Dari ujung jalan hingga ujung laut, hampir tak ada celah tanpa buruh yang berkeringat dan bergelut dengan waktu. Ada yang bekerja di bawah tenda, bersama dengan para buruh lainnya, ada juga yang bekerja di depan rumah. Spanduk yang terjuntai di bawah tenda menunjukkan jadwal seragam para buruh selama tujuh hari dalam seminggu, menandakan bahwa hal ini telah menjadi sebentuk rutinitas yang telah menyatu dengan nadi para buruh, yang terus berulang tanpa henti, hari demi hari.
Memperhatikan pekerjaan para warga di darat memang sangat memukau, tetapi saya tidak dapat hanya berhenti di sana, "Saya harus ikut melaut." Tekad saya dalam hati.Â
Akhirnya saya pergi ke tempat perahu nelayan dilabuhkan. Sesuatu tentang perahu-perahu yang terparkir disitu membuat saya terdiam sejenak, hanyut dalam pikiran saya terhadap pemandangan itu. Panggilan dari seorang nelayan menyadarkan saya kembali, "Neng ngapain di sini?" Tanyanya. "Mau meliput buat tugas, boleh ga pak?" Tanya saya dan dijawab kembali, "Oh, ya boleh."
"Pak, kalau saya mau ikut melaut boleh ga ya?" Tanya saya padanya.
"Boleh, tapi harus datang pagi loh. Jam enam pagi kita udah berangkat," ujarnya.
Jujur saja, hati saya langsung bersinar mendengar hal itu, saya dapat menambah pengalaman baru yang membuka mata dan cara pandang saya terhadap pekerjaan nelayan.Â
"Kami datang lagi ya pak, minggu depan," ucap kami sambil melambaikan tangan dan meninggalkan lokasi.
Dua minggu kemudian, saya dan teman-teman kembali lagi ke Kampung Dadap Baru. Ya, meskipun sedikit berbeda dari janji kami yang akan datang minggu depan, karena kesibukan kami masing-masing sehingga baru bisa mengunjungi tempat ini lagi dua minggu setelahnya.Â
Kami berusaha mencari nelayan yang hendak berlayar, dan meminta izin untuk menumpang di kapalnya. Kami sempat ditolak sekitar dua atau tiga kali, tetapi kami melihat satu perahu yang sudah mau pergi, bahkan sudah menjauh dari pelabuhan. Kami memang skeptis kalau akan diterima oleh para nelayan di perahu tersebut, apalagi setelah ditolak nelayan yang masih berlabuh, apa kemungkinannya bakal diterima oleh nelayan yang bahkan sudah bergerak dari pelabuhan.
Namun, karena dikejar waktu, kami harus mengusahakan setiap kesempatan yang ada. "Pak, mau cari kerang ijo?" Akhirnya saya teriak, memanggil para nelayan di perahu yang telah beranjak itu.
"Iya neng,"