Mohon tunggu...
Laksmi Haryanto
Laksmi Haryanto Mohon Tunggu... Freelancer - A creator of joy, a blissful traveler who stands by the universal love, consciousness, and humanity.

As a former journalist at Harian Kompas, a former banker at Standard Chartered Bank and HSBC, and a seasoned world traveler - I have enjoyed a broad range of interesting experience and magnificent journey. However, I have just realized that the journey within my true SELF is the greatest journey of all. I currently enjoy facilitating Access Bars and Access Energetic Facelift sessions of Access Consciousness - some extraordinary energetic tools of cultivating the power within us as an infinite being.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Suku Laut, Janji Leluhur, dan Pewaris yang Hampir Punah

24 Maret 2020   08:01 Diperbarui: 26 Maret 2020   16:46 3689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orang Suku Laut dalam perahu kajang. Sumber gambar: dokumen pribadi.

“Hewan dan tanaman langka saja kita lestarikan, masak ada suku yang hampir punah, Suku Laut, kita biarkan begitu saja?”

Suara dr. Lie A. Dharmawan Ph.D, FICS, Sp.BTKV yang perlahan tapi penuh keyakinan itu menyelinap di antara para tamu yang senja itu mengerumuninya. Di atas Rumah Sakit Apung Nusa Waluya II yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta pada 3 Maret 2020 lalu, getaran pesan itu melayang perlahan lalu menghujam ke hatiku. 

Saat itu aku berdiri di antara kerumunan para tamu yang sedang mensyukuri 10 tahun pengabdian DoctorSHARE, sebuah yayasan nirlaba yang didirikan dr. Lie untuk menyediakan pelayanan medis pada mereka yang membutuhkan, namun tak memiliki akses di daerah-daerah terpencil di negeri ini.

“Punah atau tidaknya segala sesuatu, itu kan tergantung pada survival of the fittest.” Tanpa sadar aku berbisik dalam hati – meski kemudian merasa jengah akan kecerobohan pikiranku sendiri.

Dan, betul saja. ‘Karma’ bekerja super cepat. Tak terbersit dalam benakku bahwa seminggu kemudian aku bakal dibalas setimpal – turun bersama rombongan sukarelawan DoctorSHARE ke Kepulauan Riau. Dan tugasku? Tentu saja, melaporkan tentang Orang Suku Laut

Tuhan sungguh memiliki sense of humor yang tak terduga. Selama dua pekan ke depan, ternyata hatiku dibuat babak-belur, luluh-lantak dihajar apa yang kupercayai sebagai teori yang kedengarannya gampang saja - survival of the fittest. Padahal bagi Orang Suku Laut, ini adalah masalah hidup atau mati.

Dokter Lie A. Dharmawan menyapa Orang Suku Laut di perahu kajangnya. Sumber gambar: dokumen pribadi.
Dokter Lie A. Dharmawan menyapa Orang Suku Laut di perahu kajangnya. Sumber gambar: dokumen pribadi.
Contohnya langsung hadir. Suatu pagi, sebuah ketukan sangat perlahan terdengar di pintu rumah Lensi Fluzianti di Daik, ibu kota Kabupaten Lingga di Kepulauan Riau. Ketika Ketua Yayasan Kajang – Yayasan yang mendampingi dan membela hak-hak Orang Suku Laut – itu mengintip, tampak tiga laki-laki Suku Laut yang kucal dan kumal berdiri di depan rumahnya, gamang dan ragu-ragu. 

“Kami sudah tiga hari tiga malam melaut, Bunda, tanpa mendapatkan apa-apa,” ujar salah satu dari mereka. “Kalau tidak terpaksa sekali, kami tidak mengetuk rumah Bunda.”

Mendengar cerita yang dikisahkan oleh Lensi atau yang biasa dipanggil Bunda Densi itu, aku melongo. Orang Suku Laut tak lagi mendapatkan ikan dari laut?

Siapa sebenarnya Orang Suku Laut?

Orang Suku Laut adalah orang-orang dari Rumpun Melayu yang mendiami pesisir pulau-pulau dan hidup dalam sampan atau perahu kajang. Asal muasal mereka tidak banyak tercatat dalam sejarah, tetapi sudah sejak lama mereka hidup berpindah-pindah secara nomaden secara berkelompok di sampan-sampan di Selat Johor, Kepulauan Riau, di pesisir Sumatera, Bangka, dan Belitung. 

Di abad 17 pada masa Kesultanan Riau Lingga-Johor-Pahang yang dipimpin oleh Sultan Mahmud, Orang Suku Laut merupakan kekuatan pendukung Sultan baik secara militer atau pun ekonomi. Mereka adalah ujung tombak keamanan di wilayah pesisir, penjaga wilayah samudera dari para bajak laut, dan masuk dalam pasukan perang Sultan. 

Sebuah sumber catatan dari Inggris menyebutkan di awal abad 19 ada sekitar 42 ribu Orang Suku Laut menetap di Bintan dan Riau, serta 24 ribu yang tinggal di sekitar Lingga. Mereka sangat disegani karena dipercaya memiliki kekuatan mistis yang mumpuni, dan merupakan pelaut-pelaut ulung yang tak ada bandingnya.

Atas jasa-jasa mereka menjaga pesisir dan lautan, Kesultanan Riau Lingga -Johor-Pahang memberikan hak kuasa atas wilayah pada Orang Suku Laut yang tertuang dalam sebuah manuskrip kuno dan peta wilayah. Saat ini manuskrip itu masih ada dan dipegang oleh Tengku Fahmi dari Lembaga Adat Kesultanan Riau Lingga di Pulau Penyengat, Tanjung Pinang. Sedangkan peta wilayahnya disebut ‘Peta Wilayah Takluk Sultan Abdurrahman Muazzamsyah 1885’.

Sumber gambar: Yayasan Kajang
Sumber gambar: Yayasan Kajang
Hak Adat itulah yang digunakan oleh Orang Suku Laut untuk berjaya di wilayah lautan selama berpuluh tahun hingga runtuhnya Kesultanan yang diakibatkan oleh politik adu-domba Belanda. Pada tahun 1913 terjadilah eksodus keluarga Sultan ke Singapura dan kesultanan pun ditutup. Setelah itu, secara perlahan-lahan Orang Suku Laut pun bercerai-berai seperti anak ayam kehilangan induknya. Jumlahnya kian merosot, hingga hanya tinggal 3.931 jiwa atau 806 kepala keluarga di Kabupaten Lingga pada tahun 2018.

Terikat Janji Leluhur

“Sekarang mereka seperti tidak ada induknya dan secara fisik kocar-kacir, tetapi sesungguhnya mereka terikat janji leluhur,” ungkap Wawan, Sekretaris Yayasan Kajang yang juga bekerja di Dinas Sosial Kabupaten Lingga. Wawan yang merupakan seorang seniman ini kini giat mengumpulkan berbagai kearifan lokal, adat istiadat, catatan sejarah, dan berbagai serapah atau mantra-mantra Orang Suku Laut – untuk dilestarikan dan dibukukan.

sumber gambar: dokumen pribadi
sumber gambar: dokumen pribadi
Menurut Wawan, berdasarkan penelitian dan wawancaranya terhadap Orang Suku Laut, sesungguhnya kesetiaan Orang Suku Laut tidak terikat pada Sultan, tetapi pada seorang Datuk yang bernama Megat Kuning dan keturunan-keturunannya. Meski tak ada catatan tertulis, legenda ini dikisahkan turun temurun pada setiap Orang Suku Laut dan masih kental dipegang di antara mereka.

Alkisah pada abad 16, datanglah seorang datuk (seorang yang kaya dan berpengaruh) dari Jambi bernama Datuk Megat Kuning ke Pulau Mepar, salah satu pulau kecil yang berhadapan dengan Pulau Daik di Kepulauan Riau. Pulau kecil itu kosong dan tak berpenghuni. Namun pada suatu pagi datuk heran karena terdengar suara riuh rendah di pesisir pantai. Ternyata sang datuk melihat rombongan sampan Orang Suku Laut berlayar berjejer mengantar ikan dan aneka persembahan pada ratu mereka.

Orang Suku Laut dalam sampan kajangnya. Sumber gambar: dokumen pribadi
Orang Suku Laut dalam sampan kajangnya. Sumber gambar: dokumen pribadi
Menurut legenda, sang ratu yang disebut Mak Oyah ini memiliki payudara yang panjang dan berkesaktian tinggi. Maka Datuk Megat Kuning pun tertarik untuk mengajaknya bergabung. Sang Ratu Laut menolak dan malah mengajaknya bertanding. “Jika engkau memenangkan pertandingan ini, maka seluruh keturunan Suku Laut akan mengabdi padamu dan pada seluruh keturunanmu,” janjinya.

Kemudian Mak Oyah dan Datuk Megat Kuning pun bertanding. Karena pertandingan pada akhirnya dimenangkan oleh sang datuk, maka sejak saat itu seluruh Suku Laut beserta keturunannya berjanji setia pada Datuk Megat Kuning dan keturunannya. Bahkan setelah Datuk Megat Kuning meninggal dan dimakamkan di Gunung Tande, keturunan-keturunannya seperti Datuk Kaya Montel, pun masih sering memanggil dan mengumpulkan Orang Suku Laut untuk melakukan ritual bersama terutama pada saat bulan purnama. Orang Suku Laut yang datang ke Daik bahkan menghormati rumah datuk dan tak pernah berani melintas di pekarangan depannya.

Rumah Datuk di Daik. Sumber gambar: dokumen pribadi.
Rumah Datuk di Daik. Sumber gambar: dokumen pribadi.
Akhir-akhir ini kebersamaan itu hilang setelah keturunan datuk yang terakhir sering mengosongkan rumahnya di Daik. Kini Orang Suku Laut pun kocar-kacir tanpa induk, kehilangan praktik budaya leluhur, kehilangan keyakinan, kehilangan naungan, kehilangan sejarah, dan kehilangan identitas.

Rumah-rumah Orang Suku Laut dari Pemerintah. Sumber gambar: dokumen pribadi.
Rumah-rumah Orang Suku Laut dari Pemerintah. Sumber gambar: dokumen pribadi.
Meski sejak tahun 2008 Pemerintah mulai berusaha ‘merumahkan’ Orang Suku Laut atau merelokasi mereka dari kehidupan di sampan yang berpindah-pindah menjadi masyarakat yang menetap dan berusaha ‘memanusiakan’ serta ‘membudayakan’ mereka – perjalanananku selama dua pekan di Lingga mengungkap banyak cerita tentang Orang Suku Laut yang gamang. Mengapa Suku Laut kini sulit mendapatkan ikan di laut? Mengapa mereka terpinggirkan di rumah mereka sendiri? Kisahnya merupakan tulisan tersendiri.

***

Sumber: Yayasan Kajang dan berbagai sumber lainnya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun