Mohon tunggu...
Asaaro Lahagu
Asaaro Lahagu Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Isu

Warga biasa, tinggal di Jakarta. E-mail: lahagu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jalan Terjal Implementasi Paket Kebijakan II Jokowi dan Disharmoni Kabinet Pengusaha

1 Oktober 2015   14:55 Diperbarui: 1 Oktober 2015   14:55 923
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Para pengusaha bingung melihat para menteri Jokowi yang tak kompak. Lihatlah Menteri ESDM Sudirman Said yang ogah menghadiri rapat Menko Maritim dan Sumber Daya. Para pengusaha juga pusing mendengar Menteri Susi Pudjiastuti yang suka gembar-gembor bahwa produksi ikan Indonesia kian membludak meski kenyataan malah sebaliknya, sementara PHK di sektor ini juga melesat.

Ketidak-kompakan para menteri Jokowi, terlihat sangat kental pada kebijakan paket ekonomi I yang dikeluarkan 9 September lalu. Kebijakan itu telah menimbulkan pro-kontra di antara para menteri . Akibatnya rumusan paket kebijakan yang dikeluarkan menjadi ambigu dan tak jelas.  Tak heran kalau Menko perekonomian Darmin Nasution sendiri  mengaku sendiri bahwa paket ekonomi yang telah diumumkan “nggak cukup jelas.” Darmin juga menyadari tentunya kenapa setelah paket tersebut diumumkan pada 9 September lalu, nilai rupiah dan harga saham rontok secara konsisten. Bagi saya, paket kebijakan ekonomi I itu sangat lucu. Kalau memang sudah tahu paket itu tidak jelas, mengapa dikeluarkan?

Agustus lalu, Jokowi memerintahkan seluruh jajaran menterinya untuk melakukan deregulasi secara besar-besaran. Tapi yang terjadi nyaris nol. Perintah Jokowi tidak terlihat implementasinya di tingkat bawah. Para menteri terlihat sangat lamban dalam memangkas birokrasi. Mereka terlalu banyak berpikir konsekuensi jika tahap-tahap birokrasi dipangkas. Akibatnya, menjelang dikeluarkannya paket kebijakan II itu, Jokowi marah besar kepada para menterinya yang tidak mampu memangkas birokrasi di kementeriannya masing-masing.

Selain disharmoni di antara para menterinya, Jokowi juga terlihat mengabaikan azas profesionalitas dalam mengangkat para pejabat.  Pada tanggal 22 September lalu, Jokowi mengangkat aktifis LSM tanpa rekam jejak di bidang infrastruktur, Fadjroel Rachman, menjadi komisaris Utama Adhi Karya. Ini aneh, Fadjroel tahu apa tentang infranstruktur? Kejadian semacam ini sudah terjadi berulang kali. Salah satunya adalah pengangkatan seorang pakar hukum tata negara menjadi komisaris utama Jasa Marga. Ada apa dengan Jokowi?

Kenyataan di atas mengindikasikan bahwa Jokowi masih terbelenggu oleh berbagai kepentingan pribadi para pendukungnya. Ada yang berkeras pada isme anti neolib, ada pula yang bersikeras bahwa kebijakan pemerintah tak boleh mengganggu liberalisme. Memang, sekarang ini untuk pertama kalinya pemerintah didominasi oleh pengusaha. Bagaimana tidak, posisi presiden dan wakil presiden diduduki oleh pengusaha. Demikian pula dengan posisi strategis lainnya seperti Menkopolhukam, Menteri BUMN, dan Menteri Perdagangan yang diduduki oleh pengusaha. Tak kalah pentingnya adalah untuk pertama kalinya posisi Menko diduduki oleh ideolog anti Neolib, Rizal Ramli.

Bertolak dari kenyataan di atas sungguh aneh bila Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) menganggarkan sosialisasi Revolusi Mental di televisi sebesar Rp 97,8 miliar. Sebab, bukankah revolusi semacam itu sesungguhnya harus dimulai dari level pimpinan. Setidaknya untuk mengingatkan mereka bahwa kabinet itu harus kompak, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.

Bila ketidakompakan kabinet terus berlangsung, BPJS Ketenagakerjaan tentu harus menghabiskan lebih banyak uang bagi korban PHK. Kini lembaga ini sudah menghabiskan Rp 1,9 triliun untuk membayar Jaminan Hari Tua, termasuk untuk 26 ribu korban PHK. Tahun depan, bila PHK terus melesat seperti sekarang, nilainya bisa melesat berkali-kali lipat.

*****

Merespon kebijakan paket ekonomi I yang tak mempan memperbaiki ekonomi,  Jokowi dengan cepat mengeluarkan  paket kebijakan ekonomi tahap II (29/9/2015). Tujuannya jelas  memancing investor asing. Namun lagi-lagi, kebijakan ini terlihat  tidak realistis.

Di awal bulan Agustus, dengan yakinnya Presiden Jokowi mengatakan bahwa ekonomi di bulan September akan meroket. Kenyataannya, justru rupiah semakin terpuruk hingga menyentuh level 14.800 per dollar AS. Runyamnya lagi, para pemain pasar uang masih melihat rupiah bakal merosot lebih dalam. 

Melemahnya rupiah bukan saja akibat dari ketidakpastian bank sentral AS, The Fed, dalam menaikan suku bunganya. Tapi juga akibat Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang dalam triwulan II tahun ini defisit sebesar US$ 2,9 miliar. Padahal, di triwulan I, NPI masih surplus sebesar US$ 2,1 miliar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun