Mohon tunggu...
Tugu Lasara
Tugu Lasara Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Petani Nomaden

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mengembalikan Marwah Pasar Rakyat

19 Januari 2017   15:39 Diperbarui: 19 Januari 2017   17:27 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Denyut nadi kehidupan masyakarat itu ada di pasar. Perlu pembenahan infrastruktur dan sumber daya manusia. Selain itu, memperluas pelanggan dengan mendatangkan berbagai macam pembeli, termasuk wisatawan mancanegara.

Pasar rakyat boleh dibilang simbol perekonomian yang nyata. Detak kesehariannya merupakan tolak ukur kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Perputaran barang kebutuhan pokok hingga sekunder yang bertukar uang, ciri daya beli masyarakat yang baik. Namun, dalam satu dekade ini, eksistensi pasar rakyat tergerus oleh serbuan pasar modern dalam rupa: supermarket. Tak cukup itu saja, perkembangan dunia maya semakin menenggelamkannya.

Pergeseran lapak yang dituju masyarakat ke pasar swalayan karena faktor kemasan barang, kebersihan dan kenyamanan. Harga lebih tinggi dianggap wajar. Walaupun menghilangkan sebuah kebiasaan masyarakat: adanya tawar menawar. Itulah kelebihan dan keuntungan berbelanja di pasar rakyat. Daya beli ke pasar swalayan meningkat karena didorong oleh naiknya jumlah masyarakat kelas menengah yang diperkirakan mencapai 170 juta jiwa.

Sementara itu, jagat maya datang menggoda dengan memotong waktu, ruang, dan memberikan kemudahan transaksi. Pembeli dan penjual dapat duduk manis dimanapun untuk bertransaksi asalkan ada perangkat elektronik; smartphone dan komputer, yang terhubung dengan internet. Minusnya, pembeli tidak dapat melihat barang secara detail. Rentan pula terhadap penipuan.

Lalu, apakah pasar rakyat telah habis? Belum. Peluang masih ada. Di Bumi Pertiwi ini ada sekitar 6.800 kecamatan dan 79.000 desa. Dua tingkat wilayah itu selalu ada pasar rakyat. Mungkin hanya kecamatan di perkotaan yang sudah “didatangi” pasar swalayan. Tapi belum banyak, masih dominan masyarakat di daerah yang mengandalkan pasar rakyat untuk memperoleh kebutuhan pokoknya.  

Nafas dan keberlangsungan pasar rakyat masih terbuka. Kuncinya, revitalisasi. Stigma kumuh, kotor, dan tidak nyaman dari sisi infratruktur (bangunan) dapat dihilangkan dengan jalan ini. Apalagi pemerintah menargetkan merevitalisasi 5.000 pasar rakyat di seluruh Indonesia selama periode 2015-2019. Juga memberikan pelatihan kewirausahaan. Itu sokongan nyata. Tahun ini, tangan pusat melalui Kementerian Koperasi dan UKM akan merevitalisasi 51 pasar rakyat di daerah tertinggal dengan anggaran senilai Rp950 per pasar. Belum lagi, tangan pemerintah daerah juga menganggarkan pembangunan pasar rakyat.

Beberapa kepala daerah bahkan keukeuhmempertahankan keberadaan pasar rakyat. Lebih dari itu, mereka menyulapnya menjadi nyaman dengan tetap mempertahankan kekhasan lokalnya. Uniknya, pasar rakyat sekarang tidak hanya menjadi tempat jual-beli. Para calon pemimpin daerah sekarang kerap blusukan ke pasar untuk menggaet pemilih. Wajar, semua lapisan masyarakat ada di sana. Jadi, tidak usah repot-repot menyewa gedung dan menyiapkan acara untuk mengumpulkan massa. Dan, blusukan itu hanya menyasar pasar rakyat bukan swalayan. Artinya, keberadaan pasar rakyat masih sangat penting.

Presiden Jokowi, akhir tahun lalu, meminta pembangunan pasar yang besar di perbatasan Entikong, Kalimantan Barat dan Motaain, Nusa Tenggara Timur. Jokowi tahu betul pentingnya pasar di tapal batas antara Indonesia dengan Malaysia dan Timor Leste. Pertama, keberadaannnya akan mengurangi ketergantungan masyarakat pada barang negara tetangga. Kedua, menarik warga negara tetangga untuk membeli barang Indonesia. Goal-nya, perekonomian di tapal batas akan berderap kencang.

Pasar rakyat memang belum akan lekang dihajar kapitalisasi. Di pasar rakyat, menyajikan banyak hal bagi masyarakat Indonesia, salah satunya nostalgia. Meskipun pasar swalayan telah menyentuh masyarakat perkotaan atau kaum urban, itu tetap tidak akan dapat menggantikan nuansa kenangan masa lalu dan tentu saja, makanan bercita rasa khas. Misalnya, kaum urban datang ke pasar rakyat untuk memburu penganan tradisional dan sudah melegenda di daerah asalnya.

Di Pasar Beringharjo dan Lempuyangan, Yogyakarta, ada Sego Empal Bu Warno dan Jenang. Salah satu warung Jenang di Lempuyangan memiliki pelanggan bukan dari kalangan sembarangan, yakni mantan Presiden Soeharto, Megawati Soekarnoputri, dan Sultan Hamengkubuwono X. Lepas dari itu, pasar rakyat dapat menampung semua penjual karena ada orang yang menjajakan barangnya secara musiman. Mereka tak perlu sewa toko yang mahal, tapi cukup menyewa lapak beberapa waktu saja.

Melestarikan pasar rakyat dapat melalui banyak cara. Pencanangan hari pasar rakyat nasional salah satunya. Butuh waktu (hari) pengingat untuk mengkampanyekan eksistensi pasar rakyat.  Seyogyanya hari pasar bukan hanya seremonial belaka. Perlu pengemasan yang berbeda tiap tahunnya, seperti tema dan tempat. Yang penting adalah edukasi tentang pentingnya keberlangsungannya. Dari sisi pedagang harus diberikan pelatihan pengemasan produk, komunikasi dengan pelanggan, penataan toko atau lapak,  kemampuan wirausaha, hingga penguasaan teknologi. Sedangkan, pemangku kebijakan dan masyarakat (pembeli) harus tetap dijaga semangat membangun, melestarikan, dan tetap mau berbelanja di pasar rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun