Cerpen “Buk Ruminyam” karya Marliana Kuswanti menggambarkan bagaimana sudut pandang sosial yang dibangun dan diwariskan melalui gosip dan fitnah.
Dalam cerpen ini dihadirkan sebuah kisah seorang ibu dan anak perempuannya Mirna, yang menjadi sasaran fitnah dan gosip dari seorang tetangga yang bernama Buk Ruminyam.Mirna seorang perempuan yang belum menikah terus-menerus menjadi bahan gosip bagi Buk Ruminyam dan tetangga lainnya lantaran belum memiliki pasangan dan belum menikah dia sering di cap sebagai "perawan tua" bahkan seringkali dianggap mendapat "karma" akibat masa lalu ibunya. Gosip yang ditimbulkan kerap menjadi kekerasan verbal bagi Mirna, tetapi juga menjadi bagaimana cara masyarakat menganggap pernikahan sebagai salah satu cara pandang perempuan di masyarakat.Hal ini sejalan dengan kritik feminisme terhadap budaya dimana perempuan dinilai bukan dari intelektual dan keunggulan nilai moral pribadinya tetapi dari status pernikahannya dan bentuk tubuhnya.
Cerpen ini juga memunculkan internalized misogyny. Hal tersebut terjadi ketika perempuan, baik secara sadar maupun tidak, mengadopsi nilai-nilai patriarki dan menggunakannya untuk menilai atau merendahkan perempuan.Hal tersebut ditunjukkan oleh Bagaimana sikap Ruminyam yang menyimpan dendam karena pernah mencintai ayah Mirna tetapi cintanya tidak terbalas. Kekecewaan itu menjelma menjadi kebencian terhadap ibu Mirna dan Mirna. Alih-alih menyembuhkan luka, Bu Ruminyam memilih untuk menyebarkan gosip dan finah yang menjatuhkan sesama perempuan lain.
Namun didalam cerpen tersebut terdapat perlawanan yang ditunjukkan oleh ibu Mirna.Dalam cerita tersebut dia tidak membalas fitnah yang telah disebarkan oleh Buk Ruminyam melainkan memilih untuk diam tidak meladeninya dan menasihati anaknya Mirna.Diam bukan berarti dia lemah tetapi digambarkan sebagai sikap untuk menjaga martabat.Perilaku ibu Mirna sejalan dengan gagasan feminisme kultural yang menghargai nilai-nilai seperti empati dan ketenangan sebagai bentuk kekuatan khas perempuan.
Melalui pendekatan feminisme dalam cerpen tersebut cerita itu tidak hanya menggambarkan konflik antara individu tetapi juga menunjukkan bagaimana penindasan terhadap perempuan yang sering terjadi masyarakat melalui gosip yang terjadi turun-temurun.
Dengan demikian, cerpen Bu Ruminyam adalah bercerita tentang dendam, fitnah, dan kehormatan. Yang menyuarakan bahwa dalam masyarakat yang sering kali tidak adil kepada perempuan, keteguhan harga diri dan kebijaksanaan bisa menjadi bentuk perlawanan paling bermakna.
Beauvoir, S. de. (1949). The Second Sex. New York: Vintage Books.
hooks, b. (1984). Feminist Theory: From Margin to Center. Boston: South End Press.
Tong, R. P. (2009). Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction (3rd ed.). Boulder: Westview Press.
Irigaray, L. (1977). This Sex Which Is Not One. Ithaca: Cornell University Press.
Kristeva, J. (1980). Powers of Horror: An Essay on Abjection. New York: Columbia University Press