Mohon tunggu...
Ladhina Restilia Andreani
Ladhina Restilia Andreani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Prodi Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang

penulis opini

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kesetaraan Gender pada Jurnalis Perempuan

27 Januari 2022   11:49 Diperbarui: 27 Januari 2022   11:56 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di Indonesia terdapat 2000 media cetak, 43.300 media siber, 1.160 media radio dan 394 media televise, hal tersebut dinyatakan pada World Press Freedom Day tahun 2017. Pada media terdapat divisi yang bertugas mencari bahan liputan dan menyampaikannya ke publik. 

Di dalam divisi tersebut terdapat jurnalis perempuan dan laki-laki, keduanya memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama. Namun diskriminasi terhadap jurnalis perempuan masih banyak di media, meskipun hal ini juga tergantung kebijakan masing-masing redaksi. 

Ketimpangan dan juga diskriminasi di media massa menurut sebagian kaum feminis disebabkan oleh masyarkat patriarki yang ingin mendominasi. Ketimpangan dan Diskriminasi gender dalam media massa dapat terlihat pada gambaran secara umum kondisi kesejahteraan jurnalis perempuan yang masih jauh dari harapan, dimana dalam media perempuan berada satu level dibawah mitranya.

Banyak media di Indonesia yang belum memenuhi hak-hak jurnalis perempuan dalam media massa, contohnya cuti haid dan ruang laktasi. Padahal dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 hal itu telah disebutkan didalamnya, namun jurnalis perempuan yang telah menikah dan memiliki anak tetap ditempatkan pada status single. Sehingga membuat mereka tidak bisa mendapatkan hak-hak pekerja seperti tunjangan kesehatan keluarga bahkan asuransi untuk anak mereka. 

Bukan hanya itu, ketimpangan dan deskriminasi ini terjadi karena masih banyak media yang menggunakan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa laki-laki adalah kepala keluarga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga. Hal inilah yang membuat pekerja perempuan belum bisa terpenuhi hak-haknya dalam bekerja meskipun terkadang pekerja perempuannya sebagai kepala rumah tangga.

Tak hanya itu, keterampilan yang dimiliki perempuan terkadang masih tertinggal dibandingkan laki-laki, jadi banyak media massa yang mengutamakan lowongan kerja pada divisi untuk laki-laki dibandingkan perempuan dan juga sangat minim perempuan yang mengelola dunia media. 

Kesempatan jurnalis perempuan dalam redaksi juga belum menunjukkan angka yang kompetitif dibandingkan laki-laki, contohnya pada Sindo yang jajaran redaksinya di dominasi oleh 90% laki-laki dan 10% perempuan. Hal ini bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan terjadi juga di Amerika. Hal ini dapat dilihat pada penelitian Byerly menerangkan bahwakurang dari enam persen perempuan yang mengelola dan memiliki media seperti televise dan radio.

Seringkali perempuan dianggap tidak dapat mengerjakan pekerjaannya sebagai jurnalis ketika sudah berumah tangga, hal ini dituturkan dalam perkataan "Kariermu sedang bagus,namun malah memilih menikah, bisa jadi kariermu setelah ini tidak berkembang". Tentunya perkataan tersebut akan memunculkan pandangan-pandangan baru tentang perempuan. 

Sigma negatif di masyarakat juga masih sering muncul seperti anggapan perempuan yang berada di luar rumah sampai larut malam dianggap tidak aman. Perempuan berhak memilih salah satunya atau bahkan keduanya, contoh memilih berkarier dan tidak melupakan kodratnya sebagai ibu rumah tangga dan hal ini tidak perlu disesalkan karena perempuan tidak bertujuan menjadi maskulin tetapi berguna untuk keluarga dan sanggup bersosialisasi dengan masyarakat.

Perbedaan antara jurnalis laki-laki dan perempuan jelas terlihat pada aspek fasilitas dan tunjangan kesehatan. Contoh kebijakan pada jurnalis perempuan di Koran Sindo meskipun sudah menikah namun tetap dikategorikan single pada fasilitas dan tunjangannya sedangkan pada jurnalis laki-laki mendapatkan fasilitas dan tunjangan kesehatan untuk istri dan anak, selain itu pada kebijakan di Jawa Pos tidak adanya tunjangan biaya persalinan yang diberikan kepada perempuan dengan tujuan menghapuskan hal-hal yang berkaitan dengan gender dan mewujudkan kesetaraan gender antara jurnalis perempuan dan laki-laki.  

Dalam perwujudan kesetaraan gender dikalangan jurnalis perlu adanya rekontruksi hukum dimana laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama dan juga hak yang sama, selain itu masyarakat harus meningkatkan kepekaan mengenai isu gender agar tidak terjadi diskriminasi yang membedakan antara laki-laki dan perempuan bukan hanya dalam dunia jurnalis melainkan juga dalam berbagai aspek kehidupan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun