Mohon tunggu...
Lady Serenity
Lady Serenity Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswi Jurnalistik yang suka menulis, tetapi tidak dengan tenggat waktu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menelusuri Dadap: Hidup dan Harapan yang Bertumpu pada Kerang Hijau

4 Juni 2025   18:24 Diperbarui: 8 Juni 2025   10:41 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nelayan kerang ijo Kampung Dadap Baru (Sumber: Lady Serenity)

Dadap, kelurahan kecil di Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, berbatasan langsung dengan Dubai mini versi tropis, yang lebih dikenal dengan PIK 2, terkenal sebagai wilayah pesisir yang identik dengan hasil laut, khususnya kerang hijau (kerang ijo). Pada sebuah Sabtu di bulan Mei, saya datang untuk meliput daerah perbatasan Dadap dengan PIK 2, tetapi dalam perjalanan menuju Kampung Dadap Baru, satu hal menangkap perhatian saya dan membuat saya terpukau. Dipanggil sebagai nelayan kerang ijo, sebuah profesi yang tidak pernah saya dengar sebelumnya, tentu saja cepat membuat saya penasaran dan ingin tahu lebih lanjut.

Sebelum turun dari mobil, saya sudah mempersiapkan diri saya, "Ga usah harap mereka akan ramah dan menerima kita yang membawa kamera," ucap saya dengan tegas kepada tiga orang teman yang datang untuk liputan bersama.

Saat turun, karena kebingungan maka kami mendekati salah satu warga dan bertanya, "Permisi bu, gimana kalau mau ketemu dengan Pak RW nya ya?"

"Oh tunggu aja di pos ronda, tak panggilin," ucapnya dengan ramah. Saya pun sedikit terkejut dengan respons ramahnya.

Saya menunggu di pos ronda seperti yang diarahkan dan akhirnya berbincang dengan Pak RW. Kami yang awalnya hanya datang untuk meminta izin dan survei lokasi ternyata langsung diizinkan untuk meliput lokasi tersebut. Akan tetapi, kami datang tanpa persiapan liputan sehingga hanya dapat mengambil beberapa gambar dan mengenal wilayah ini melalui kacamata para warga.

Buruh pengupas kerang ijo (Sumber: Lady Serenity)
Buruh pengupas kerang ijo (Sumber: Lady Serenity)

Awalnya saya bertemu dengan seorang ibu buruh pengupas kerang ijo, kami sempat berbincang sebentar, dan beliau menceritakan sedikit kehidupan warga Kampung Dadap Baru, "Nelayannya nyelem, cari kerang. Kalo udah dianter, kita ibu-ibu yang ngupasin," jelasnya. Tepat di saat itu, saya dan teman saya saling melihat satu sama lain dan berseru, "mirip haenyeo!" Sebutan bagi penyelam perempuan dari pesisir Korea, khususnya Pulau Jeju.

Saya sendiri langsung tertarik dengan pembahasan ini karena kemiripannya dengan sesuatu yang telah familier bagi saya, yaitu haenyeo. Tidak saya sangka akan bertemu dengan versi lokalnya.

Setelah berbincang sebentar, saya pamit kepada ibu tersebut dan mulai jalan lagi mendalami jantung kampung tersebut. Saya menjadi paham setelah melihat langsung, mayoritas penduduk di sana bermata pencaharian sebagai nelayan kerang hijau dan buruh pengupas kerang.

Gunung kerang ijo (Sumber: Eirene Theofilia Tony)
Gunung kerang ijo (Sumber: Eirene Theofilia Tony)

Jalanan yang memberikan respons "kres kres" pada setiap langkah yang diambil, akibat cangkang-cangkang kerang ijo yang berhamburan di jalanan. Cangkang kerang ijo yang sudah entah berapa lama tertimbun di sana itu bersatu dengan tanah dan membentuk jalanan yang padat, menggantikan aspal, bahkan aman untuk dilalui kendaraan sekalipun. Menurut Pak RW, warga setempat menamainya “Gunung Kerang”.

Dari ujung jalan hingga ujung laut, hampir tak ada celah tanpa buruh yang berkeringat dan bergelut dengan waktu. Ada yang bekerja di bawah tenda, bersama dengan para buruh lainnya, ada juga yang bekerja di depan rumah. Spanduk yang terjuntai di bawah tenda menunjukkan jadwal seragam para buruh selama tujuh hari dalam seminggu, menandakan bahwa hal ini telah menjadi sebentuk rutinitas yang telah menyatu dengan nadi para buruh, yang terus berulang tanpa henti, hari demi hari.

Memperhatikan pekerjaan para warga di darat memang sangat memukau, tetapi saya tidak dapat hanya berhenti di sana, "Saya harus ikut melaut." Tekad saya dalam hati. 

Akhirnya saya pergi ke tempat perahu nelayan dilabuhkan. Sesuatu tentang perahu-perahu yang terparkir disitu membuat saya terdiam sejenak, hanyut dalam pikiran saya terhadap pemandangan itu. Panggilan dari seorang nelayan menyadarkan saya kembali, "Neng ngapain di sini?" Tanyanya. "Mau meliput buat tugas, boleh ga pak?" Tanya saya dan dijawab kembali, "Oh, ya boleh."

"Pak, kalau saya mau ikut melaut boleh ga ya?" Tanya saya padanya.

"Boleh, tapi harus datang pagi loh. Jam enam pagi kita udah berangkat," ujarnya.

Jujur saja, hati saya langsung bersinar mendengar hal itu, saya dapat menambah pengalaman baru yang membuka mata dan cara pandang saya terhadap pekerjaan nelayan. 

"Kami datang lagi ya pak, minggu depan," ucap kami sambil melambaikan tangan dan meninggalkan lokasi.

Dua minggu kemudian, saya dan teman-teman kembali lagi ke Kampung Dadap Baru. Ya, meskipun sedikit berbeda dari janji kami yang akan datang minggu depan, karena kesibukan kami masing-masing sehingga baru bisa mengunjungi tempat ini lagi dua minggu setelahnya. 

Kami berusaha mencari nelayan yang hendak berlayar, dan meminta izin untuk menumpang di kapalnya. Kami sempat ditolak sekitar dua atau tiga kali, tetapi kami melihat satu perahu yang sudah mau pergi, bahkan sudah menjauh dari pelabuhan. Kami memang skeptis kalau akan diterima oleh para nelayan di perahu tersebut, apalagi setelah ditolak nelayan yang masih berlabuh, apa kemungkinannya bakal diterima oleh nelayan yang bahkan sudah bergerak dari pelabuhan.

Namun, karena dikejar waktu, kami harus mengusahakan setiap kesempatan yang ada. "Pak, mau cari kerang ijo?" Akhirnya saya teriak, memanggil para nelayan di perahu yang telah beranjak itu.

"Iya neng,"

"Mau ikut boleh ga pak?"

Tiga orang nelayan di perahu tersebut tampak kebingungan, saling menatap satu sama lain, dan berusaha untuk menolak kami,

"Sampe siang loh,"
"Gapapa pak,"

"Ujan loh,"

"Gapapa pak kita bawa payung,"

Setelah menatap satu sama lain sekali lagi, "Yaudah ayo naik" ucap salah satu nelayan tersebut. "Terima kasih pak!" Teriak kami dengan girang karena akhirnya usaha kami datang subuh-subuh ke lokasi yang tidak dekat ini menemukan titik cerah.

Surya (48), nelayan kerang ijo (Sumber: Eirene Theofilia Tony)
Surya (48), nelayan kerang ijo (Sumber: Eirene Theofilia Tony)

Memerlukan waktu sekitar dua puluh hingga tiga puluh menit untuk sampai ke lokasi pertambangan. Di sepanjang laut, banyak jeriken yang menjadi tempat menambang kerang ijo, “Itu namanya keramba apung. Tempat kita nanem bibitnya. Bibit kerang ijo tuh,” ucap Surya, salah satu nelayan kerang ijo di perahu itu. Keramba apung dikelompokkan dan disusun secara berjajar, tersebar di sepanjang lautan.

Para nelayan akan berhenti di dekat susunan keramba apung yang dijadikan penanda di perairan. Setiap keramba apung terikat rapat oleh tali tambang, tempat bibit kerang hijau ditanam dan tumbuh. Keramba apung yang tenggelam lebih dalam menandakan bahwa kerang hijau di sekitarnya sudah siap dipanen. Namun, hanya kerang yang berukuran besar yang akan diambil, sementara kerang kecil dibiarkan tumbuh selama satu hingga dua bulan ke depan.

Satu per satu nelayan mulai turun dari perahu, menyelam untuk mengumpulkan kerang ijo. Mereka dibantu oleh slang pernapasan yang menjadi sumber oksigen mereka selama di bawah laut. Tak lama kemudian, satu per satu nelayan mulai naik ke perahu kembali, mengangkat jaring yang telah dipenuhi dengan kerang ijo ke atas perahu.

"Waahhhh, banyak banget pak!" Seru kami, kagum dengan hasil tangkapannya. Nelayan merespons dengan senyuman. Satu jaring dari satu nelayan saja telah mampu menutupi permukaan perahu. "Semangat pak!" Sahut kami saat nelayan tersebut hendak turun lagi ke laut. 

Setiap kali nelayan naik, kami terus terkagum dengan hasil tangkapannya, tidak menyangka dapat melihat aksi mereka dengan mata kepala saya sendiri. Kami tidak lupa menyemangati para nelayan yang akan turun menyelam kembali. Kerang ijo yang terkumpul makin banyak dan makin menggunung, menutupi sisi-sisi perahu.

Laut yang awalnya sunyi, mulai terdengar suara mesin lagi,

"Udah puyeng belum? Kita pindah tempat dulu ya." Tanya salah satu nelayan.

"Belum, aman pak." Ucap kami.

Kami berlayar sekitar sepuluh menit untuk pindah ke lokasi selanjutnya. Saat bergerak, saya baru dapat melihat tali-tali penghubung keramba apung di dalam laut.  Tali yang sudah lama berada di dalam air itu masih terlihat kokoh menahan susunan keramba apung agar tidak berantakan.

Dari awal perjalanan hingga di tempat perhentian pertama, semua berjalan dengan aman tanpa ada masalah apa pun. Namun, seketika di perhentian kedua, semua masalah seakan berkumpul mendatangi kami. 

Seketika, hujan yang datang saat subuh dan pergi saat pagi itu datang kembali. Di tengah laut, kami kehujanan. Terdengar seperti suatu hal yang ironis, tetapi itulah kenyataannya. Bukan hujan yang membuat saya panik, tetapi ombak besar yang datang bersamaan dengan cuaca yang memburuk. Ombak menggoyangkan perahu kami dalam sekejap, memang tidak berlangsung lama, tetapi cukup untuk membuat saya langsung berdoa karena takut. Untungnya, saat itu salah satu nelayan kembali ke perahu. Setidaknya, saya sedikit tenang karena ada sosok ahli yang siap menjaga perahu ini.

Beberapa saat kemudian, perahu yang awalnya bergetar karena mesin oksigen yang digunakan para nelayan seketika mati, membuat suasana menjadi hening. Saya dan teman-teman saling menatap satu sama lain, tidak tahu harus berbuat apa di situasi yang tidak familier itu. Teman saya mengkhawatirkan para nelayan yang tidak bisa bernafas di dalam air, "Ah, tenang aja, mereka pasti udah terbiasa," jawab saya. Tak lama kemudian, salah satu nelayan naik ke perahu dengan santai dan memperbaiki mesin yang terhenti itu.

Selang beberapa waktu, para nelayan mulai kembali ke perahu satu per satu, dan menggulung slang oksigen mereka, menandakan sudah saatnya berpindah lokasi. Mereka mengajukan pertanyaan yang sama kepada kami, 

"Udah puyeng belum neng?"

"Masih aman pak," balas kami.

"Ah, bohong. Lihat tuh muka temennya udah gelap," ucapnya meledek teman kami. Tawa kami pun pecah karena sang nelayan yang menyadari perbedaan raut muka teman kami.

Tak terasa, kami sudah berada di laut selama empat jam, dan sekarang saatnya kembali. Bagi kami, kerang ijo yang terkumpul terlihat sangat banyak. Namun, ternyata para nelayan berpendapat beda. "Ini mah masih sedikit, biasanya perahu penuh dari ujung ke ujung, ini kan cuma setengahnya. Biasanya cuma dua jam juga udah balik kita, ini kan lama, kerangnya pada jelek." ujar salah satu nelayan itu.

Perahu nelayan di pelabuhan (Sumber: Lady Serenity)
Perahu nelayan di pelabuhan (Sumber: Lady Serenity)

Mendengar jawabannya, saya terkagum dengan penghasilan warga Kampung Dadap Baru setiap harinya. Berpuluh-puluh perahu berlayar, beratus-ratus keramba apung tertanam di laut, berkilo-kilo kerang terkumpul tiap hari, tetapi tidak habis-habisnya kerang ijo di lautan. Warga Kampung Dadap Baru sangat konsisten dalam menjaga dan membudidayakan kerang ijo menjadi identitas wilayah tersebut, baik sebagai penghasil, maupun pengolah utama kerang ijo di wilayah Kabupaten Tangerang.

Lelah? Memang. Amis? Tentu saja. Panas? Jangan ditanya. Namun, apakah itu semua sebanding dengan pengalaman yang saya dapatkan? Tentu saja, saya sangat bersyukur bisa memperkaya pengetahuan dari pengalaman ini, dan bertemu dengan warga Kampung Dadap Baru yang baik dan ramah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun