Sekali lagi, menurut Freire, tujuan pendidikan adalah mencapai kesadaran kritis. Sederhananya kesadaran kritis adalah kemampuan seseorang untuk membaca dan menganalisis realitas (pendidikan, sosial, politik, dll) yang ada disekitarnya.
 Tapi selain kesadaran kritis, menurut Freire, ada dua kesadaran lain sebelumnya yaitu kesadaran magis dan kesadaran naf. Kesadaran magis dalam ospek contohnya seperti ini:
Senior: Â "Dengarkan ini wahai mahasiswa baru. Ada dua pasal yang harus kalian pahami selama menjadi Maba. Pertama senior selalu benar. Kedua, kalau senior salah, kembali ke pasal pertama. Tidak perlu bertanya, itu sudah mutlak"
Maba (dengan kepala gundul ala militer yang tertunduk): "Iya kak", "Iya kakanda"
Atau contoh lain, menyuruh maba gundul tanpa pernah menjelaskan alasan yang rasional mengapa harus gundul saat ospek. Walau sebenarnya jika dipikir-pikir gundul tidak punya hubungan apa-apa dengan pengetahuan mereka. Kampus kok gaya militer.Â
Ketidakmampuan menjelaskan alasan gundul dan memaksakan itu tetap diberlakukan adalah contoh kesadaran magis itu. Seolah itu sesuatu yang sudah 'given' yang tak bisa ditawar lagi oleh Maba. Berdebat dengan Maba tentang mengapa harus gundul itu kan bisa menunjang sikap kritis maba, alih-alih menghindari perdebatan atau diskusi.
Kemudian kesadaran naf. Contohnya adalah melihat maba sebagai orang yang bodoh, orang yang tak bisa berbuat banyak, harus diberi pengetahuan sebanyak-banyaknya oleh seniornya. Padahal dalam konteks pengetahuan, tidak mudah untuk menjustifikasi seseorang itu bodoh apalagi hanya dilihat dari satu sudut pandang saja.
Freire mengajukan konsep pendidikan kritis yang sifatnya dialogis dan partisipatif. Tidak subjek-objek melainkan semuanya adalah subjek pembelajar atau subjek pendidikan.Â
Pendidikan kritis ala Freire ini bukan hanya bisa diadopsi oleh mahasiswa sebagai paradigma kaderisasi tetapi juga bisa menjadi model pendidikan untuk menganalisis hal-hal yang sifatnya lebih rumit seperti menganalisis persoalan sosial yang jauh lebih rumit yang dialami oleh masyarakat.
Bukankah kampus sudah seharusnya melahirkan orang-orang kritis?Â