunia kejam menggoda, dari 14 teman seangkatan hanya Frater Arif ucapkan kaul kekal http://penakatolik.com/2017/08/19/dunia-kejam-menggoda-dari-14-teman-seangkatan-hanya-frater-arif-ucapkan-kaul-kekal/ via @Pen@ Katolik

Berita itu membuat saya sedih dan kecewa. Terus terang saja, saya tidak mau berdusta pada perasaan saya sendiri. Selain itu, saya tersinggung dengan kata 'menggoda' di berita itu. Ada perasaan aneh dalam kata 'menggoda' itu. Kesannya negatif. Saya mencoba menganalisisnya sedikit demi sedikit dari sisi linguistik, psikolinguistik, semantik, dan pragmatik saat membaca berita itu. Meski saya belum ahli melakukannya. Hasilnya, saya menemukan bahwa berita ini berpihak pada calon rohaniwan yang masih bertahan dan mengikrarkan kaul kekal. Ada makna menyalahkan dalam kata 'menggoda' itu. Seakan semua calon yang telah keluar penyebab utamanya karena tergoda. Seakan ada hal-hal teertentu yang disalahkan dan layak disebut sebagai 'penggoda'. 

Dalam berita itu, beberapa kali saya menangkap penggunaan kata 'kawin' bukan menikah. Kata 'kawin' bersifat peyorasi, maknanya jauh lebih rendah dan kasar dibandingkan kata menikah. So, tertangkap makna bahwa para mantan biarawan yang lepas jubah dan menikah dianggap sebagai sesuatu yang rendah dan salah besar. Mantan biarawan yang gagal dianggap sebagai aib memalukan. 

Padahal tidak semua mantan biarawan lepas jubah karena ingin menikah. Ada pula yang kurang yakin dengan panggilannya, kurang puas dengan sistem formasi di dalam biara, konflik, tidak diizinkan keluarga, dan beragam alasan lainnya. Relasi dengan lawan jenis tidak jadi satu-satunya alasan untuk meninggalkan hidup religius.

Wajarkah bila saya tersinggung? Sebab seseorang yang dibicarakan dalam berita itu hingga kini masih mengisi hati saya. Apakah setelah ini saya akan dianggap wanita penggoda? Mungkin karena saya belum bisa menerima kenyataan. Mungkin pula karena sebagian hati saya masih menginginkan dia kembali. Padahal banyak orang berulang kali mengatakan pada saya, kalau saya bisa mendapatkan yang lebih baik dari dia. Yang lebih tampan, lebih charming, lebih baik, seiman, dan lebih kaya. 

Namun saya tak peduli. Sebab saya pribadi sulit diyakinkan dan sulit mempercayai orang lain. Saya terlanjur patah hati. Patah hati membawa saya pada rasa kesepian. Saya merasa tidak dicintai, tidak dipedulikan, dan tidak diinginkan kehadirannya. Saya pikir, buat apa cantik, dikenal orang, berprestasi, dan pintar tapi kesepian dan tidak dicintai? Kesepian bukanlah saat suasana sunyi, melainkan ketika tak ada satu pun yang mempedulikan dan mencintai kita.

Kedua, saya tak habis pikir dengan keluarga besar. Hari Sabtu kemarin, terjadi diskusi kecil di antara keluarga saya. Salah satu anggota keluarga akan menikah. Pernikahannya berlangsung sebulan lagi. Masalah prosesi, schedule, make up, sampai baju dibicarakan tuntas. Lalu, mulailah dipilih siapa-siapa yang akan bertugas di pesta pernikahan. 

Ada saudara-saudara saya yang menjadi penjaga suvenir, bridesmaid, groomsman, menjaga rumah keluarga selama acara pernikahan berlangsung, dll. Semua nama sudah diumumkan. Saya harap-harap cemas, amat berharap bila saya menjadi bridesmaid. Sudah lama saya ingin menjadi bridesmaid. Posisi yang saya idam-idamkan sejak lama. 

Sayangnya, sampai pembagian tugas itu selesai, nama saya tak disebut. Saya kaget dan sedih. Apakah keluarga besar tidak mempercayai saya? Apakah saya sebegitu tidak bergunanya sehingga tidak mendapatkan tugas apa-apa saat keluarga besar punya acara? Apakah seorang wanita bermata aneh yang tidak bisa melihat dengan utuh tidak boleh menjadi bridesmaid?

Satu-satunya orang di ruangan itu yang mengerti kekecewaan saya adalah Mama. Mama memeluk saya, lalu berkata. "Nanti kalo Sarah nikah, kamu jadi bridesmaid. Okey? Begitu juga kalo Clara yang nikah." Saya hanya diam dan tak menjawab. Sepertinya Mama mencintai saya. Cara mencintainya adalah dengan memberi tanggung jawab. Saya dilatih untuk mandiri dan bertanggung jawab. Sebenarnya, saya menginginkan tugas tertentu di pernikahan sepupu saya pun karena saya ingin punya tanggung jawab di sana. Akhirnya, entah apa yang Mama lakukan, dengan tiba-tiba ibu dari sepupu saya itu berkata.

"Ya sudah, Maurinta pertama-tama jaga suvenir. Nah, nanti gabung sama wedding singer. Jadi wedding singer juga."

Mama saya tersenyum senang. Kata Mama, saya disuruh berlatih lagu-lagu cinta yang sering menjadi top 10 lagu yang kerap kali dibawakan dalam acara wedding. Saya lebih kaget lagi. Awalnya saya ingin jadi bridesmaid, sekarang saya malah punya tugas dobel: menjaga suvenir dan menyanyi. Kebetulan ayah dari sepupu yang akan menikah itu dulunya mantan personel grup band. Teman-temannya sesama anggota grup band akan datang dan meramaikan acara wedding itu.

Di sisi lain, saya senang karena diberi tanggung jawab. Namun di sisi yang berbeda, saya tak habis pikir kenapa tidak boleh menjadi bridesmaid. Apakah keluarga besar akan malu jika saya jadi bridesmaid? Apakah saya tidak layak jadi bridesmaid? Menurut saya, penting untuk menjadi bridesmaid karena ini bisa menjadi ajang pembuktian diri. Bahwa wanita bermata biru dan tidak bisa melihat dengan utuh seperti saya pasti bisa. Tidak hanya berdiam diri saja tanpa melakukan apa-apa. 

Wanita seperti saya ini sering ditindas, direndahkan, didiskriminasi, diremehkan, dan dibully. Hanya kebetulan saya tidak pernah merasakan, karena sejak kecil saya terlatih melewati segala kesulitan, mengasah kualitas diri, dan berani tampil beda. Belajar modeling saja bisa, kenapa jadi bridesmaid saja tidak bisa? Intinya, saya ingin memberi contoh kalau wanita seperti saya ini harus berani dan bisa seperti wanita lainnya yang berpenglihatan normal. 

Menjadi bridesmaid adalah salah satu ajang pembuktian diri. Namun saya harus menunggu pernikahan Sarah dan Clara jika ingin menjadi bridesmaid. Mungkin sepupu saya takut pernikahannya rusak karena saya jadi bridesmaidnya. Sepertinya malu punya sepupu seperti saya. Entahlah, yang jelas saya harus bertanggung jawab dengan tugas baru ini.

Hal ini pun terus berulang dari tahun ke tahun. Tiap kali kumpul keluarga besar, saya tak pernah dilibatkan untuk membantu ini-itu seperti yang lainnya. Membantu beres-beres atau apa. Saya pastilah disuruh duduk saja, kalau tidak disuruh mencicipi makanan. Berbeda jika Mama saya yang mengadakan acara di rumah. Saya diberi tanggung jawab, dilibatkan untuk membantu. 

Pokoknya saya diajarkan soal tanggung jawab, dan saya suka itu. Papa saya sama saja seperti anggota keluarga lainnya. Lebih suka menyuruh saya duduk manis dan meminta seseorang menemani saya. Yang ada, saya malah kesepian. Makanya saya senang sekali saat di sekolah dan kampus beberapa kali diamanahi memimpin suatu tim. Baik itu tim vokal grup maupun tim penelitian. Sebab saya melatih diri saya sendiri untuk mandiri dan bertanggung jawab.

Kompasianer, kini perasaan saya sudah lebih tenang. Saya senang bisa curhat lewat tulisan. So, apa respon kalian?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun