Mohon tunggu...
Laksmi Devi
Laksmi Devi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ilmu Komunikasi UAJY 2019

Selamat membaca!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TikTok Menjadi Wadah Baru untuk Bebas Berekspresi

22 Maret 2021   09:45 Diperbarui: 22 Maret 2021   10:13 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Manusia sebagai makhluk hidup tentunya memiliki rasa untuk mengungkapkan isi hatinya. Salah satu cara manusia mengungkapkan isi hatinya adalah dengan berekspresi, entah berekspresi dengan raut muka, gerakan tubuh, cara berkomunikasi, dan lain-lain. Hal tersebut membuat banyak wadah yang disediakan sebagai sarana berekspresi. Salah satunya adalah dengan aplikasi TikTok yang saat ini sedang naik daun.

Aplikasi TikTok yang saat ini sedang naik daun sudah menjadi budaya populer di segala kalangan umur. Dari anak kecil sampai orang tua sudah mengenali dan paham betul bagaimana cara menggunakan aplikasi ini. Budaya populer sendiri adalah gabungan dari dua kata yaitu "budaya" dan "populer". Budaya populer merupakan budaya yang disukai oleh banyak orang dan tidak terikat oleh kelas sosial tertentu. 

Budaya populer saat ini semakin besar dampaknya di era digital saat ini, karena kemudahan akses ke informasi memiliki dampak signifikan pada budaya populer yang ada di suatu negara (Sorrels, 2015). Oleh karena itu, budaya populer sangat mudah berkembang dalam masyarakat zaman sekarang karena masyarakat zaman sekarang ingin mendapatkan akses yang mudah dalam menerima, mencari, dan menyebarkan informasi, salah satunya melalui aplikasi TikTok.

Dengan kemudahan cara pemasarannya, aplikasi TikTok menjadi budaya populer yang sangat berkembang seiring pesatnya perkembangan teknologi yang semakin nyata. Hal tersebut terlihat karena TikTok dapat menjadi salah satu sosial media dengan menggunakan smartphone untuk bebas berekspresi dengan cara apapun.

Isi dari konten TikTok sangat banyak dan beragam. Mulai dari konten menari, menyanyi, berparodi, melawak, bahkan sampai mengedukasi. Tidak heran mengapa banyak yang tertarik dengan aplikasi ini. Selain kontennya yang banyak dan beragam, konten-konten tersebut juga dapat digunakan sebagai penghibur karena pada beranda penggunanya, konten akan terus berubah menyesuaikan dengan apa yang penggunanya suka dan tidak suka.

Pengalaman saya dalam menggunakan aplikasi ini sangat berkesan. Mengapa begitu? Saya merasa sangat terhibur dengan aplikasi ini. Saya dapat memilih konten apa yang saya inginkan masuk ke dalam beranda saya. Saya juga dapat membuat konten sesuai dengan yang saya ingin buat dan bebas berekspresi tanpa harus merasa sulit dalam menggunakan fitur penyuntingan dalam aplikasi ini. Tetapi terdapat trend yang membuat saya berpikir bahwa ini tidak layak untuk dijadikan ajang mengekspresikan diri. Trend tersebut dinamakan #GlowUpChallenge.

Trend #GlowUpChallenge awalnya berisikan konten seorang individu memasang foto atau video saat Ia masih memperjuangkan fisiknya agar dapat diterima oleh lingkungannya. Tetapi seiring berjalannya waktu, trend ini disalahgunakan dengan cara membuat video dengan filter yang awalnya seorang individu berkulit hitam karena filter, tiba-tiba berubah menjadi berkulit putih, yaitu kulit aslinya.

Hal tersebut dapat dikatakan sebagai subkultur ras yang merupakan komponen signifikan dalam membentuk konsep diri konsumen. Sehingga dengan adanya trend tersebut, banyak individu dengan berbagai ras kulit putih maupun kulit hitam berbondong mencoba trend tersebut agar dapat melihat perbedaan yang ada. Padahal trend tersebut hanya manipulatif oleh si pembuat trend agar si pembuat konten lebih mencintai diri sendiri apa adanya.

Dengan demikian, terdapat politik identitas subkultur yang di mana politik tersebut digunakan agar suatu kelompok atau individu dapat mencapai keinginannya. TikTok yang menyediakan platform sebagai wadah untuk bebas berekspresi mengajak seluruh penggunanya untuk menggunakan aplikasi tersebut dengan bijak, dan kehadiran trend #GlowUpChallenge mengajak seluruh pembuat trend ini dan secara tidak langsung mengkampanyekan untuk mencintai diri sendiri, bukan untuk coba-coba bahkan menghina suatu ras. Oleh karena itu, ada baiknya kita selalu melihat sesuatu dari dampak positifnya dan tetap waspada dengan kehadiran dampak negatifnya.

Daftar Pustaka

Sorrels. (2015). Globalizing Intercultural Communication. California: Sage Publications, Inc.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun