Mohon tunggu...
AriaR
AriaR Mohon Tunggu... Lainnya - Hai

Suka baca-baca aja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Proyek Tedjo

17 Oktober 2017   09:40 Diperbarui: 17 Oktober 2017   13:19 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
3 Silhouette of Man Under White Sky

                                                                                   www.pexels.com

Gudang tebu itu terletak di persimpangan kota yang paling strategis. Di masa keemasanya dulu, tak dapat dibayangkan lautan manusia membanjiri tempat ini-untuk berdagang, untuk mencari cerita, untuk bertemu manusia lain, untuk segala kemajuan di zamanya. Bahkan rel kereta api pun di bangun melewatinya untuk hingga kota-kota pelabuhan. Tapi waktu laksana pedang. Ia membunuh yang tidak mampu bertahan. Begitu pula gudang ini, kalah oleh impor gula dan penyusutan kebun tebu untuk perumahan. Gudang tak diperlukan lagi. Setelah ratusan tahun, gedung raksasa ini pun akan diubah menjadi rumah sakit internasional.

Tidak terbayangkan oleh Tejo, 35 tahun, pekerja kuli bangunan akan berlabuh di kota ini. Terlalu banyak pekerjaan yang ia lakukan, terlalu banyak ia berpindah-pindah tempat. Ia satu dari ratusan atau ribuan laki-laki usia produktif yang beruntung tidak menganggur di jaman ini. Dengan pendidikan sd nya ia yang dari kampung, sedikit demi sedikit mengumpulkan uang. Hingga akhirnya dikontrak menjadi kuli proyek borongan di salah satu PT yang namanya mentereng terdengar.

Senyap seakan menyergap kota ini, meski ia terus bergerak. Bermacam-macam orang menjadi satu. Layaknya seorang anak yang hendak menjadi dewasa. Segala pengalaman ingin dicobanya. Fasilitas-fasilitas publik semakin banyak. Mall dan hotel makin mentereng. Lampu-lampu malam semakin bergemerlapan. Para pegawai dan pekerja pulang larut malam.

Tejo memukulkan palu nya di atas kerangka lantai tujuh calon gedung yang belum jadi. Dentang suara besi yang berbenturan dari ujung ke ujung seolah tidak memperhatikan dan tidak mendengarkan orang-orang yang berteriak di luar pagar. Orang --orang dari masa lalu. Orang-orang yang sejarah hidupnya bersama gedung ini, katanya.

Tejo memukulkan palunya lagi di atas rangka yang belum jadi, yang besinya sedikit karatan karena korupsi. Mana tahu menahu Tejo soal korupsi yang ia tahu adalah memastikan ia bisa makan esok hari. Ia bisa mampir di warung Tuti yang dengan memandangnya sesaat Tejo lupa suara benturan palu dan besi, riuhnya gosip di luar sana atau kata-kata kasar mandor yang kikir bahkan rasa lapar itu sendiri.

Tuti sudah lama ada disitu, sebelum penangkal petir lantai 7 dipasang, sebelum lantai 1 mulai dibangun, sebelum diresmikanya penggalian ground-breaking oleh gubernur, sebelum gedung lama dirobohkan, sebelum orang-orang mulai berdemo, sebelum surat kabar ramai, sebelum Tejo mampu membayangkan sosok Tuti ada. Tuti sudah lama ada disitu sejak hari pertama Tejo menjejakan kakinya di kota itu. Dan sejak hari pertama itu Tejo selalu menemui Tuti, entah untuk mencari air, mencari makan, mencari cinta, atau sekedar memandang wajah perawan yang damai. Ia satu dari puluhan laki-laki muda juga yang melakukan hal yang sama ketika datang ke warung Tuti.

Tuti tidak sama seperti perempuan lainya. Ia sederhana dan cantik seperti semua perempuan dua puluh tahunan. Tuti punya badan semampai dan bibirnya tipis. Tapi bibirnya tidak semerah perempuan-perempuan penjaja kesenangan sesaat yang datang ke tempat proyek diam-diam setelah malam menjelang. Ia tidak melayani rayuan para pelanggan yang hampir semua laki-laki. Tidak pula Tejo berani macam-macam. Dari tanganya yang kasar, Tejo tahu ia pun berjuang untuk tetap hidup setelah rumahnya yang berdiri di atas tanah tak bersertifikat di gusur pemilik bangunan tempat Tejo bekerja. Tanah yang hampir semua harta yang ia punya dari warisan ayahnya. Tuti menunggu janji ganti rugi selama 3 tahun yang dijanjikan dan juga tak kunjung datang, yang membuat Tuti menatap mata setiap orang yang ditemuinya penuh curiga dan membuatnya tak mampu mempercayai siapa pun dengan mudah. Keteguhan adalah gambaran asing yang tidak ia temukan di wajah perempuan lainya, perempuan yang dihimpit hingar bingar keriuhan dan kegilaan kemajuan kota, wajah yang memikatnya.

Sekali Tejo menjamahnya, tangan itu. Ketika Tuti membawa bakul beras untuk memasak makan siang pegawai. Dan lama mereka berdiri di tengah lapangan saling berpandangan karena Tuti enggan melepaskan cengkeramanya dari wadah itu walaupun sudah sebagian isinya berceceran. Meskipun tanpa kata, Tuti enggan menerima belas kasihan, tak juga ia percaya niat Tejo, orang yang baru ditemui nya, seandainya Tejo tidak memaksakan diri yang membuat Tuti mengalah. Walaupun tidak seramah yang ia kira tapi Tejo jadi tidak canggung lagi ketika berlama-lama minum kopi di warungnya untuk mencuri-curi pandang atau meminta tambah nasi. Ia terpana ketika Tuti sering bercerita hak-hak nya yang dituntut. Suara Tuti seperti apapun terdengar merdu ditelinga Tejo. Jatuh cinta ataukah obsesi pada Tuti adalah kesenangan lain yang sudah lama ia tidak rasakan di antara kerasnya batu-batu bangunan.

Hari ini pintu depan proyek penuh orang. Keriuhan sudah biasa bagi Tejo dan teman-temanya. Penuh memang karena orang-orang sering berdemo tetapi kali ini lebih banyak lagi. Konon kabar berita, seorang aktivis yang menentang habis proyek ini menghilang, entah diculik entah tanpa kabar. Ekskalasi emosi masa membesar dan entah kapan habisnya.

Proyek ini memang lain dari proyek biasanya yang Tejo kerjakan, bayaranya besar meskipun dibayar di akhir. Makanya ratusan pekerja pun mau banting tulang meskipun kadang pekerjaanya di luar batas manusiawi.  Di pukulkanya lagi palu Tejo dan terbayang tebal sakunya dan mimpi-mimpi Tejo yang belum kesampaian. Mimpi Tejo bisa kawin dengan Tuti, memulai hidup baru dengan Tuti. Berlomba peluh para pekerja dengan cacian para mandor. Yang beranak lima, yang setahun tak pulang, yang terlilit hutang, yang ditipu tengkulak, semuanya memainkan orkes logam yang sama dengan harapan membumbung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun