Â
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)Â bukan hanya persoalan rumah tangga yang bersifat privat, tetapi merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Dalam praktiknya, KDRT kerap kali tidak hanya menyebabkan luka fisik, tetapi juga kerusakan psikologis yang mendalam dan jangka panjang bagi korban, bahkan terhadap anak-anak yang menyaksikannya. Dalam konteks tertentu, KDRT dapat dikategorikan sebagai bentuk kejahatan kemanusiaan karena sifat sistematis dan dampaknya terhadap martabat serta keselamatan manusia.
KDRT dalam Perspektif Hak Asasi Manusia
Hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan, dan mendapat perlindungan adalah hak dasar yang dimiliki setiap manusia. KDRT secara nyata melanggar hak-hak tersebut. Ketika tindakan kekerasan dilakukan secara berulang dan sistematis oleh pelaku terhadap korban yang seharusnya berada dalam hubungan kepercayaan dan kasih sayang, maka KDRT bukan hanya pelanggaran hukum pidana biasa, melainkan juga pelanggaran terhadap martabat manusia secara fundamental.
Organisasi internasional seperti PBB telah mengakui bahwa kekerasan terhadap perempuan, termasuk KDRT, merupakan bentuk diskriminasi dan pelanggaran HAM. Ini dikuatkan dengan adanya Declaration on the Elimination of Violence Against Women (1993), yang menegaskan bahwa negara harus mengambil langkah-langkah konkret untuk melindungi perempuan dari kekerasan domestik.
Analisis Hukum KDRT di Indonesia
Di Indonesia, landasan hukum utama dalam penanganan KDRT adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). UU ini lahir sebagai bentuk perlindungan negara terhadap korban KDRT, dengan cakupan sebagai berikut:
Jenis Kekerasan: kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga.
Subjek Hukum: pelaku dan korban bisa siapa saja dalam lingkup rumah tangga, tidak terbatas pada suami-istri.
Sanksi Pidana: hukuman dapat berupa pidana penjara, denda, dan perintah perlindungan.
Namun dalam praktik, penegakan UU ini masih menghadapi banyak tantangan, antara lain: