Mohon tunggu...
Laksmi Haryanto
Laksmi Haryanto Mohon Tunggu... Freelancer - A creator of joy, a blissful traveler who stands by the universal love, consciousness, and humanity.

As a former journalist at Harian Kompas, a former banker at Standard Chartered Bank and HSBC, and a seasoned world traveler - I have enjoyed a broad range of interesting experience and magnificent journey. However, I have just realized that the journey within my true SELF is the greatest journey of all. I currently enjoy facilitating Access Bars and Access Energetic Facelift sessions of Access Consciousness - some extraordinary energetic tools of cultivating the power within us as an infinite being.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengurai Benang Kusut Dilema Orang Suku Laut

8 April 2020   07:01 Diperbarui: 10 April 2020   05:54 817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ditemani Afendi, seorang tetua desa, di suatu siang di bulan Maret 2020 aku berdiri di atas jalan kayu yang sudah kelihatan rapuh di Desa Akad, Lingga, Kepulauan Riau. Itu adalah salah satu desa pesisir pantai yang sebagian besar dihuni Orang Suku Laut. Orang Suku Laut adalah masyarakat asli Kepulauan Riau yang beratus-ratus tahun secara turun-temurun tinggal dan berkelana di atas sampan, sampai sebagian besarnya direlokasi ke darat oleh Pemerintah pada tahun 1990-an.

Matahari terik tak menghalangi kami memandang sampan-sampan yang melaju di laut. Beberapa sampan mengangkut anak-anak kecil pulang sekolah. Meski matahari menyengat panas, anak-anak itu tampak tenang di atas sampan, bahkan tersenyum membalas lambaianku dari kejauhan. 

Padahal perjalanan ke dan dari sekolah bukanlah hal mudah bagi tubuh-tubuh kecil mereka. Untuk mencapai sekolah setiap hari, setelah bersampan ke ujung pulau, mereka masih harus berjalan kaki lebih dari dua kilometer lagi jauhnya. Di musim utara di mana gelombang laut menggulung tinggi dan memecah pantai dengan dahsyat, mereka terpaksa melawan ganasnya ombak dan berjuang ke sekolah dengan baju dan tubuh yang basah kuyup terguyur air laut.

Pulang dan Pergi Sekolah
Pulang dan Pergi Sekolah
Di kejauhan tampak seorang perempuan tua mendayung sendiri sampannya dengan perlahan. Agaknya ia baru pulang dari mengantri air karena di dalam sampan terlihat beberapa wadah berisi air. Air bersih adalah barang sulit di desa itu. Afendi bercerita, warga yang terdiri dari 42 Kepala Keluarga itu hanya mengandalkan sebuah ‘sumur alam’ yang sebenarnya adalah mata air mini yang mengalir kecil di balik bebatuan. Setiap hari warga mengantri air berjam-jam di situ, seringkali di bawah sengatan matahari, hanya untuk mengisi beberapa wadah saja. Isteri Afendi sendiri sering mengantri air dari jam 03.00 dini hari dan baru selesai setelah jam 07.00 pagi. 

“Ibu…” tiba-tiba suara Afendi mengejutkanku. Dalam dialek Melayunya yang kental ia bertanya dengan sungguh-sungguh. “Bagi kami yang sudah tua ini, biarlah. Tapi kami tak ingin anak-anak kami hidup seperti ini lagi. Untuk orang-orang seperti kami yang tak mampu ini, bagaimana caranya agar anak-anak kami bisa meneruskan ke pendidikan tinggi?”

Kutarik napas yang sangat panjang. Tergagap dalam hati, sebetulnya aku tak tahu harus menjawab apa atas pertanyaannya yang sungguh-sungguh itu. Sebab, pertama, aku tak ingin menjual kata-kata kosong. Mereka adalah orang-orang termarjinalkan yang hidupnya keras, namun masih berusaha memelihara harapan mulia.

Kedua, mereka telah sering didatangi berbagai orang yang menurut mereka sering melakukan pendataan warga dan menjanjikan ini-itu tetapi tak ada wujudnya. Dengan demikian, mereka telah sering dikecewakan. Ketiga, aku harus menjawab apa? Dan dalam kapasitas apa?

Antri Air. Foto Yayasan Kajang,
Antri Air. Foto Yayasan Kajang,
Saat itu aku berada di sana karena ditugaskan oleh DoctorSHARE untuk menulis tentang Orang Suku Laut. DoctorSHARE adalah yayasan nirlaba yang didirikan oleh dr. Lie A. Dharmawan dengan tujuan memberikan pelayanan medis bagi warga marjinal yang tak memiliki akses kesehatan di wilayah-wilayah terpencil di negeri ini. Dengan rumah sakit apungnya yang berlayar ke sudut-sudut negeri, para relawan DoctorSHARE telah melayani dan menyelamatkan lebih dari seratus ribu pasien secara gratis.

Sebenarnya siang itu aku menemani Lensi Fluzianti atau yang dikenal dengan Bunda Densy, Ketua Yayasan Kajang, untuk melakukan pendataan. Yayasan Kajang adalah lembaga sosial yang didirikan pada tahun 2018 dengan tujuan mendampingi dan membela hak-hak Orang Suku Laut. Baca juga “Anak-anak Sampan Pun Pewaris Sah Negeri Ini.

Komunitas Adat Terpencil (KAT)

Dalam memperjuangkan hak-hak kemanusiaan empat ribuan lebih Orang Suku Laut di Kabupaten Lingga yang saat ini terpencar di 30 titik dan keadaannya masih sangat memprihatinkan – yakni sebagian besar orang dewasanya buta aksara, sebagian besar anak-anaknya putus sekolah dasar, matapencaharian di laut terdesak sehingga banyak yang mulai membabat hutan bakau, akses layanan kesehatan dan air bersih minim atau tak ada, dan ada kegamangan berkompetisi karena minim ketrampilan atau tak ada pilihan – maka Yayasan Kajang mengumpulkan data agar bersama Pemerintah Daerah nantinya dapat memetakan kondisi sosial yang sebenarnya dari Orang Suku Laut ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun