Mohon tunggu...
Komunitas Lagi Nulis
Komunitas Lagi Nulis Mohon Tunggu... Penulis - Komunitas menulis

Komunitas Penulis Muda Tanah Air dari Seluruh Dunia. Memiliki Visi Untuk Menyebarkan Virus Semangat Menulis Kepada Seluruh Pemuda Indonesia. Semua Tulisan Ini Ditulis Oleh Anggota Komunitas LagiNulis.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Merah

10 September 2020   19:29 Diperbarui: 10 September 2020   19:32 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh Irvan Hidayat

Mentari sore itu mulai surut, gelap menyembul dari langit timur dan asap di Kota Kebul semakin tebal. Sepeda motor dan mobil berbaris menunggu antrian lampu merah yang tinggal 27 detik lagi. Beberapa saat kemudian, penanda waktu di lampu lalu lintas itu menunjukkan angka tiga, tapi klakson motor sudah bersahut-sahutan. Kepala Ravni tersentak, matanya terbelalak kaget karena dihardik pengendara motor di sampingnya. Ravni tak menghiraukan umpatan dari pengendara itu. Ia langsung tancap gas, tak sabar untuk sampai ke indekosnya.

Butuh waktu satu jam dari kantor tempatnya bekerja untuk sampai ke indekosnya di pinggiran Kota Kebul, itu pun kalau ia pulang sebelum pukul 16.00, jika lebih dari itu paling cepat ia akan sampai dengan waktu 1 jam 30 menit. Sudah lima tahun ini ia mengulang rute jalan yang sama, lampu lalu lintas yang sama, pekerjaan yang sama, suara klakson dan asap kopaja yang sama.

Sistem di otaknya sudah sangat akrab dengan setiap detail jalanan yang dilalui. Ia sama sekali tidak khawatir akan terjadi kecelakaan sekalipun matanya tertutup sepersekian detik. Lagi pula Ravni bukan tipe pengendara yang suka nyalip kanan-kiri, ia cenderung konsisten pada kecepatan 50 km/jam dengan jalur kanan.

"Jang Ravni gak berhenti dulu, gorengannya masih anget nih!" Mang Asep tukang gorengan di perempatan Jalan Siliwangi 09 memanggil Ravni yang tengah melintas. Jangankan menepi, menengok saja tidak, pandangan Ravni terus ke depan hingga ada anak kucing sekelibat lewat dan hampir terlindas. Ia mengerem mendadak, kaca helm yang tersingkap pun turun. Menemui anak kucing itu tidak terluka, ia melanjutkan perjalanan yang lebih dari setengahnya lagi.

Jam menunjukan pukul 17.30, gelap sudah sampai batas langit tengah dan asap semakin memerihkan mata. Lampu-lampu jalanan yang berjejer mulai menyala. Tidak jauh dari tempat kucing yang hampir terlindas, terjadi kecelakaan beruntun. Pengendara lain berkerumun karena polisi terlihat belum sampai ke lokasi. Tidak seperti sapaan dari Mang Asep yang Ravni abaikan, kali ini ia tertarik untuk berhenti dan melihat kerumunan itu.


Menyelinap di lingkaran manusia yang berkerumun, Ravni sampai di barisan terdepan dan melihat tiga pengendara tertahan di dalam mobilnya dan dua pengendara motor yang tergeletak di pinggir motornya. Ravni merogoh saku jaketnya dan mengambil ponsel lalu memotret kelima pengendara itu. Menyadari motornya terparkir di pinggir jalan, ia keluar dari kerumunan itu dan melanjutkan perjalanan.

Akibat kecelakaan itu, ruas jalan macet total. Ravni mencoba mencari jalan lain agar bisa sampai lebih cepat. Ia memilih satu jalan alternatif melewati gang-gang di salah satu pemukiman yang cukup padat. Ravni terpaksa harus melewati jalanan yang hanya muat untuk dua motor, itu pun kalau tidak ada anak-anak kecil bermain bola.

Beruntung sore itu anak-anak sudah pergi ke masjid untuk salat Maghrib, pakaiannya rapi dengan tabung oksigen kecil di belakang punggungnya. Jalanan bisa dilewati Ravni tanpa hambatan, hingga sampai pada satu sudut gang Ravni melihat cermin milik tukang cukur tradisional. Dalam cermin yang terhalangi asap putih tebal itu Ravni melihat sebuah hutan yang hijau dan kakek-kakek tua renta sedang mencangkul tanah yang sangat luas.

Pukul 18.11 Ravni sampai di indekosnya, ia melempar tas dan membuka pakaian kerja. Di kamar mandi ia termenung memikirkan apa yang dia lihat dalam cermin di gang tadi. Ia anggap itu hanya delusi akibat kelelahan kerja. Selepas Isya ia membaringkan diri seraya melepas semua penat, matanya terpejam sampai suara azan Subuh membangunkannya.

Ritual pagi setelah sembahyang Subuh, Ravni sarapan, menyeruput kopi, membaca buku dan membaca berita terkini. Pagi itu Ravni membaca buku berjudul "Klorofilia" sebuah novel terjemahan dari Eropa Timur. Novel itu berisi cerita tentang makhluk yang hidup dalam klorofil dedaunan di pohon. Kehidupan memproduksi oksigen, karbondioksida, dan keseharian makhluk klorofilia itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun