Mohon tunggu...
Langit Muda
Langit Muda Mohon Tunggu... Freelancer - Daerah Istimewa Yogyakarta

Terimakasih Kompasiana, memberi kesempatan membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kebiasaan Main Hakim Sendiri, Mungkinkah Dihilangkan?

22 September 2021   03:15 Diperbarui: 22 September 2021   03:37 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tersangka bonyok dalam tahanan, bukan berita besar. Tahanan menganiaya tahanan, bukan berita besar. Baru menjadi berita besar, ketika tersangka yang bonyok tersebut dalam kasus penistaan agama. 

Sementara yang membikin bonyok adalah jendral polisi yang sedang menjadi tahanan karena suatu kasus.

Ada sejumlah hal yang menjadi pemikiran.

Apakah atas nama agama diperbolehkan melakukan main hakim sendiri?

Di negeri ini hal tersebut merupakan sebuah hal yang sensitif. Dalam kasus tahanan bonyok tersebut ada keterbelahan netizen. Ada yang menyoraki dan memberikan dukungan kepada sang jendral. Sang jendral dianggap telah melakukan sesuatu yang membanggakan. 

Seolah dengan alasan, asalkan mengatasnamakan agama kita berhak untuk melakukan apapun. Ini bagaikan dejavu dengan peristiwa pembakaran yang menimpa jamaah Ahmadiyah belum lama ini. Apakah atas nama agama menjadi boleh melakukan hal apapun?

Netizen lain, menyayangkan hal tersebut. Ada juga yang menyindir perbuatan sang jendral. Sang jendral juga sedang berstatus tahanan. 

Apakah tidak merasa diri sebagai sesama pendosa? Apakah perilaku main hakim sendiri tersebut merupakan upaya penebusan dosa, atau semacam "pansos"?

Ada semacam mindset, bolehlah telah melakukan kejahatan apapun, asalkan berani memusuhi atau  bahkan menganiaya tersangka penista agama, maka dianggap sebagai pahlawan.

Apakah main hakim sendiri adalah budaya bangsa?

Ada sebuah joke, bila terjadi tindak kejahatan di AS, mungkin satu dua orang berusaha melumpuhkan pelaku, selebihnya berusaha menelpon polisi, sementara bila terjadi tindak kejahatan di Indonesia, mungkin satu dua orang berusaha menelpon polisi, selebihnya ikut ngepruki pelaku.

Kita sering mendengar di suatu desa ada "kesepakatan internal" bagaimana mereka akan "memperlakukan" pencuri yang tertangkap. Minimal bonyok dulu sebelum diserahkan ke polisi. Pokoknya maling dibikin jera dan keder bila hendak beraksi.

Ada juga semacam "kepengecutan sosial", bisa digambarkan dengan ilustrasi situasi berikut. Di suatu bis kota yang penuh penumpang, ada kawanan pencopet beraksi. 

Banyak yang tahu tetapi pura-pura tidak tahu. Tetapi begitu ada satu dua orang yang berani bergerak untuk menghajar si pencopet, tiba-tiba semua orang berebutan ingin ikut kebagian jatah ngepruki.

Kita mungkin pernah menyaksikan kecelakaan di jalan raya. Misalkan, ada seorang sopir mobil menabrak sepeda motor, hingga pengendara sepeda motor jatuh dan terluka. 

Pernahkah mencoba menghitung, berapa banyak yang tergerak untuk menolong si korban, berapa banyak yang bergegas hendak ngepruki si penabrak? Banyakan mana? Itulah salah satu potret dari masyarakat kita.

Dalam hal main hakim sendiri pendapat masyarakat kita mungkin terbelah. Ada yang berpendapat hanya pengadilanlah yang berhak memutuskan hukuman, jadi tidak boleh ada perlakuan yang menjurus main hakim sendiri, apapun bentuk kejahatan yang dituduhkan

Sementara itu ada yang berpendapat untuk kejahatan tertentu, dibenarkan melakukan main hakim sendiri. Yaitu, pada kejahatan seksual terutama dengan korban perempuan dan anak, serta pembunuhan sadis yang menimpa satu keluarga.

Apakah main hakim sendiri adalah budaya di tubuh kepolisian?

Seorang polisi melakukan penganiayaan pada tahanan, mungkin bukan berita yang besar. Baru menjadi berita ketika polisinya ternyata juga sedang berstatus tahanan. Seorang jendral lagi.

Seorang jendral polisi seharusnya dapat menjadi contoh yang baik bagi bawahannya, bagaimana bersikap sebagai warga negara yang taat hukum. Peristiwa ini menimbulkan keprihatinan, kalau jendralnya saja begitu, bagaimana dengan bawahannya?

Orang bilang masyarakat menjadi tergoda untuk melakukan main hakim sendiri, karena kurangnya kepercayaan pada proses hukum dan aparat penegak hukum. Nah, kalau aparat hukumnya juga main hakim sendiri, berarti tidak percaya pada diri mereka sendiri, dong?

WYATB GBU ASAP.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun