Mohon tunggu...
Muhammad Haris
Muhammad Haris Mohon Tunggu... Freelancer - Sebuah Usaha Mengabadikan Pikiran

Menulis untuk mengenali diri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tentang Chairil Anwar dalam Buku "Aku" Karya Sjuman Djaya

23 Agustus 2020   15:05 Diperbarui: 23 Agustus 2020   20:31 928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Apakah kau tahu Chairil Anwar?" Jika pertanyaan ini diajukan kepada saya sebelum membaca buku ini, saya akan menjawab, "Dia adalah penyair hebat. Penyair yang saya tahu karena puisi yang judulnya 'AKU' Penyair yang syair-syairnya sering di tulis di tembok-tembok," Sebatas itu!

Beberapa minggu yang  lalu saya membeli buku ini. Buku yang ditulis oleh Sutradara Sjuman Djaya. Dari buku ini, saya mengetahui beberapa hal yang tak pernah saya ketahui tentang penyair yang sering di sebut "Binatang Jalang" ini. Saya membeli buku ini karena rasa penasaran saya kepada Tokoh ini.

Saat masih SD, saya sudah mengenal nama ini. Guru Bahasa Indonesia meminta saya dan teman-teman untuk membaca puisi  "AKU" yang terkenal itu. Kami bergiliran membacanya dengan gaya dan intonasinya masing-masing. Sebatas itu. 

Di sekolah banyak hal yang tak tuntas diajarkan. Setelah membaca puisi, nama ini tak pernah dibahas lebih jauh. Tak ada lagi informasi lain tentang tokoh ini.  Tak pernah di beritahu siapa sebenarnya Chairil Anwar, bagaimana hidupnya? Dia berlalu begitu saja.

Dari buku ini setidaknya  ada empat hal yang baru saya ketahui:  Pertama, Chairil Anwar juga terlibat dalam mempertahankan kemerdekaan. Dalam hidupnya dia lebih dikenal sebagai penyair. 

Tapi di luar itu, dia juga terlibat dalam berjuang mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamirkan, perlawanan terhadap tentara Inggris yang  masuk ke Indonesia setelah Jepang menyerah pada sekutu saat itu. Dia ikut berangkat dari Jakarta menuju Yogya dan Surabaya untuk membantu "Arek-arek Suroboyo"  berjuang. 

Walau hidupnya terlalu bebas, dia keluyuran kemana saja, tak ada yang bisa mengaturnya tapi bukan berarti dia tidak berkontribusi dalam mempertahankan kemerdekaan. 

Dia juga diminta oleh kawan-kawannya saat itu untuk menulis kalimat-kalimat  untuk mengajak dan menyemangati orang-orang untuk berjuang. "Bung, ayo bung" adalah contoh kalimat --kalimat itu. Selain itu, bagi para pemuda pejuang  saat itu, puisi "Aku"-nya Chairil  dianggap sebagai manifestasi anti fasis.

Kedua, dia seorang yang "gila" baca. Tidak mengherankan orang-orang terdidik saat itu rajin membaca buku, selain kegemaran, situasi sosial politik juga mungkin menjadi salah satu faktor yang membuat mereka begitu giat membaca. 

Mereka butuh banyak pengetahuan untuk bisa melawan dan merdeka. Tapi Chairil bukan hanya suka baca, dia "gila" baca. Buku tak pernah di lepasnya kemanapun dia pergi. Dia membaca sambil berjalan, dalam kondisi sakitpun dia masih terus berusaha membaca. Bahkan dia tidak takut untuk mengambil buku di toko buku dan pergi begitu saja tanpa membayar buku itu. 

Saya jadi membayangkan guru saya kala itu berkata "Anak-anak, Chairil Anwar itu adalah orang yang sangat rajin membaca. Dia membawa buku kemana saja. 

Jadi, kalau ingin menjadi seperti dia, menulis puisi hebat maka rajinlah baca buku" mungkin saja ada di antara kami ada yang menanamkan perkataan sang guru itu dipikiran kami, lalu menulis puisi-puisi hebat. Mungkin saja!

Ketiga, Chairil adalah keponakan dari Perdana Menteri pertama Republik Indonesia: Sutan Syahrir. Dia bisa masuk begitu saja dalam ruangan yang di dalamnya ada banyak pejuang yang sedang membahas bagaimana cara mempertahankan kemerdekaan karena hal itu. 

Pada satu waktu, dia menginterupsi orang-orang yang sedang serius berdiskusi hanya untuk mengambil beberapa batang cerutu dari meja Syahrir. Di lain waktu dia dengan berani menerobos masuk membelah para pengawal untuk bisa berada di ruangan yang sama dengan Syahrir.

Keempat, Chairil Anwar mati muda. Hidupnya yang keluyuran, pergi kemana saja, tidur dimana saja membuat badannya menjadi sakit-sakitan, walau tentu saja dia tidak begitu peduli, dia akan terus pergi kemana saja. 

Dia juga masih saja terus menulis naskah-naskah dengan tubuhnya yang melemah itu. Dia juga enggan ke dokter walau beberapa kawannya telah menyarankannya. Batuk yang sudah lama menyerangnya tak pernah benar-benar pergi meninggalkannya sampai akhirnya pada satu waktu dia tidak mampu lagi bertahan dari sakitnya yang akhirnya membawanya kembali kepada Tuhan. 

Chairil hidup 26 tahun dari 22 Juli 1922 sampai 28 April 1949. Dia telah lama pergi, tapi karya-karya masih tetap hidup dan mungkin sampai seribu tahun lagi. Bagiku Chairil juga benar, "Nasib adalah kesunyian masing-masing."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun