Mohon tunggu...
Irma Tri Handayani
Irma Tri Handayani Mohon Tunggu... Guru - Ibunya Lalaki Langit,Miyuni Kembang, dan Satria Wicaksana

Ibunya Lalaki Langit ,Miyuni Kembang,dan Satria Wicaksana serta Seorang Penulis berdaster

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Metamorfosis Sesaat Seorang Pengemis

18 September 2018   05:44 Diperbarui: 18 September 2018   05:45 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua penampilan berbeda. Dokumen pribadi

Dia bukan tetangga, bukan juga teman lama. Kebetulan bersua saat berbelanja.

Tadinya sih cuek aja dengan keberadaanya, tapi waktu dia bikin antrian jadi panjang pas mau bayar, gara-gara dia nawar harga sayuran besar-besaran baru deh saya lihat dia. Sayuran untuk sop harga 2000 ditawar 1000, tahu 3000 ditawar 1500, nyari semua yang dibeli ditawar. Ibu warung tak memberi harga yang dia minta, lah untung sayuran berapa sih. 

Akhirnya sambil ngomel - ngomel dia membayar sesuai kesepakatan, tapi.. Kurang bayarnya 1000 apa 2000 gitu.

" Ah kamu kurang melulu, yang kemarin-kemarin belum di bayar! "protes bu warung.

" Tar deh, besok ya! " ujar dia sambil ngeloyor.

Setelah perempuan berusia sekita 40an itu pergi, Ibu warungpun curhat kalau tu orang dah nawarnya gila-gilaan, bayarnya juga selalu kurang.
Padahal secara tampilan, saya sempat melihat lehernya berkalung emas. 

Tidak seperti orang susah menurut saya walaupun baju yang digunakan sederhana.

Lepas dari warung, bertemu lagi di toko pakan hewan. Saya datang dia sudah mau beranjak. Lagi - lagi terdengar keluhan kali ini dari pedagang pakan hewan.

"Dia beli makanan kucing, tapi bayarnya selalu kurang! "

" Setiap belanja? "

"Iya tiap belanja! "

Hmm, ada-ada saja ni orang.  Kalau sampai bisa membeli makanan kucing begitu, berartikan bukan orang susah ya.

 Berarti dia punya rejeki berlebih untuk juga menghidupi piaraannya, pikir saya sambil melihat punggungnya yang semakin menjauh.

Beberapa hari kemudian, dipinggir jalan raya saat saya sedang menunggu angkot , tiba-tiba dihadapan saya ada sepasang kaki. Saya yang sebelumnya masih melihat gawai, segera menengadahkan wajah.

Sepasang kakinya yang terlihat sih berbungkus celana lusuh. Telapak kaki yang kanan apa kiri dibalut perban. Mulai naik ke badan, ada kain yang di silangkan dibadan entah fungsingnya apa. Lalu kepalanga ditutup topi yang tak kalah lusuh.
Sebelah tangannya  tengadah ke arah saya, matanya menatap saya lekat-lekat.

" Kasihan bu.. !"lirihnya meminta belas kasihan.

Saya pandangi betul wajah perempuan ini, kok berasa kenal ya. Sambil mengingat-ingat siapakah perempuan yang mengemis ini.

Tangannya tak turun-turun karena saya belum memberi uang. Kini dia sedikit kikuk karena dilihat oleh saya secara mendalam .

"Loh, loh, kamukan yang biasa belanja di warung komplek saya?

Seru saya setelah ingat siapa dia. Ya, dia wanita yang selalu menawar harga  kenapa tampilannya kenapa berbeda ya?  Tidak bersih seperti saat berjumpa. Kalung emasnyapun tentu tak tampak.

Dia menjauh setelah saya berseru, saya tak yakin dia malu, karena di tempat lain dia melakukan hal yang sama, menengadahkan tangan, padahal saya masih jelas bisa melihatnya.  Kenapa tak khawatir saya akan membuka kedoknya ya?

Sayang bis yang saya tunggu sudah datang. Akhirnya saya cuma bisa mengomel di dalam hati.

Omelan saya adalah, dengan badan masih sehat, tak ada cacat, dia tentu masih kuat untuk mencari uang. Mungkin telapak kaki berperbannya juga hanya modus,  karena terakhir bertemu cara berjalannya baik-baik saja dan perbannya tak terlihat.

Ah, sudahlah pikir saya memang bukan rahasia kalau sekarang ini pengemis bisa dijadikan lahan uang. Entah mengapa orang mudah sekali memberikan uang meski hanya koin gopean.

Ternyata di hari lain saya melihat dia lagi.  Sekali sedang menghitung pendapatan mengemisnya hari ini. 

Saya sempat terbelalak karena uang di kantongnya banyak sekali. Pantaslah bisa belanja banyak dan bisa membeli makanan pula untuk kucing peliharaannya. Gaya hidupnya mungkin juga luar biasa.

Menurut saya, berani sekali dia mengemis di daerah yang tak terlalu jauh dari kediamannya. Maksudnya dia tidak lagi khawatir akan bertemu dengan orang-orang yang pernah bertemu dia seperti saya misalnya. Kalau saya saja yang bukan tetangganya kini sering melihatnya, bukan tidak mungkin tetangga seRTnya.

Kedua, kalau dia bertahan menjadi pengemis, berati memang yang dia lakukan selalu menjanjikan dan menghasilkan, buktinya dia terus mengemis tiap hari karena merasa dompetnya selalu tebal terisi.

Ketiga, yang saya tak paham jika memang selalu menghasilkan,berarti memang orang-orang selalu memberinya uang. Ini yang saya faham. Dengan mata awam saja saya melihat dia itu sehat. 

 Jikapun belum bertemu sebelumnya  saya yakin saya tak akan memberikan uang. Bukan masalah pelit atau tidak, mungkin kalau yang mengemis orang renta atau anak-anak masih berbaik sangka mereka memang  orang tak berada. Tapi wanita ini sehat dan segar.

Keempat jika uangmu banyak, kenapa juga setiap belanja selalu menawar harga, toh uang yang kami dapatkan segitu banyaknya? Yang ini disuarakan dalam nada nyinyir.

Jadi siapa yang salah kalau uangnya banyak? Entahlah. Mungkin dipikir ulang lagi jika ingin berbagi rejeki dengan kaum papa. 

Jika kita masih memberikan uang dengan mudah pada pengemis maka tidak salah kalau pengemis memang dijadikan mata pencaharian yang menjanjikan. Tak aneh banyak berita pengemis yang ditemukan memiliki uang jutaan rupiah.

Tak ada salahnya perhatikan ulang pengemis yang sedang menengadahkan tangan di depan anda kini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun