Mohon tunggu...
Agust Hutabarat
Agust Hutabarat Mohon Tunggu... profesional -

Pembela Umum (Public Defender) di LBH Mawar Saron Jakarta penikmat Kopi Hitam yang mencintai adat Batak.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Menanti Senja di Timur

13 Juni 2010   11:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:34 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tahu bahwa suatu saat nanti Ita akan redup, seperti mentari yang jatuh ke dasar samudera. Kami akan berpisah dengannya, dipisahkan oleh ruang dan waktu yang berbeda. Aku ingin menumpahkan hidupku untuknya yang saat ini merasa sakit yang dalam.

” Om, lihat mereka memanggilku.” Katanya membuyarkan lamunanku. Aku melihat ke depan dimana dia melihat ada orang yang memanggilnya.

” Mana sayang, Om tidak lihat.” Kataku kebingungan.

” Ituloh Om.” Katanya. Untuk kesekian kalinya, mulut mungilnya membuatku bingung dengan apa yang dia lihat. Mungkinkah itu ilusi-ilusi orang yang sedang dalam masa menantikan akhir hidupnya. Tapi aku tidak ingin berpikir yang tidak-tidak.

” Ita kenal mereka?” Tanyaku.

” Tidak Om Ita tidak mengenal mereka, tapi mereka memanggil Ita.” Katanya. Aku begitu takut. Segala keberanian yang aku miliki terhempas ke lantai dan pecah berkeping-keping. Sekali lagi aku melihat ke arah laut, matahari sudah berada di batas samudera, dalam hitungan menit malam akan segera tiba.


Tiba-tiba tubuh Ita mengejang, nafasnya tersengal-sengal. Aku memeluk dan memanggil Mbak Nova dan Mas Elang. Wajahnya melukiskan sebuah kelelahan hidup yang telah berakhir. Rona wajahnya berubah menjadi begitu damai. Tidak ada lagi derita dan lelah yang terpancar di wajahnya yang pucat. Beberapa saat kemudian, jantungnya berhenti berdetak. Semuanya sudah selesai, sudah berakhir. Itulah Ita, dia sudah pergi dan matahari pun sudah tenggelam.

Dia pun pergi dengan damainya. Dia menantikan senja untuk mengiringi langkahnya menuju sang Esa. Dia pergi lebih cepat dari apa yang telah diperhitungkan oleh dokter. Ita sudah tidak ada, raganya sudah terbang menembus awan, menerobos angkasa menemui Tuhannya. Kupeluk tubuhnya yang mulai dingin, tetes-tetes air mata kehidupan mengalir membasahi rambutnya yang hitam. Kami kehilangan dia, bidadariku telah pergi meninggalkanku, tinggallah aku disini dalam kesedihan. Aku menangis, aku tidak malu lagi untuk meneteskan air mata. Aku menangisi kepergiannya, walau Ita pernah bilang kalau Om nya tidak boleh menangis. Aku tetap menangis, karena tangisan bukan hanya milik wanita tapi milik semua orang.

Aku terbangun dari tidurku, aku terkejut waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Ternyata Ita tidak membangunkanku. Tiba-tiba aku merasa sepi dan meneteskan air mata, aku baru sadar ternyata Ita sudah tidak ada. Dua hari sudah Ita pergi meninggalkan penderitaannya. Buket bunga Edelweis kesukaannya ku letakkan di atas nisan marmer bertuliskan nama Thabita. Hidupnya singkat namun meninggalkan sejuta kenangan. Hidup memang tak seabadi Edelweis. Semua kehidupan akan berakhir, cepat atau lambat aku pun akan menemuinya ke alam nirwana.

Aku mencoba menguburkan kesedihanku di dalam ruang waktu yang ku kunci rapat dan kuncinya ku buang ke dasar samudera luas. Kusampaikan doa ku bersama awan yang berarak ke arah matahari terbenam. Semoga burung-burung di udara mengabarkan kenangan bersama Ita keponakanku. Dia telah pergi dalam damainya. Dalam pelukanku dia mengakhiri semuanya. Bukan hanya hidupnya, tetapi juga deritanya dan kenanganku tentang dia.

Dia menginspirasiku untuk menuliskan sebuah cerita di atas kertas putih. Dia semangatku untuk memberitahukan kepada dunia bahwa Ita keponakanku akan abadi dalam kenanganku, seabadi bunga edleweis. Dan kenanganku saat bersamanya tidak akan lekang oleh hempasan ombak dan dinginnya hujan serta teriknya matahari. Selamat tidur panjang Itaku sayang, sore ini Om menunggumu bersama senja yang akan berlalu di timur yang tak berbatas.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun