Mohon tunggu...
Laode AbdulHaq
Laode AbdulHaq Mohon Tunggu... Lainnya - Bismillah 47

bismillah 47

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diskursus Penyatuatapan Peradilan Agama di Bawah Mahkamah konstitunsi (Studi Hukum Responsif)

17 Oktober 2021   23:33 Diperbarui: 17 Oktober 2021   23:52 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama : Laode Abdul Haq                                     Nim   : 2020020103057

Persoalan tentang Penyatuatapan Peradilan Agama (PA) dibawah Mahkamah Agung (MA) sejak dulu sudah mengalami pro dan kontra bagi sebagian pihak. Hal ini sudah terjadi ketika dikeluarkan UU No. 35 Tahun 1999 yang mengatakan bahwa: Pengalihan Peradilan Umum dan lainnya dapat dilakukan selama 5 tahun, sementara Peradilan Agama tidak ada waktu tertentu yang artinya dapat diterapkan selama-lamanya. 

Tentunya ini berarti tidak adanya penyatuatapan antara peradilan-peradilan tersebut. Selanjutnya, ada dua orang yang memberikan alasan terkait setuju dan tidak setuju terkait adanya penyatuatapan peradilan agama ini, mereka adalah Ismail Sunnny dan Busthanul Arifin. Ismail mengatakan bahwa: peradilan agama tidak boleh dialihkan ke Mahkamah Agung. Sedangkan Busthanul memberikan tanggapannya: Peradilan Agama tidak akan pernah beralih hingga kiamat sekalip

Selain itu, sebelum era reformasi sistem kenegaraan kita sudah memiliki elemen-elemen trias politika yaitu; kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasan yudikatif, namun fungsi-fungsi idealnya tidak berjalan efektif mengingat begitu kuat dan dominannya unsur kepemimpinan. 

Namun, seiring berjalannya waktu hal itu kemudian dirombak sedemikian rupa sehingga lekuasaan kehakiman pada masa reformasi mengarah pada upaya membentuk sistem peradilan mandiri dengan sistem peradilan satu atap. 

Walaupun proses peralihan kekuasaan ini berat, namun berjalan dengan lancar, kecuali peradilan agama yang proses peralihannya sedikit mengalami perdebatan panjang. Karena jika diadakannya penyatuan sistem peradilan dibawah satu atap akan banyak menimbulkan pemerintahan yang sewenang-wenang. Sehingga agar mencegah terjadinya kesewenangan itu, badan atau sistem peradilan tidak boleh disatukan atau harus di pisahkan satu sama lain

Di Indonesia, alasan penerapan peradilan satu atap yaitu untuk menjadikan sistem hukum sebagai subjek informasi. Hal ini didayagunakan sebagai alat untuk mempercepat evolusi (celebrate evolution vehicle) berupa transisi dari tertib hukum yang bernuansa refresif dan otoriter kearah kehidupan masyarakat yang demokratis-responsif, tanpa embel-embel. 

Adapula wacana terkait menjadikan seluruh lingkungan peradilan berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung (MA), baik aspek judisialnya maupun aspek non-judisialnya. Hal ini terus bergulir dan selalu menimbulkan kontroversi. 

Satu pihak menghendaki agar seluruh peradilan berada satu atap di MA, sementara pihak lain menghendaki seperti keadaan selama ini. Disamping itu, ada hasil yang sudah ditetapkan oleh MPR ditahun 1998 tentang fungsi yudikatif tidak boleh bergabung dengan fungsi eksekutif karena akan menimbulkan perseteruan antara dua lembaga yang berbeda.

Disamping itu, adanya penyatuatapan badan peradilan ini memiliki tujuan untuk menciptakan independensi bagi lembaga peradilan. Diketahui bahwa UU No.14 pada tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman dimana sistem kita menganut dua atap yang mana masuknya pihak eksekutif dalam kekuasaan kehakiman disinyalir sebagai salah satu sebab mengapa kekuasaan di negeri ini tidak independen. 

Karena itu, kompleksitas permasalahan di seputar sektor peradilan di awal reformasi adalah berkaitan dengan format yuridis formal pemisahan yang tegas antara fungsi yudikatif dan eksekutif. 

Hal yang penting dilakukan adalah berkaitan dengan penguatan kekuasaan kehakiman dalam perspektif kelembagaan dan teknis adminstrasi peradilan.

Namun, seiring berjalannya waktu penyatuatapan ini pun dilakukan tapi tidak semulus yang dibayangkan ataupun sama dengan penyatuatapan  badan-badan lainnya. Setelah mengalami pro dan kontra, pada penelitian yang dilakukan salah satu peneliti mendapatkan responden yang memberikan tanggapan mereka terkait penyatuatapan ini. 

Dimana ada 518 responden kategori A yang berasal dari lingkungan Peradilan Agama memberikan tanggapan atau pendapatnya bahwa ada 482 org atau 93% yang memilih setuju jika diadakannya penyatuatapan.  Kemudian, hanya 2,9% menyatakan tdk setuju penyatuatapan peradilan agama. Tidak hanya yang berasal dari lingkungan peradilan agama. Responden juga berasal dari luar PA. Sejumlah 76,8% menyatakan tidak setuju dan hanya 14% menyatakan setuju.

Ada hal menarik pada penelitian ini dimana dari 93% yang setuju penyatuatapan, ternyata alasannya adalah 63,3% karena material dan 22,2% karena alasan struktural. Sehingga hal yang membuat orang menyetuji penyatuatapan ini dikarenakan orientasinya pada hal-hal yang bersifat materi, terutama menyangkut tentang perbaikan sarana dan prasarana, termasuk juga bentuk material lainnya, semisal gaji/tunjangan dan penghasilan lain serta biaya operasional peradialan agama, daripada alasan struktural, yakni, untuk menyatukan badan-badan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di bawah MA sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tertinggi

Menteri Agama Prof Dr.Said Agil Husin menyetujui adanya penyatuatapan ini dengan memberikan syarat bahwasanya para ulama juga harus menyetujui hal ini. Dengan usaha yang keras dan pendekatan yang begitu intens akhirny para ulama juga menyetuji penyatuatapan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung. 

Hal ini sebagai realisasi dari Pasal 42 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Keppres No. 21/2004 Menteri Agama telah menyerahkan organisasi, administrasi, dan finansial Peradilan Agama kepada Ketua Mahkamah Agung pada tanggal 30 Juni 2004. 

Yang sebelumnya pada tanggal 31 Maret 2004 Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia telah menyerahkan organisasi, administrasi dan finansial dalm lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara kepada ketua Mahkamah Agung. Selanjutnya pada lingkungan Peradilan Militer pada tanggal 09 Juli 2004.

Dengan demikian empat lingkungan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Negara kita baik pembinaan teknis yuridis dan pengawasan maupun organisasi, administrasi, dan finansial berada dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung sehingga kemerdekaan seorang hakim di harapkan benar-benar lebih terjamin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun